Sabtu, 30 Juni 2012

BAGAIMANA ANDA MEMAMAMI TENTANG KESADARAN ?


BAGAIMANA  ANDA  MEMAMAMI   
TENTANG  KESADARAN  ?
SEBUAH DIALOGIS
MENGGALI DAN MELENJITKAN  POTENSI DIRI
Bengkulu  :  Juni 2012.
Inspirator  :  Nazamuddin (Anggota Senior Satya Buana)


Sebelum kita lebih jauh membicarakan tentang kesadaran, barangkali kita perlu mengetahui terlebih dahulu apakah sebenarnya “Kesadaran” itu  ?  Dalam konteks pembicaraan tentang “kesadaran”, kita dihadapkan dengan istilah “SADAR” dan “TERJAGA”.  Istilah sadar terkait dengan istilah  “Menyadari” dan “Memahami” sesuatu yang terjadi pada  dirinya atau lingkungan sekitar dirinya.  Sedangkan kondisi “terjaga” adalah sekedar  “melek” atau “Tidak Tertidur atau Tidak Pingsan”.  Bisa jadi, seseorang yang sedang terjaga tidak menyadari dan tidak memahami segala sesuatu yang terjadi pada dirinya atau lingkungan sekitarnya.   Misalnya,  seseorang yang sedang mabuk, orang yang sedang lupa, sedang melamun, sedang nanar,  sesungguhnya dia terjaga, namun kondisi kesadaran terhadap pemahaman diri dan lingkungannya menurun malah dapat  hilang sama sekali.  Dengan demikian, kita dapat memahami bahwa “kondisi tersadar” dan “kondisi terjaga” adalah berbeda. 

Di kalangan dunia medis dikenal derajat kesadaran seseorang dapat diukur menurut skala  “Glasgow  (Glasgow Coma Scale)” yang bertujuan untuk mengukur “Kesadaran (Conciousness)”  seseorang berdasar reflek pada “mata, ucapan, dan motorik atau gerakan”.  Seseorang dikatakan memiliki kesadaran penuh atau normal ketika reflek matanya memiliki nilai 4, respons verbal atau ucapannya  memperoleh nilai 5, dan respons motoriknya bernilai 6.  Kebalikannya,  seseorang dikatakan telah “koma (mati suri)”  jika semua nilai reflek mata, respons  verbal,  respons motorik adalah 1. 

Untuk mengetahui respons kesadaran tersebut berikut ini disajikan tabel pedoman menentukan tingkat kesadaran sebagai berikut.


Tabel  Indikator Pengukuran Derajat Kesadaran Glasgow Coma Scale


INDICATOR KESADARAN
NILAI SCALA
REFLEK ATAU RESPONS
1
2
3
MATA
4
3
2
1
Membuka  mata tanpa stimulasi – dalam kondisi terjaga penuh
Bisa membuka mata jika dfistimulasi – ditepuk badannya
Bisa membuka mata hanya jika disakiti
Tidak bias membuka mata – no respons
VERBAL
5
4
3
2
1
Bisa menjawab sesuai dengan  yang ditanyakan
Bisa menjawab dengan kalimat, tetapi tidak jelas
Bisa menjawab dengan kata, tapi tidak jelas
Hanya bisa menjawab dengan erangan
Diam – no respos
MOTORIK
5
4

3

2

1
Bisa bergerak sesuai dengan yang diperintahkan
Bisa bergerak ketika diberi stimulasi – melokalisir – menepis stimulasi yang menyakiti
Bisa bergerak ketika disakiti, tapi tidak mampu menghindar, hanya mampu menekuk sendi
Bisa bergerak ketika disakiti, tapi Cuma reflek gerak sederhana – meluruskan sendi
Diam –no respons
                  

             Glasgow telah mencoba mengaitkan antara kesadaran seseorang dengan refleks fisik,  jika fisiknya tidak merespons stimulasi dengan baik, maka secara bertahap kesadaran orang tersebut dianggap menurun,  sampai pada suatu batas terendahnya yaitu “koma”   atau  “mati suri”.   Total nilai dari respons mata, verbal, dan motorik diberi angka 15.   Jika seseorang mempunyai nilai respons komulatif (total) 15, hal ini menunjukkan seseorang tersebut berada dalam kondisi “Sadar Penuh” atau “Terjaga Penuh”,  namun jika nilai komulatifnya berada dibawah angka 8, maka seseorang tersebut sudah dikategorikan berada dalam kondisi “KOMA”.  Namun orang yang memiliki angka komulatif tertinggi dari tingkat kesadarannya dalam skala Glasgow,  sebenarnya sekadar menggambarkan fungsi kesadaran dalam arti “Terjaga”.  Dan hal itu hanya sebagian saja  gambaran tentang  fungsi kesadaran seseorang.  Sebab,  penilaian dengan indikator kesadaran “Glasgow” belum  mampu menggambarkan  tentang  nilai-nilai luhur dari “kesadaran”   seseorang. 

Sebagai contoh, apakah  “Indikator Pengukuran Derajat Kesadaran Glasgow Coma Scale” dapat mengukur bahwa orang yang sedang “Terjaga” itu bahagia ataukah kecewa, sedang marah atau senang, sedang tentram atau gelisah,  apakah sedang jatuh cinta atau sedang  dendam, apakah ia bisa membuat sebuah keputusan dengan bijaksana atau  secara curang dan lain  sebagainya  ?   Jadi,  teori yang telah ditemukan oleh “Glasgow”  adalah sekadar  pengukuran  nilai “Kuantitatif Kesadaran”, sedang fungsi luhur yang ikut menentukan kesadaran bersifat “Kulitatif”.  Biasanya pengukuran nilai luhur ini ditempuh dengan metoda “Psikotest”.

Kesadaran yang bersifat kualitatif ini sangat terkait dengan fungsi akal seseorang.  Kualitas kesadaran yang baik menunjukkan fungsi akal yang juga baik.  Sedangkan kualitas kesadaran yang jelek,  menggambarkan fungsi akal yang juga jelek.  Dengan kata lain, secara umum fungsi kesadaran sangat berimpit dengan fungsi akal.  Bahkan kita bisa mengatakan bahwa keduanya adalah identik sekali.  Oleh sebab itu,  kesadaran dan akal bisa menjadi parameter atas  kualitas  jiwa seseorang. 

Kualitas akal dan kesadaran yang baik, akan menggambarkan fungsi jiwa yang baik pula, demikian juga sebaliknya bahwa kualitas akal dan kesadaran yang jelek juga menggambakan fungsi jiwa yang jelek pula.  Secara Ekstrim dapat kita sebut, jika akal dan kesadaran seseorang rusak, maka jiwanya pun akan rusak,  demikian pula sebaliknya.
  
Lalu, barangkali kita dapat memperoleh kesimpulan bahwa “Akal dan Kesadaran” adalah fungsi utama dari Jiwa seseorang.  Seseorang dikatakan ber-Jiwa sehat, jika akal dan kesadarannya berfungsi secara sehat.  Dan Jiwa dikatakan tidak sehat atau tidak normal, jika akal dan kesadaran seseorang sedang tidak sehat atau tidak normal.

Untuk memahaminya lebih mendetil,  kita akan membahasnya lebih lanjut.  Bahwa tingkat kualitas akal,  kesadaran dan jiwa seseorang tidaklah statis, melainkan bertingkat-tingkat seiring dengan kualitas kesadarannya.  Terdapat 4 tingkat kesadaran pada diri kita, yang memberikan gambaran tentang kualitas Jiwa.

1.    Kesadaran Inderawi

       Perlu kita ingat kembali  bahwa yang dimaksud dengan “Kesadaran”  bukan hanya sekedar melek atau terjaga, akan tetapi “Kesadaran” itu adalah kemampuan seseorang “Memahami dan Merasakan” suatu interaksi  pada dirinya atau dari lingkungannya.  Kesadaran inderawi  adalah tingkat kesadaran terendah dalam diri seseorang yang berfungsi ketika ia melakukan interaksi tertentu dengan lingkungannya.  Karena kesadaran mewakili fungsi Jiwa,  maka tingkatan kesadaran inderawi juga menggambarkan kualitas Jiwa yang  terendah. 

Seseorang dikatakan berada dalam kesadaran inderawinya,  jika dia menyadari dan bisa memahami diri dan lingkungan  sekitarnya dengan bertumpu pada fungsi  panca inderanya.   Seseorang akan bisa memahami apa-apa yang dilihat dan disaksikannya, dan ia bisa mengerti segala sesuatu yang didengarnya, ia bisa menikmati apa-apa yang dibaui oleh indera penciumannya, yang dikecap oleh lidahnya, dan yang dirasakan oleh kulitnya. 

Ketika seseorang berada dalam kondisi kesadaran inderawinya, maka ia memperoleh nuansa-nuansa pemahaman terhadap segala yang sesuatu yang terjadi sangat “Riil”.  Sehingga, kenyataan seperti ini seseorang cenderung dikatakan bersifat meterialistis, karena seringkali kali kita terjebak karena terlalu bertumpu kepada kemampuan inderawi secara berlebihan terhadap materi.

Kebanyakan dari kita hanya percaya kepada sesuatu  realitas fisik,  jika sesuatu itu dapat dijangkau  oleh inderawi.  Kita hanya bisa memahami sesuatu jika kita telah menyaksikan dengan mata  kepala sendiri, atau telah mendengarnya langsung dari telinga kita, mencium dan meraba dengan  indera kita.  Apabila sesuatu tidak  terdeteksi oleh pancaindera, maka kita berkesimpulan  keberadaan sesuatu itu tidak akan kita akui alias tidak ada.  Atau setidak-tidaknya, kita tidak merasa perlu untuk memikirkannya,  dan kemudian kita cenderung  mencuekkannya. 

Orang yang demikian sebenarnya telah terjebak kedalam pola pikir materialistik, bersifat kebendaan dan terkebelakang.  Kenapa begitu ?  Ya,  karena sistem kerja inderawi ternyata sangatlah terbatas.  Kelihatannya, lucu juga kalau kita selalu bergantung kepada suatu hal yang sangat terbatas kemampuannya dalam memahami realitas.  Tentu hasilnya juga akan begitu terbatas dan bersifat  menipu.  Semakin rendah kualitas inderawi kita,  maka semakin jelek juga hasil pemahaman kita. 

Contohnya,  apa yang terjadi pada organ orang yang buta warna.  Kalau seorang  penderita buta warna bersikeras bahwa realitas warna yang ada disekitarnya adalah  seperti kepahamannya, berbeda dengan orang normal, maka anda akan menertawakannya.  Sebab orang yang butawarna memang tidak paham bahwa alam sekitarnya sebenarnya berwarna-warni.   Jika orang yang mengalami buta warna total, maka ia hanya bisa memahami warna di dunia ini hanya dalam warna hitam-putih atau abu-abu saja.  Sedangkan gradasi warna merah, jingga,  kuning, sampai putih, bagi dia hanya terlihat berupa  warna abu-abu tua sampai abu-abu muda, dan paling ekstrim adalah putih.  Atau sama sekali tidak berwarna atau hitam total.




Padahal bagi kita yang tidak buta warna,  maka kita melihat bahwa dunia ini penuh dengan warna-warni yang demikian indahnya.  Tidak seperti kefahaman lewat keterbatasan penglihatannya,  sehingga orang yang buta warna terjebak pada keterbatasannya sendiri.  Dan orang buta warna bersikeras, ngotot, bahwa alam sekitarnya adalah seperti yang dia pahami. 

Walaupun demikian, kalaulah kita mau introspeksi diri kita yang normal penglihatanya, sesungguhnya penglihatan kita pun demikian terbatas,  bahkan bagi orang yang memiliki penglihatan “paling sempurna”  sekalipun tetap saja punya kelemahan.  Sebab, sistem kerja penglihatan   kita ternyata demikian menipu, tidak mampu menceritakan realitas sesungguhnya apa yang terjadi disekitar kita.  Dan penglihatan kita hanya mampu menangkap sesuatu yang berisifat kasar dan yang mampu terjangkau oleh indera mata.  Bila kita mau menyadarinya dengan sungguh-sunguh, semuanya  adalah permainan  cahaya.  Sebab, sebesar apapun benda yang ada disekitar kita, bahkan melihat  diri kita sendiri  tanpa bantuan cahaya kita tidak kan mampu, betul nggak ?   Kalau tidak percaya, coba saja anda melihat  tubuh  anda sendiri dalam kegelapan total tanpa cahaya sama sekali,  pasti anda tidak akan mampu melihatnya,  jelaskan !   Otomatis. 



Akan tetapi walaupun ada cahaya, anda juga  belum tentu  mampu melihat.  Kalau anda tidak percaya coba anda lakukan melihat sesuatu benda dibalik cahaya  yang amat sangat  terang dan tajam, pasti mata anda tidak akan mampu melihat benda tersebut walaupun ada cahaya.  Nah  !  ini suatu bukti lagi betapa terbatasnya penglihatan kita.  Apakah anda masih mau membantah dan berdalih ?  dan ini kenyataan lho !

Sesungguhnya,  antara kenyataan dan apa yang kita lihat atau kita pahami terdapat dua hal yang saling berbeda,  sebab kita bukan melihat benda sesungguhnya, kecuali sekedar bayang-bayang yang tertangkap oleh lensa mata kita hasil rekayasa cahaya, kemudian diteruskan ke rentina mata, lalu diteruskan ke otak sebagai pulsa-pulsa listrik semata.  Artinya, pusat penglihatan yang berada di dalam otak kita sebenarnya tidak pernah berinteraksi langsung dengan objek benda atau materi yang kita lihat.  Sel-sel penglihatan di otak hanya berinteraksi dengan pulsa-pulsa listrik yang berasal dari rentina.  Jadi kalau pulsa-pulsa listrik itu mengalami distorsi, maka pusat penglihatan itu bakal salah dalam memahami penglihatan tersebut. 



Jadi, kefahaman yang disimpulkan oleh sel penglihatan itu sangat bergantung  kepada  kualitas jalur penglihatan mulai dari lensa mata, rentina, saraf-saraf penglihatan sampai kepada sel-sel otak yang terkait dengan proses melihat itu sendiri. 

Perlu kita sadari, bahwa ketajaman lensa mata kita tidaklah terlalu  tinggi, misalnya, lensa mata kita tidak mampu melihat benda-benda yang terlau kecil, seperti pori-pori benda padat ;   batu atau besi  misalnya,  melihat virus, angin, bakteri, sel, molekul, atom, elektron, oksigen, angin, udara, getaran gelombang,  magnet, energi listrik, dan apalagi partikel-partikel sub-atomik seperti  proton, neutron dan quark (energi vibrasi). 

Sebaliknya lensa mata kita juga tidak mampu menangkap benda-benda yang terlalu besar,  seperti melihat bumi,  apa lagi melihat alam semesta, siapapun manusianya pasti tidak mampu.  Otomatis.   Jadi,  penglihatan kita begitu terbatas sehingga banyak hal yang tidak mampu kita pahami dengan hanya sekedar melihat.  Jadi kita hanya bisa melihat yang sedang-sedang saja.

Di lain pihak,  justeru penglihatan kita itu sesungguhnya telah menipu kita,  dan tidak  mampu “menceritakan” kenyataan sesungguhnya yang terjadi.  Misalnya, kita selalu menganggap ketika melihat gunung  berwarna biru berbentuk bidang datar dan mulus di masing-masing sisinya,  padahal kalau didekati ternyata berwarna hijau dedaunan dan berlobang-lobang.  Ketika kita melihat ke angkasa  kita saksikan  langit berwarna biru seakan-akan ada batas,  pada hal langit tidak berbatas dan tidak berwarna biru.  Sewaktu kita melihat bintang-bintang di langit, terlihat begitu kecil dan cahayanya berkelap kelip, bagaikan kunang-kunang, pada hal benda raksasa tersebut luar biasa besarnya bahkan ada yang  besarnya 1.500 kali lebih besar  dari ukuran matahari  yang selalu kita lihat di siang hari,  dan sinarnya berpijar seperti matahari bahkan jauh lebih panas dari matahari kita.   Cahaya bintang yang berekelap-kelip kita lihat di malam hari, pasti menurut persangkaan anda adalah cahaya yang anda lihat saat itu juga, padahal cahaya tersebut bisa jadi cahaya 100 tahun ;  1.000 tahun bahkan jutaan tahun yang lalu, karena cahaya bintang yang sangat jauh itu---milyaran bahkan triliunan mil jaraknya dari bumi kita---sampai kepada kita butuh waktu perjalanan cahaya sampai ke penglihatan kita.  Aneh kan ?   Kemudian, jika anda pernah berjalan di padang pasir yang amat luas di siang hari, anda akan menyaksikan  fatamorgana padang pasir dari kejauhan sekan-akan hamparan air, pada hal itu hanya sekedar uap air yang terbentuk karena panas yang begitu tinggi menerpa padang  pasir tersebut, sehingga menipu pandangan kita.   Aneh kan ! 




Begitu pula, indera yang  lain seperti penciuman, pendengaran, pengecap dan peraba, mereka tidak kalah dengan tipuannya seperti mata kita.

Salah satu contoh lagi, jika anda yang sangat jarang berkunjung ke rumah sakit, suatu ketika anda berkunjung kesana, maka anda akan merasakan bau obat-obatan terasa sangat menyengat dan mengganggu  penciuman atau kenyamanan anda.  Namun, jika anda sudah berhari-hari apa lagi bekerja di lingkungan rumah sakit, kontan saja penciuman anda berubah alias anda biasa-biasa saja ketika membaui obat-obatan dan anda tidak merasa lagi bau obat yang menyengat tersebut.  Kenapa bisa begitu  ?  Ya,  karena kepekaaan penciuman anda sudah berubah atau menurun dan  beradaptasi alias berkompromi dengan lingkungan tersebut.  Kondisi seperti sebenarnya dikatakan penciuman anda telah menipu kefahaman anda terhadap aroma obat dirumah sakit, pada hal  bau obat yang menyengat tersebut tidak berubah dan begitulah adanya.  Hanya sensitivitas  penciuman anda saja yang berubah.  Demikian pula kulit anda sebagai indra perasa tidak kalah pula dengan tipuannya.  Contoh lain, bila  anda berulang-ulang  kali membiasakan mengosok-gosok tangan anda pada  benda kasar, dan ketika anda meraba permukaan benda yang halus maka anda tidak merasa kehalusan benda tersebut, karena kepekaan anda menjadi berkurang.  Jika anda mencelupkan tangan anda kedalam air yang diberikan bongkahan  es dalam beberapa waktu,  kemudian anda ganti mencelupkan tangan anda kedalam air yang agak hangat, seakan-akan anda merasa air tersebut lebih panas dari biasanya. 

Kenapa kondisi yang demikian terjadi  ?  Ya, sekali lagi karena kulit anda telah melakukan adaptasi dan berkompromi terhadap lingkungan tersebut.  Jadi, seakan-akan indra-indra anda bersifat “plin-plan dan suka menipu” diri anda sendiri.  Oleh karena itu terlalu percaya kepada kemampuan panca indera dapat menyebabkan kekeliruan kefahaman kita terhadap sebuah kenyataan yang sesungguhnya. 

Oleh karena itu, kesadaran atau kefahaman anda yang dibentuk hanya bersandarkan pada panca indera bakal menjebak kita kedalam kekeliruan yang sangat mendasar.  Kenyataan mengatakan,  panca indera saja tidak cukup digunakan sebagai acuan untuk memahami realitas dari sebuah kebenaran yang kita saksikan dalam keseharian hidup ini.  Sebab,  ternyata realitas yang terbentang di lingkungan kehidupan kita ternyata  berbeda dengan yang tertangkap oleh mata, telinga, kulit, hidung  bahkan seluruh panca indera kita.

Dengan demikian,  ternyata  Kesadaran Inderawi adalah kesadaran yang paling rendah tingkatannya dan paling mudah tertipu maupun  menipu kita sendiri.  Hanya anak-anak yang masih kecil saja yang bertumpu sepenuhnya kepada pemahaman panca inderanya untuk membangun kefahaman terhadap realitas di sekitarnya.  Orang yang lebih dewasa pasti akan bertumpu pada kesadaran yang lebih tinggi dari sekedar kesadaran inderawinya sesuai dengan perkembangan tingkat wawasan lingkungan yang dihadapinya. 

2.    Kesadaran Rasional atau Ilmiah

Bagi seseorang yang memang telah memiliki banyak pengalaman dalam mengarungi kehidupan ini atau dengan kata lain telah malang melintang  dan  banyak makan asam  garam kehidupan ini akan berusaha memahami realitas kehidupan ini dengan melakukan eksploerasi labih jauh, dari pada sekedar mengambil pelajaran dari pengalaman orang-orang lain.    Bahkan, akan menyimpulkan dari berbagai penelitian yang terkait dengan masalah tersebut. 

Khasanah pengalaman manusia dalam menghadapi persoalan hidupnya itulah yang kemudian disebut sebagai “Ilmu Pengetahuan”.  Ia dikembangkan berdasarkan rasionalitas persoalan yang berkembang dengan  kebutuhan kehidupan manusia.  Maka dari itu, orang  yang telah memahami realitas kehidupannya, ia sebenarnya telah mencapai kesadaran tingkat kedua yang disebut dengan “Kesadaran Rasional atau Kesadaran Ilmiah”

Pada tingkat kesadaran seperti ini, kita  tidak lagi  bergantung sepenuhnya kepada hasil pengamatan panca indera, melainkan mencoba membandingkan dengan hasil-hasil pengamatan dengan cara lain, sebagai contoh melalui penggunaan alat-alat bantu yang lebih canggih seperti teleskope, komputer, radar, atau satelit.  Atau menggunakan perhitungan dan analisis-analisis matematis  atau  metode perhitungan dari keilmuan lainnya.  Sebagai hasilnya kita akan mendapatkan sebuah kesimpulan yang lebih “valid atau shahih” dan lebih mendekati kenyataan dibandingkan hanya sekadar menggunakan kemampuan panca indera. 

Sebagai contoh, jika kita menggunakan mata ketika mengamati sebatang logam, maka kita akan mengambil sebuah  kesimpulan bahwa  sebatang logam tersebut adalah benda padat dan masif tidak  berlubang-lubang serta tidak tembus pandang.  Namun apabila kita menggunakan sinar X atau miskrskope elektron,  ketika kita mengamati sebatang logam kita akan menyaksikan sesuatu yang berbeda, bahwa sebatang logam tersebut ternyata bukanlah benda yang “terlalu padat” melainkan sebuah benda yang  memiliki pori-pori atau lubang-lubang serta keropos.

Contoh lain,  kita tidak akan mampu melihat sebuah benjolan tumor yang bersarang diotak dalam tengkorak kepala dengan mata telanjang, akan tetapi kita akan dapat menyaksikan dengan jelas jika menggunakan alat bantu yang disebut dengan USG.  Kefahaman kita tentang posisi dan besarnya tumor otak tersebut dengan menggunakan  alat bantu canggih tersebut jauh lebih tinggi dibandingkan dengan  hanya menggunakan mata telanjang atau menggunakan  sinar rontgen.

Satu lagi  contoh lain, ketika kita berusaha memahami tentang langit,  tentu saja pemahaman kita akan menjadi jauh lebih baik apabila kita mempelajari melalui  Ilmu Astronomi  dengan  menggunakan  alat bantu berupa perhitungan matematis dan teleskope ruang angkasa, dibandingkan cara pengamatan kita yang hanya menggunakan mata telanjang untuk memahami bintang-bintang  dan benda ruang angkasa yang berjumlah triliunan tersebut.

Jadi singkat kata, dengan menggunakan pemahaman “ilmiah dan rasional”,  kita  akan memperoleh pemahaman yang lebih utuh tentang alam semesta dan lingkungan hidup ini.  Tiba-tiba kita akan menyadari betapa canggih dan hebatnya tentang kejadian alam semesta tempat kita hidup.  Dan disini kita  telah memperoleh “Kesadaran Rasional dan Kesadaran Ilmiah”  terhadap realitas yang terhampar di sekitar kita.  Pada tingkat kesadaran Ilmiah atau Rasional ini lah kita akan menyaksikan alam lingkungan kita hidup ini amat luar biasa besar dan luasnya, dibandingkan dengan ketika kita hanya mengunakan kesadaran inderawi kita.   Kita melihat dunia ini menjadi berbeda, bukan  hanya seperti yang kita alami sewaktu kita menggunakan inderawi.  Banyak hal yang terjadi tadinya tidak terdeteksi kini bermunculan.  Kita telah bisa melihat-mendengar-mencium, dan sekaligus merasakan dunia dengan menggunakan “akal”.  Inilah yang telah Allah gambarkan dalam berbagai ayat-Nya, yang menceritakan hamba-hamba yang memiliki Ilmu pengetahuan mendalam,  seperti dalam :

 QS.  Al-Ankabuut (29)  ayat 43 :

“Dan perumpamaan-perumpamaan ini Kami buatkan untuk manusia ;
dan tiada yang memahaminya kecuali orang-orang yang berilmu”.

Qs.  Ali Imran (3)  ayat 190-191 :

“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam
 dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal  ‘(yaitu) orang
-orang  yang mengingat  Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan berbaring dan mereka memikirkan tantang penciptaan langit dan bumi
(seraya berkata) :  ‘ Ya tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini
dengan sia –sia.  Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami
dari siksa neraka”.

QS.  Al-Ankabuut (29)  ayat 49 : 

“Sebenarnya,  Al-Qur’an itu adalah ayat-ayat yang nyata di dalam dada
orang-orang yang diberi Ilmu.  Dan tidak ada yang mengingkari ayat-ayat Kami kecuali orang-orang yang dzalim”.


3.    Kesadaran Spiritual.
 
Kesadaran tingkat ke tiga adalah “Kesadaran Spiritual”.  Pada kesadaran tingkat ini kita mulai menggeser tumpuan  pemahamannya, dari kesadaran  rasionalitas yang berada pada kesadaran tingkat kedua, menjadi bertumpu pada kefahaman yang lebih mendalam.   Kita mulai melihat adanya realitas tertentu yang tidak  teramati oleh ilmu pengetahuan empirik melalui pendekatan kesadaran rasional.   Ternyata ada realitas di balik batas-batas keasadaran panca indera dan kemampuan kesadaran rasionalitas kita.  Oleh karena itu, kita pun mulai menyadari terdapat keterbatasan pemahaman  empirik tertentu yang menjadi landasan Ilmu pengetahuan, karena telah muncul  realitas tertentu yang ternyata tidak mampu diungkapkan,  karena  realitas itu berada diatas kesadaran rasionalitas kita. 

Realitas dibalik batas-batas kesadaran panca indera dan kemampuan rasionalitas sebagai akibat adanya  keterbatasan pemahaman secara empirik  tertentu yang menjadi landasan ilmu pengetahuan, membuat kita mulai menggeser keadaran rasionalitas mengarah kepada tumpuan terhadap “Rasa”.  Jika kita mulai mengarah kepada rasa kekaguman yang mendalam terhadap realitas yang dulu tidak pernah diduganya,  maka  tiba-tiba kita  “melihat” dan “merasakan” sesuatu Yang Maha Perkasa berada dibalik realitas yang sedang dieksploerasi.  Dan kemudian  kita merasakan sedang berhadapan dengan  tembok pembantas yang sangat kokoh yang akan  membentur rasionalitas  dan menghadang pemikiran empirik  kita.   Kita mulai berhadapan dengan “Sebuah Kekuatan dan Kekuasaaan Yang Maha Dahsyat”, yaitu sebuah kekuatan dan kekuasaan “Maha Mengatur dan Mengendalikan  Alam Semesta”  dengan “Kecerdasan Yang Maha Hebat dan Luar Biasa”.

Tiba-tiba,  banyak hal yang bermunculan tidak memenuhi “hukum rasionalitas” dan tidak bisa dibuktikan mengikuti metode-metode empirik yang selama ini dikenal,  apalagi  melalui hukum kesadaran inderawi.  Sebagai contoh, ketika kita mencoba memahami realitas alam semesta, pada  tingkat kesadaran  pertama---Inderawi--manusia berusaha memahami benda-benda langit seperti matahari, bulan, dan sejumlah meteor yang  jatuh ke Bumi hanya dengan kemampuan inderawi mata atau telinganya saja.  Antara lain, melalui kesadaran inderawi,  pada zaman dahulu orang  telah bisa menentukan arah perjalanan dengan berpedoman dengan menggunakan “Rasi Bintang” yang dikenalnya.  Kemudian ia tahu tentang arah utara, barat, selatan dan timur,  berdasarkan posisi bintang-bintang itu.  Manfaat lainnya, mereka bisa menentukan pergerakan waktu dalam skala yang sederhana,   berdasarkan posisi matahari dan bulan yang terlihat dari bumi dan lain sebagainya. 

Ternyata kesadaran inderawi  seperti diatas  malah telah menjebak kefahaman kita dalam memahami kenyataan berdasarkan apa telah disaksikan mata dan didengar oleh telinga.  Sebagai contoh, zaman dulu kebanyakan manusia menganggap matahari mengelilingi bumi,  sebagaimana  bulan  mengelilingi bumi.  Mengapa demikian ?  Ya,  begitulah memang kelihatannya seperti itu terlihat dari permukaan planet bumi.  Padahal,  setelah ditemukannya oleh para ahli Astronomi dengan menggunakan teropong angkasa beberapa abad yang lalu, terbukti matahari tidak mengelilingi bumi, tapi sebaliknya bumilah yang mengelilingi matahari. 

Kefahaman dan kesadaran bahwa bumi mengelilingi matahari itulah yang lebih mendekati kenyataan.  Dan, untuk memperoleh kefahaman yang lebih kuat bahwa bumi mengelilingi matahari, manusia tidak bisa hanya mengandalkan pancainderanya, melainkan dengan menggunakan berbagai pengamatan tidak langsung yang melibatkan berbagai rumus matematika.   Manusia telah melakukan pemahamannya dengan menggunakan fungsi akal yang lebih tinggi, lewat analisa, perhitungan, dan imajinasi yang lebih  bersifat abstrak.

Kalau saja kita menutup diri terhadap kenyataan ilmiah maupun ajaran Islam yang dengan sangat terang menjelaskan hal tersebut, memang kita cenderung percaya  setiap hari kita jelas-jelas menyaksikan bahwa matahari bergerak mengelilingi bumi, pagi hari terbit di Timur dan senja hari terbenam di Barat.  Ternyata kedalaman akal justeru membantahnya, dan menyatakan bahwa justeru bumi berputar mengelilingi matahari.  Dan hasilnya memang demikian !

Lalu, ketika kita mencoba memahami hamparan permukaan bumi, di zaman nenek moyang kita dulu meyakini bahwa bumi ini datar.  Sebab, memang begitulah yang tampak oleh mata kita.  Tetapi, setelah Columbus melalui perjalanannya mengelilingi bumi menggunakan kapal laut telah membuktikan bahwa bumi ini memang bulat, ternyata kepahaman tersebut langsung berubah, walaupun masih ada bantahan dari kalangan tertentu.  Dan lama kelamaan kefahaman menyatakan  bumi ini tidaklah  datar melainkan bulat semakin kuat.  Kenyataan seperti ini tidak dapat dibantah lagi,  terlebih lagi saat ini manusia telah dapat mengelilingi bumi dengan pesawat terbang dan memantau dan memotret bumi dengan menggunakan satelit.  Ternyata bumi memang bulat adanya, yang sedang mengambang dan melesat diruang angkasa tanpa tali penambat bersama benda-benda langit lainnya. 

Sekali lagi manusia telah dihadapkan pada dua pemahaman yang sangat bertolak belakang, ketika menggunakan tingkat kefahaman dan kesadaran yang berbeda pula.  Yang pertama menggunakan tingkat kesadaran inderawi yaitu mata atau telinga, dan yang kedua menggunakan tingkat kesadaran rasio secara empirik merupakan tingkat kesadaran yang lebih tinggi dan hasilnya sangat radikal dan berbeda.  Dan kenyataan ini sekaligus membuktikan bahwa penggunaan rasio jauh lebih unggul dibandingkan dengan kefahaman inderawi yang demikian terbatas.  Ada potensi “imajinasi’ dan “analisa” yang tidak  dimiliki oleh kesadaran tingkat pertama.  Dengan potensi imajinasi serta analisa itulah manusia memiliki “mata imajiner’ yang memiliki ketajaman dan sudut pandang yang lebih luas ketimbang mata telanjang.

Lalu kita coba lanjutkan masuk kedalam kesadaran yang lebih tinggi, yaitu “Kesadaran Spiritual” yang akan memberikan hasil kefahaman yang lebih hebat dalam kita memahami kenyataan di alam semesta ini.  Dalam hal mengamati alam semesta, manusia yang menggunakan “Kesadaran Spiritual” bakal menemukan rahasia besar yang selama ini tidak terlihat oleh orang-orang yang sekadar menggunakan “mata imajinernya”.  “Kesadaran rasional” atau kita kenal juga dengan “Kesadaran Imajiner” sangat bermanfaat melihat realitas yang bersifat fisik,  dalam skala yang lebih luas,  yang berada di luar jangkauan panca indera biasa.  Dengan “Kesadaran Spiritual” maka secara tiba-tiba seseorang dapat menyaksikan  atau  melihat sesuatu yang berada dibalik penglihatan matanya.

Namun, mata imajiner memiliki keterbatasan ketika digunakan untuk menangkap  “Makna” yang tersimpan di dalamnya.  Makna yang terkandung di dalam pesan penciptaan, menjurus kepada adanya “Dzat yang Tiada Terkira”, yang menampilkan “Kecerdasan  Maha Luar Biasa”.   Dalam konteks pemahaman alam semesta, kita telah melihat bahwa segala yang tercipta itu tidak ada yang bersifat kebetulan atau terjadi dengan sendirinya, melainkan ada yang menciptakannya dengan sengaja,  melalui sebuah rancangan yang Maha Sempurna.

Dalam sejarah Ilmu Pengetahuan mutahir, dua aliran “Kesadaran” tersebut yang telah melakukan pertarungan panjang untuk memahami realitas.  Kelompok pertama yang mewakili ilmuwan materialis,  sedangkan kelompok kedua diwakili oleh ilmuwan-ilmuwan agama.

Kelompok pertama berpendapat bahwa alam semesta yang demikian dahsyat dan luas tak berbatas ini  telah terbentuk dengan sendirinya atau terjadi bersifat kebetulan, tanpa adanya keterlibatan Tuhan  sebagai Sang Pencipta.  Kelompok  ini dikenal dengan sebutan “Kelompok Materialistis”, dengan menggunakan “Mata Imajinernya” mencoba memahami alam semesta hanya dengan hukum sebab-akibat (Kausalitas).  Dan mereka hanya memperoleh “Kenyataan” tentang struktur alam semesta yang tertata dengan kesimbangan sempurna.  Sedangkan kelompok ke dua, justeru “melihat” adanya “Kecerdasan Maha Super” yang  terlibat secara aktif dalam munculnya segala realitas yang mempersona.   Kelompok ini menggunakan “Mata Spiritualnya” untuk memahami kenyataan alam semesta, selain mereka memahami betapa sempurnanya penciptaan struktur alam semesta ini,  mereka juga dapat merasakan hebatnya “Kecerdasan” yang telah menciptakan dan sekaligus mengendalikan alam semesta yang demikian luas dalam sebuah tatanan keseimbangan yang Maha Sempurna tiada cacat sedikitpun. 

Kemudian Allah telah menceritakan dalam firman-Nya  melalui Al-Qur’an  tentang seluruh penciptaan alam semesta dan tentang diri manusia itu sendiri yang telah dibangun berdasarkan keseimbangan yang sempurna.  Coba kita renungi firman Allah sebagai berikut:

QS. Al-Mulk (67) ayat 3 :

“Yang telah menciptakan tujuh langit berlapis-lapis, kamu sekali-kali tidak melihat pada ciptaan Tuhan Yang Maha Pemurah sesuatu yang tidak seimbang.  Maka lihatlah berulang-ulang adakah kamu lihat
sesuatu  yang tidak seimbang ?”


       QS.  Al-Infithaar (82) ayat 7 :

“Yang telah menciptakan kamu lalu menyempurnakan kejadianmu  dan   menjadikan (susunan tubuh) mu seimbang”.

Terdapat dua perbedaan yang sangat menyolok terhadap pengetahuan dan kesadaran  yang diperoleh oleh kedua kelompok tersebut diatas.  Padahal, mereka sama-sama ingin memahami kenyataan yang sama juga.  Akan tetapi, ternyata “kenyataan” yang mereka yakini berbeda.  Dan perdebatan demi perdebatan  tersebut dari tahun ke tahun berlangsung sengit bahkan sampai berpuluh tahun terakhir ini. 

Kelompok yang menamakan dirinya “Materialistis” bersikukuh dengan pendapat mereka bahwa alam semesta ini terjadi dengan sendirinya secara evolutif.  Berproses secara kebetulan membentuk kehidupan.  Alam memang memiliki kecenderungan untuk berproses seperti yang kita lihat sekarang dalam keseimbangan yang azali. 

Pada hakekadnya,  mereka tidak mau dan tidak bersedia mengakui adanya “Sesuatu” dibalik sistem atau mekanisme yang begitu “Aneh dan Maha Cerdas” itu.  Bahwa semua proses berjalan demikian teratur dan seimbang dengan tujuan yang sama yaitu membentuk dan mefasilitasi  keberlangsungan kehidupan.

“Mata Imajiner atau Kesadaran Rasional”  ternyata tidak sanggup melihat semua itu.  Ia hanya mampu menangkap hal-hal yang bersifat materialistik belaka.  Mengapa demikian.  Sebab, sesungguhnya, “Mata Imajiner atau Kesadaran Rasional”  hanya sekedar perpanjangan fungsi dari mata kepala, yang dilengkapi dengan analisa-nalisa empiris.    Dilengkapi dengan bebagai peralatan pembantu.  Namun, substansinya masih sama bahwa ia tetap melihat dengan mata fisiknya.  Maka, tentu saja, ia hanya mampu  menangkap hal-hal yang bersifat fisik  juga. 

Padahal, makna yang terkandung di balik realitas tersebut bersifat non fisik. Yakni, sebuah kefahaman yang sangat abstrak  dan sangat cenderung dekat kepada “Rasa”.  Dan wilayah pantauan ini  adalah objek dari indera ke enam yang terletak di “Hati (Qolbu)”.    Sebagaimana firman Allah SWT dalam: 

QS.  An-Nahl  (16) ayat 12 :

“Dan Dia menundukkan malam dan siang,  matahari dan bulan untuk mu.  Dan bintang-bintang itu ditundukkan (untukmu)  dengan perintah-Nya.  Sesungguhnya pada yang demnikian itu benar-benar ada tanda-tanda (kekuasaan Allah)  bagi kaum yang memahami (nya)----
(Kaum yang berakal ; berilmu)”

QS.  Al-Hajj (22)  ayat 46  :

“Maka apakah mereka  tidak berjalan di muka bumi,  lalu mereka
mempunyai hati yang dengan itu mereka dapat memahami atau
mempunyai telinga yang dengan itu mereka dapat mendengar ?
Karena sesungguhnya bukanlah mata itu yang buta,
tetapi yang buta,  ialah hati yang di dalam dada”


QS.  Al-Ankabut  (28)  ayat 63 :

  “Dan sesungguhnya jika kamu menyanyakan kepada mereka :  ‘Siapakah yang menurunkan air dari langit lalu menghidupkan dengan air itu bumi sesudah matinya ?’  Tentu mereka akan menjawab :  ‘Allah’  katakanlah :  ‘Segala  puji bagi Allah’, tetapi kebanyakan mereka
tidak memahami (nya)”.

Jadi pada tingkat kesadaran yang lebih tinggi manusia hanya bisa memperoleh pemahaman makna  itu ketika ia menggunakan hatinya sebagai radar atau sensor.  Bukan lagi mata atau telinga fisik.  Berulangkali Allah telah menyampaikan dalam firman-Nya, bahwa untuk memahami tentang makna haruslah menggunakan hati,  yang berada di dalam dada.  Pada kasus tertentu bukanlah mata di kepala yang buta akan tetapi mata hatinya lah yang buta. 

Inilah yang dikatakan tingkat “Kesadaran Spiritual”, yaitu sebuah kesadaran yang dibangun berdasarkan penglihatan matahati atau mata spiritual.  Orang yang menggunakan mata hatinya bakal dapat menyaksikan Allah di balik segala kenyataan fisik yang dilihatnya. Atau dengan kalimat lain dikatakan, ia telah dapat merasakan kehadiran Allah di seluruh benda dan kejadian yang berinterkasi dengannya. 

Ketajaman “Mata Hati” atau dengan kata lain “Kesadaran Spiritual” ini semakin sempurna jika seseorang mencapainya secara bertahap, dimulai dari mengasah ketajaman “Kesadaran Inderawi”, “Kesadaran Rasional” dan sampai kepada  “Kesadaran Spirirtual”.  Sebab  munculnya kesadaran pada tingkat yang lebih tinggi  itu biasanya selalu dipicu oleh memuncaknya tingkat Kesadaran yang lebih rendah.  Sebagai contoh,  munculnya Kesadaran Rasional adalah ketika pemahaman inderawi sudah mentok,  tidak mampu lagi memahami sesuatu.  Ketika, kemampuan lima indera sudah tidak mampu lagi misalnya mengungkap apa yang terjadi di pusat matahari, maka disitulah terjadi stimulasi terhadap Kesadaran Rasional untuk berkembang.  Maka, manusia lantas menggunakan potensi rasionalitasnya untuk mengungkapkan rahasia yang ada dipusat matahari tersebut.  Ternyata dengan menggunakan tingkat kesadaran rasional, maka terungkaplah bahwa ternyata dipusat matahari terdapat peroses pembangkitan energi  panas yang luar biasa dahsyatnya, disebut sebagai reaksi Termonuklir.

Demikian pula halnya, ketika mata fisik sudah tidak mampu lagi mengungkap sebab-musabab terjadinya kesimbangan yang mengikat dan menggerakkan benda-benda raksasa di alam semesta, maka Kesadaran Rasional terpicu untuk mengambil alih peran Kesadaran Inderawi  yang terbatas tersebut.   Kemudian munculah kesimpulan-kesimpulan ilmiah yang menjelaskan terjadinya keseimbangan gravitasi diseluruh  penjuru langit.   Lantas pada kondisi ini kita telah berada dalam kondisi Kesadaran  Rasional tentang sebuah kenyataan. 

Begitu pula halnya  dengan Tingkat Kesadaran Spiritual, ia baru akan muncul setelah terpicu oleh ketidakmampuan Kesadaran Rasional dalam memahami dan mengungkapkan kenyataan yang terhampar dihadapannya.  Selama seseorang masih merasa  mampu memahami  segala kenyataan yang ada dihadapannnya dengan tingkat Kesadaran yang lebih rendah,  maka ia akan selalu menyombongkan diri tentang segala kemampuan yang telah ia raih.  Dan pada saat yang bersamaan pula ia tidak akan pernah mencoba beranjak dari tingkat kesadaran yang lebih rendah itu menuju ketingkat kesadaran yang lebih tinggi,  karena ia telah merasa cukup puas dengan kemampuannya pada tingkat kesadaran rendah  tersebut.  Ada kemungkinan ia akan apatis terhadap tingkat kesadaran yang lebih tinggi atau malah menafikan segala sesuatu kenyataan yang ada di balik Tingkat Kesadaran yang lebih tinggi. 

Tingkat perkembangan ilmu pengetahuan empiris  yang semakin memuncak pada abad-abad terakhir ini, sebenarnya telah menstimulasi munculnya kebutuhan akan Tingkat Kesadaran lebih tinggi, yaitu tingkat Kesadaran Spiritual.  Karena kemampuan kesadaran imajiner manusia telah mulai menemukan jalan buntu atau telah sampai pada batasnya dalam memahami sesuatu yang tersembunyi dibalik kemampuan mata imajiner.  Sebab, di balik batas kesadaran imajiner tersebut,  manusia  mulai merasa tidak tahu apa-apa.   Namun,  dibalik kesadaran imajiner tersebut secara samar-samar manusia mulai menyaksikan atau merasakan ada sesuatu rahasia yang maha menakjubkan tersembunyi.  Yaitu sebuah rahasia besar yang “Maha Menakutkan”, yang berada diluar jangkauan kemampuan manusia. 

Perkembangan Ilmu Pengetahuan yang bergerak ke segala arah kehidupan telah menemukan sebuah kenyataan tentang ketidakterbatasan yang “mengerikan”.  Baik segala sesuatu yang terkait dengan pemahaman alam makro, alam mikro, maupun yang terkait dengan proses-proses kehidupan lainnya.   Pada skala makrokosmos, misalnya, manusia kini dihadapkan pada “Sebuah Kebesaran yang Misterius” yang tiada bandingannya.  Masa lalu,  manusia hanya mengenal dunia sekitar sebagai lingkungannya,  dimana ia menjalani proses kehidupan dalam koloninya.  Mereka menganggap dunianya hanya sebesar wilayah tempat tinggal dimana mereka menjalani kehidupan tersebut. 

Seriring dengan perjalanan waktu,   manusia lantas mulai memahami wilayah-wilayah lainnya,  pulau,  benua,  samudera  yang ditempatinya atau ditempati suku bangsa lainnya.    Semakin luas wilayah  jelajah manusia,   mereka mulai memperoleh pemahaman tentang bumi ini adalah bulat berbentuk ellips.   Pada akhirnya,  manusia mulai memperoleh kefahaman bahwa bumi adalah hanya sebuah planet kecil dari sejumlah triliunan benda-benda langit lainnya yang terhampar  bertebaran,  mengambang  dan  melayang-layang tanpa tali pengikat mengelilingi orbit masing-masing   yang mengisi  penjuru jagat raya  tanpa batas. 

Kemudian,  manusia mulai memperoleh kesadaran lain tentang keberadaannya yang demikian kecil di antara hamparan padang pasir semesta raya.  Dimana bumi tempat ia berpijak ini hanyalah bagaikan sebutir “debu”.  Dan di atas sebutir debu itulah ia bersama sejumlah 5 milyar manusia lainnya hidup dengan segala keangkuhan dan kesombongannya. 

Lalu  manusia yang telah tersentak dari mimpi   atas segala  kecongkakan,  keangkuhan dan kesombongannya  mulai merasa ngeri sendiri  membayangkan betapa raksasanya  jagat raya ini dibandingkan  dengan segala kesombongannya.   Seiring dengan itu  manusia mulai menyadari, bahwa saat ini baru diketahui  hanya bumi  saja  satu-satunya planet yang dihuni oleh kehidupan.  Selebihnya, belum ditemukan tanda-tanda adanya kehidupan  sebagaimana bentuk kehidupan seperti di bumi.    Yah... kalau direnungkan 5 milyar manusia bersama makhluk hidup lainnya,  hidup dalam kesendirian di antara milyaran benda-benda angkasa raya ini,  yang  sampai saat ini belum diketahui batasnya. 

Seluruh ilmuan  astronomi  yang ada di muka bumi,  saat ini sedang terpukau takjub memandang ke langit luas dengan peralatan yang serba canggih,  memandang penuh dengan  kengerian dan sekaligus terkagum-kagum,  betapa  luar biasanya  maha  karya  sang pencipta jagat raya tiada tandingannya.   Manusia merasa ngeri,  karena ia merasa dirinya begitu kecil  tak berarti dibandingkan dengan maha besar dan  luasnya  alam semesta raya yang jumlahnya triliunan tersebut,  dan bumi tempat ia hidup hanyalah salah satu saja benda langit kecil  yang ikut menari-nari  dan berterbangan di angkasa raya bersama benda-benda langit  raksasa lainnya.   Didalam benak manusia mulai mencoba mengilustrasikan,  jika salah satu saja benda raksasa tersebut keluar dari garis orbitnya,  kemudian  melesat  dalam sebuah  kecepatan sangat tinggi menabrak  planet bumi tempat ia hidup, akibatnya amat dahsyat, bumi akan meledak dan hancur berkeping-keping---jutaan lebih dahsyat dari ledakan bom nuklir ciptaan manusia---,  maka tamatlah seluruh kehidupan 5 milyar manusia bersama makhluk hidup lainnya yang ada dibumi ini.   Subhanallah. 

Sebaliknya,  manusia juga merasa kagum menyaksikan pemandangan yang tiada taranya.  Triliunan bintang (matarhari)  bertebaran  di angkasa raya bagaikan pelita kecil yang berkelap-kelip bertebaran dan di tata dengan demikian indahnya, di dalam kegelapan ruang angkasa.   Disela-sela benda-benda raksasa,  benda-benda angkasa lainya melesat dengan kecepatan tinggi mengintari garis orbitnya masing-masing,  yang selalu terjaga dan patuh akan aturan hukum alam yang telah ditetapkan kepadanya selama milyaran tahun,  jauh diluar batas peradaban manusia yang hanya berumur cuma ribuan tahun saja.  Hati kita terasa tercekat setelah menyadari  kenyataan ini.

Tiba-tiba manusia merasa tidak berdaya dan merasa tidak ada apa-apanya,  ketika berhadapan dengan kedahsyatan alam semesta ini.  Kita ini kecil, bahkan   jauh lebih kecil dari yang biasa kita bayangkan selama ini .  Disinilah manusia  mulai terbentur  pada suatu kenyataan,  yang mencampakkan dirinya pada ketidak-berdayaan Rasionalitasnya.   Manusia tidak mampu menjawab, dimana batas alam semesta  raya ini,  dan  jika memang ada batas,  lalu kenyataan apa yang berada di luar batas itu  ?  Ia juga tidak bisa menjawab pertanyaan, bagaimanakah triliunan  benda-benda langit itu semua bergerak, melesat dan melayang tanpa mesin dan bahan bakar dengan kecepatan spektakuler,  bisa tertata terus bergerak secara kontinyu dengan demikian rapinya, teratur dan indah dalam keseimbangan yang maha sempurna. 

Manusia juga tidak bisa menjawab pertanyaan, kapankah secara pasti alam semesta ini terlahir,  dengan cara bagaimana,  berasal dari mana,  serta apa  pula yang  akan terjadi nanti di kemudian hari ?   Dan masih begitu banyak pertanyaan demi pertanyaan yang tidak bisa terjawab dengan memuaskan, sekalipun oleh manusia yang paling geniuspun  yang ada di muka bumi ini.    Semua ini membuat pandangan kita menjadi  nanar, akal dan rasio kita menjadi  lelah.   Meskipun kita telah mencoba berulang-ulang memahaminya, tetap saja kita terbentur.   Sebab kita hanya menggunakan kemampuan  kesadaran  imajiner  yang  terbatas tersebut.  Hal ini telah disindir Allah dalan Firman-Nya  :

QS.  Al-Mulk  (67)  ayat : 3 – 4.

Yang telah menciptakan tujuh langit berlapis-lapis,  kamu sekali-kali tidak
melihat pada ciptaan Tuhan Yang Maha Pemurah sesuatu yang
tidak seimbang.  Maka lihatlah berulang-ulang, adakah
kamu lihat sesuatu yang tidak seimbang ?”.


“Kemudian pandanglah sekali lagi niscaya penglihatanmu akan kembali
kepadamu  dengan  tidak menemukan sesuatu cacat
dan penglihatanmu itupun dalam keadaan payah”.    


Jika mata imajiner telah mencapai batas keamampuannya, maka untuk memahami sebuah realitas yang tersembunyi dibalik  kemampuan mata imajiner, sudah semestinya kita harus menggunakan kemampuan tingkat Kesadaran Spiritual  yang lebih  mengandalkan hati (qalbu).   Hal ini telah  di sampaikan oleh Allah dalam ayat-ayat-Nya sebagai berikut: 

QS.  Al-Hajj (22) ayat : 46.

“maka apakah mereka tidak berjalan di muka bumi, lalu mereka mempunyai hati yang dengan itu mereka dapat memahami atau mempunyai telinga yang dengan itu mereka dapat mendengar ? Karena sesungguhnya bukanlah mata itu yang buta, tetapi yang buta, ialah hati yang ada didalam dada”.

QS.  Al-A’raaf (7) ayat : 54.

”Sesungguynya Tuhan kamu ialah Allah yang telah menciptakan langit dan bumi
dalam enam masa,  lalu Dia bersemayam di atas ”Arsy.  Dia menutupkan malam
kepada siang  yang mengikutinya dengan cepat, dan (diciptakan-Nya pula)
matahari, bulan dan bintang-bintang (masing-masing) tunduk kepada
perintah-Nya.  Ingatlah, meciptakan dan memerintah hanyalah  hak  Allah.
Maha Suci Allah,  Tuhan Semesta Alam”.

                                           QS.  An-Nahl ayat :  12.

”Dan Dia menundukkan malam dan siang, matahari dan bulan untukmu.
Dan bintang-bintang itu ditundukkan dengan perintah-Nya.  Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar ada tanda-tanda (kekuasaan/kebesaran Allah) bagi kaum yang memahami (berfikir/berilmu pengetahuan)”.



QS.  Al-Baqarah (2) ayat :  255.

”Allah,  tidak ada Tuhan (yang berhak disembah)  melainkan Dia Yang maha Hidup kekal lagi terus menerus mengurus (makhluk-Nya);  tidak mengantuk  dan tidak tidur.  Kepunyaan-Nya apa yang dilangit dan di bumi.  Tiada yang dapat memberi syafa’at
di sisi Allah tanpa izin-nya.  Allah mengetahui apa-apa yang dihadapan mereka
dan di belakang mereka,  dan mereka tidak mengetahui apa-apa dari ilmu
Allah melainkan apa yang dikehendaki-Nya.  Kursi Allah meliputi langit
dan bumi.  Dan Allah tidak merasa berat memelihara keduanya,
dan Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar”.


QS.  Al-An’aam  (6)  ayat :  75.

”Dan demikianlah  Kami memperlihatkan kepada Ibrahim tanda-tanda
keagungan (Kami yang terdapat) di langit dan di bumi, dan (kami memperlihatkannya)
agar Ibrahim itu termasuk orang-orang yang yakin”.

QS. Al-Jaatsiyah (45)  ayat : 37.

”Dan bagi-Nyalah keagungan di langit dan di bumi,
Dialah
Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana”.

QS.  Al-Hasyr  (59)  ayat :  23.

”Dialah Allah Yang tiada Tuhan  (yang berhak disembah) selain Dia,  Raja,
Yang  Maha Suci,  Yang Maha Sejahtera,  Yang Menganuriakan   keamanan, 
Yang Maha Memelihara,  Yang Maha Perkasa,  Yang Maha Kuasa, 
Yang Memiliki segala keagungan, Maha Suci, 
Allah dari apa yang mereka persekutukan”.

QS.  Al-Ankabuut  (29)  ayat :  63. 

”Dan sesungguhnya jika kamu menanyakan  kepada mereka :  ’Siapakah  yang menurunkan air dari langit lalu menghidupkan dengan air itu bumi sesudah matinya ?’  Tentu mereka akan menjawab: ’Allah’.  Katakanlah:  ’Segala puji  bagi Allah’,  tetapi kebanyakan mereka tidak memahami (nya)”.

Semua ayat-ayat di atas memberikan gambaran kepada kita bahwa alam semesta ini bukanlah terjadi dengan sendirinya sebagaimana anggapan dari para ilmuwan  beraliran materialistis atau atheis, melainkan ada penciptanya yaitu Allah Sang  Maha Pencipta.  Sebenarnya setiap manusia  yang mau ”Jujur melalui Hati Nuraninya”, pasti bisa merasakan dan mengaku dengan sepenuh hati bahwa tidak mungkin alam semesta ini tercipta dengan sendirinya.  Kalau mereka ditanya  : siapa pencipta alam semsta dengan segala isinya ?  Mereka pasti akan menmjawaba "Allah".  Namun, ternyata kebanyakan dari mereka malah mengingkarinya,  dengan berbagai alasan, dalih, teori ilmu pengetahuan dan malah kesombongannya. 

Jadi sangat nyatalah  disini  bahwa tingkat Kesadaran Spiritual memang sangat berkaitan erat dengan pengakuan hati nurani dan kejujuran sejati.  Bukan hanya sekedar atas kepintaran  atau  kecerdasan intlektual dan emosional belaka.  Hati yang jujur adalah hati yang mencari  kebenaran sejati,  itulah kunci utamanya.

Sepintar apapun seseorang, kalau hatinya ”buta”, maka ia tidak akan mampu memahami bahwa alam semesta ini diciptakan oleh Sang Maha Pencipta,  yaitu Allah.  Sebab,  mereka akan selalu mencari-cari  alasan untuk menyatakan bahwa alam semesta ini ada dengan sendirinya.  Pada hal sudah demikian nyata dan jelas dihadapan mereka terbentang  kenyataan  adanya tanda-tanda penciptaan itu,  mereka pasti tahu itu.  Tapi, sayang mereka tetap berpaling juga  darinya.  Hal  ini persis seperti apa yang dikatakan oleh Allah dalam firman-Nya.

QS.  Yusuf (12)  ayat :  105.

”Dan banyak sekali tanda-tanda (kekuasaan Allah) di langit dan di bumi  yang mereka lalu lalang,  sedang
                         mereka berpaling dari padanya”. 


 Ternyata bukan hanya dalam skala makrokosmos tanda-tanda kebesaran Allah itu digelar,  bahkan dalam skala mikrokosmos pun  para ilmuwan menemukan batas yang tak kalah ”mengerikan dan sekaligus menakjubkan”.   Dibalik kengerian dan kekaguman itu manusia yang menyebut dirinya pakar mulai merasa tidak memahami apa-apa alias menjadi merasa bukan lagi  pakar.   

Masa lalu manusia mengatakan bahwa benda di alam semesta ini tersusun oleh bagian terkecil yang disebut atom.   Kata atom memang berarti ”sesuatu yang tidak  bisa di bagi lagi”.  Atom berasal dari kata ”atomos” dalam bahasa Yunani,  yang berarti ”tidak bisa dibagi”.

Namun kemudian,  manusia mulai kecele,  ketika sejalan dengan perkembangan waktu  ditemukan kenyataan bahwa ternyata atom masih bisa di bagi lagi menjadi inti atom dan elektron-elektron.  Inti atom bagaikan matahari dalam tatasurya kita, sedangkan planet-planetnya adalah elektron-eklektron.  Ternyata semua benda di dalam semesta ini tersusun dari inti atom dan elektron-elektron itu. 

Sampai disini manusia sebenarnya mulai menyadari dan merasakan adanya sebuah misteri di balik inti atom  tersebut.   Timbul pertanyaan baru, benarkah inti atom ini tidak bisa dibagi-bagi lagi.  Setelah ditemukannya energi nuklir pada abad ke 20,  maka temuan ini sekaligus membuktikan ternyata inti atom pun masih bisa dipecah lagi menjadi  partikel-partikel  yang lebih kecil lagi disebut degan sub atomik,  yaitu proton dan neutron. 

Lebih jauh, kemudian diketahui bahwa neutron pun masih bisa di bagi menjadi proton dan elektron,  dan seterusnya kemudian diketahui bahwa partikel-partikel sub atomik itu terdiri dari  ”Pilinan Energi”  yang disebut dengan ”Quark”.   

Jadi sampai sekarang, para pakar atomik masih terbengong-bengong dengan kenyataan ini.   Bahwa,  ternyata benda di alam semesta ini  masih bisa dibagi-bagi dalam ukuran yang tak terbatas kecilnya.  Dan ketika dipecah-pecah lagi semakin kecil,  tiba-tiba sifat bendanya menjadi hilang berubah menjadi energi. 

Kenyataan ini  mulai tampak pada elektron.  ”Elektron” adalah salah satu jenis partikel yang memiliki dua sifat yang membingungkan.  Kadang-kadang tampak sebagai materi dan di lain  waktu tampak sebagai bola energi.  Hal ini tentu saja sangat membingungkan,  sebab materi dan energi adalah dua eksistensi yang berlawanan.  Bagaimana mungkin ada sesuatu yang bisa memiliki sifat berlawanan sekali gus.  Karena Materi adalah bersifat kuantitas,  sedangkan Energi bersifat kualitas.  Saking bingungnya para pakar fisika mengklasifikasikan elektron memiliki sifat kualitas dan kuantitas sekaligus,  sehingga akhirnya para pakar menyimpulkan  elektron memiliki  ”sifat dualisme”.

Dari  realitas tersebut,  dalam skala mikrokosmos pun  manusia mengalami kebingungan yang sangat substansial.  Sehingga kemampuan mata imajiner dan Kesadaran rasionalnya telah membentur dinding tebal misteri yang tak mampu mereka tembus.  Ternyata tiba-tiba ada suatu batas yang berada dibalik batas itu sendiri,  yang mereka tidak mampu memahaminya.   Dan terpaksa mereka mengakui adanya suatu kecerdasan yang mengatur semua partikel dan energi. 

Dan pada saat itulah sebenarnya ”Kesadaran Rasional” telah kalah dan memicu munculnya  kesadaran baru, yaitu ”Kesadaran Spiritual”.  Seseorang yang paham dan mengerti akan mengakui  bahwa di balik semua kenyataan ini ada suatu ”Aktor Yang Maha Akbar” yang telah mengatur segalanya.   DIA  adalah dzat yang  ”Suprarasional”,   DZAT yang hanya bisa dipahami dengan ”HATI”,  bukan hanya sekedar ”Rasio”, akan tetapi dengan menggunakan segenap potensi akal secara sempurna.   Coba kita simak ayat berikut.

QS. An-Nisaa’  (4)  ayat :  5.

”Dan jangalah kamu serahkan kepada orang-orang yang belum sempurna akalnya, harta (mereka yang ada dalam kekuasaanmu) yang dijadikan Allah sebagai pokok kehidupan.  Berilah mereka belanja  dan pakaian (dari hasil harta itu) dan ucapkanlah kepada mereka kata-kata yang baik”.

QS.  Qashash  (28)   ayat :  14.

”Dan setelah Musa cukup umur dan sempurna akalnya,  Kami berikan kepanya hikmah (kenabian) dan pengetahuan.  Dan  demikianlah Kami memberikan balasan kepada orang-orang yang berbuat baik”. 


Demikianlah,  ada akal yang belum sempurna, dan ada pula akal yang telah mencapai kesempurnaanya.  Akal yang sudah sempurna adalah akal yang telah mampu menangkap hikmah,  tidaklah sama  sebagaimana akal  yang belum sempurna.  Seperti disampaikan dalam ayat di atas, Nabi Musa  memperoleh hikmah  dan pengetahuan setelah akalnya sempurna di usia dewasa. 

Akal yang sempurna adalah akal yang telah mampu merangkaikan seluruh komponen akal yang berkaitan dengan panca inderanya (Kesadaran Inderawi), berhubungan dengan khasanah keilmuwan empirik (Kesadaran Rasional), dan juga tersambung dengan hati sebagai sensor kefahaman Spiritual (Kesadaran Spiritual).  Kefahaman ”Hati”  lebih bersifat  ”Holistik”, dan didalamnya terkandung makna-makna : mengobservasi dengan panca indera (yandzurun), berfikir secara rasional (yatafakkarun), dan memahami (yafqahun).  Dan inilah yang dikatakan menggunakan akal  secara sempurna  (ya’qilun).

Keterbatasan rasio manusia kelihatan sekali ketika ia mencoba mengobsevasi proses-proses kehidupan secara menyeluruh. Ketika pertanyaan yang muncul, dari manakah munculnya kehidupan ?  bagaimana proses kehidupan itu terjadi ?  Sebelum dan sesudah kehidupan itu  apa yang terjadi  dan bagaimana selanjutnya ?  dan seterusnya. 

Berikut ini terdapat kisah sebuah pengembaraan manusia mencoba mengungkap sebuah rahasia kehidupan abstrak.   Sudah lama sekali manusia ingin melihat nyawa atau ruh,  seperti apa bentuknya, dari mana datangnya, terbuat dari bahan apa, dan kemana perginya nanti ?  Tapi sampai saat ini sepanjang perjalanan  hidup manusia, pertanyaan itu belum terjawab secara pasti.  Sampai-sampai ada cerita tentang seorang penguasa dzolim yang mencoba mengurung  hidup-hidup  seorang manusia dalam sebuah almari kaca sampai mati,  hanya sekedar ingin melihat keluarnya nyawa dari badan manusia.   Kayaknya  mau jadi pakar nyawa ngkali yaa sekali gus dapat hadiah Nobel.  Tapi, tetap saja tidak berhasil juga melihat nyawa.  Bisa jadi suatu saat nanti ada saja orang iseng  yang  mencoba menampung nyawa seseorang ketika  seseorang  tersebut dalam sakratul maut,   dengan kantong plastik di atas kepalanya, dengan harapan dapat melihat nyawa keluar atau memotretnya dengan camera infra merah dan lain sebagainya.   Disamping itu para pakar filosof dari zaman dulu sampai sekarang berusaha terus memahami keberadaan Jiwa dan Ruh  sebagai penggerak kehidupan,  juga tidak pernah meberikan hasil yang  memuaskan.  

Yah,  sudah berabad-abad lamanya manusia mencoba menguak tabir misteri terbesar dalam drama kehidupan manusia itu sendiri.  Tapi sampai sekarang, tabir rahasia itu tetap tersimpan rapat dalam misteri kotak hitam yang sangat misterius.  Terutama bagi mereka yang ingin memahaminya hanya dari pendekatan kacamata rasional semata. 

Sebagaimana pemahaman manusia terhadap alam makrokosmos  dan mikrokosmos, manusia tetap terbentur  dengan dinding tebal  yang sangat misterius, ketika ia mencoba menguak tabir misteri kehidupan ini.  Problema utama yang  sebenarnya bukan  terletak pada ”Bisa atau Tidak Bisa” misteri itu terkuak,  melainkan lebih kepada ”sudah benarkah cara dan alat bantu yang digunakan untuk menguak tabir  misteri itu”

Jika kita hanya sekedar menggunakan kemampuan Kesadaran Rasional saja, maka sangat boleh jadi misteri tersebut tidak akan pernah terkuak sampai akhir zaman.  Sebab, Kesadaran Rasional memang berfungsi hanya pada batas persoalan yang bersifat empiris, yang bisa diulang-ulang secara kasat mata.  Pada hal, misteri dibalik alam fisik ini adalah wilayah yang tidak akan mampu sampai kapanpun dijangkau secara empiris.  

Bagaimana mungkin kita bisa kita bisa membuktikan keberadaan batas-batas alam semesta,  sementara usia peradaban manusia saja tidak cukup untuk membuktikannya ?  Bukankah alam semesta ini sudah berusia milyaran tahun,  sementara peradaban manusia baru berusia puluhan ribu tahun saja ? 

Demikian pula halnya, mari kita coba membuat sebuah ilustrasi, kalaulah  alam semesta  ini berbatas, maka diameter alam semesta ini sangatlah besar, sehingga kita tidak akan pernah menjangkau wilayah yang di duga berjarak miliaran tahun cahaya tersebut.  Coba anda hitung dengan menggunakan rumus matematis: 1 tahun adalah 365  hari, 1 hari sama dengan 24 jam, 1 jam sama dengan 60 menit dan 1 menit sama dengan 60 detik,  sedangkan kecepatan cahaya bergerak 186.000  mil/detik.  Jika diameter alam semesta ini kita umpamakan saja dari titik pangkal ke ujungnya berjarak 1 milyar tahun perjalanan cahaya (1.000.000.000 tahun cahaya), maka kita akan mendapat jarak dengan angka yang spektakuler yaitu :  1.000.000.000 X 365 X 24 X 60 X 60 X 186.000  mil  =  5.865.696.000.000.000.000.000  mil.  Andai kata saat ini manusia mampu bergerak dengan  laju  tercepat  lebih kurang 20.000 mil per jam, maka waktu yang dibutuhkan oleh manusia menempuh jarak diameter alam semesta tersebut selama 33.480.000.000.000  tahun (33,48 triliun tahun).   Meskipun hanya lewat pandangan mata kita tidak akan pernah bisa menjangkau wilayah yang berjarak demikian jauh itu.  Apa lagi kita ingin memahami apa-apa yang ada di luar batas alam semesta ini.  Ada sesuatu yang “Maha Besar” yang menghadang “kemampuan penglihatan”  kita,  lebih dari sekedar menggunakan mata imajiner dan kemampuan rasionalitas. 

Demikian pula sebaliknya, agaknya kita tidak  akan mampu membuktikan batas-batas alam mikrokosmos secara mendetil, karena keterbatasan kemampuan peralatan dan penglihatan manusia.  Semakin kecil suatu benda, semakin sulit kita untuk memahaminya. Ternyata ada suatu ketidakpastian  yang demikian besar ketika kita ingin sekedar menentukan posisi suatu pertikel, sebagaimana telah dibuktikan oleh “Werner Heisenberg,”  lewat teori Ketidak-pastiannya.   Apa lagi kita ingin membuktikan keberadaan benda yang paling kecil dibandingkan partikel,  lalu ada  apa lagi dibalik sesuatu yang terkecil itu, agaknya masih merupakan mimpi belaka.  

Sebab,  pada   skala terkecil  yang telah ditemukan  oleh pengetahuan manusia saat ini,  keberadan benda itu pun telah memunculkan  sebuah  kerancuan yang sangat membingungkan, apakah elektron itu dapat disebut sebagai materi atau energi.  Dia berada di antara kuantitas dan kualitas,  antara nyata  dan maya,  bahkan antara ada dan tiada.  Manusia pun dihadang oleh sebuah tembok misteri “Yang Maha Halus” dan penuh rahasia untuk mengekplorasi apa-apa yang ada di balik kehalusan struktur materi dan energi tersebut. 

Lalu akhirnya, bagaimana mungkin manusia ingin mengungkap sumber-sumber kehidupan itu secara akurat dan pasti,  karena “Kehidupan” itu sendiri muncul dari sesuatu yang bukan  disebut sebagai  materi ataupun energi.  Sebab, baru sampai pada batas pemahaman tentang partikel dan energi saja manusia sudah dihadapkan  pada  sebuah kebingungan yang berkepanjangan.   Karena, ternyata kehidupan  itu muncul sebagai sebuah “Kehendak” yang bisa “mengatur dan mengarahkan”  dirinya sendiri.   Ia yang mengendalikan proses-proses material dan energial yang mengiringi kehidupan itu,  bahkan di luar kesadaran si pelaksana kehidupan.  Manusia bukanlah pemilik kehidupan, melainkan hanya sekedar pelaksana kehidupan belaka.  

Orang-orang  yang hanya berkutat pada pemikiran yang bersifat materi dan energi  belaka tidak akan pernah menemukan essensi kehidupan ini.  Kita tidak pernah tahu,  misalnya kenapa jantung itu terus berdetak sepanjang hayat.  Dan kita juga tidak pernah tahu kenapa udara selalu keluar masuk melalui hidung kita, kenapa organ-organ paru-paru, liver, ginjal, sumsum tulang belakang,  usus, otot, darah, sel beserta kromosom, rantai genetika dan lain sebagainya bekerja seperti apa adanya.

Kita juga tidak tahu kenapa kita bisa berfikir, memahami, menganalisa, dan menyimpulkan sesuatu.  Dan yang lebih misterius lagi kenapa kita memiliki “Kehendak”  untuk hidup,  untuk berkreatifitas,  untuk menjalani kebaikan dan keburukan,  dan seterusnya.  Dan dari manakah munculnya kehendak itu ?

Disini,  kembali kita dihadang oleh sebuah kekuatan yang “Maha Hidup”  dan “Maha Berkehendak” yang menjadi sumber dari kehidupan itu sendiri.  Mata imajiner dan rasio kita kembali tidak mampu menangkap “Sosok” di balik kehidupan ini.  Kecuali apabila kita menggunakan kemampuan  “Mata Spiritual” dalam memahami misteri tersebut. 

Mata Spiritual tidak hanya berkerja berdasarkan kecakapan inderawi, tidak pula hanya mengandalkan ilmu pengetahuan empiris, akan tetapi juga bersandar kepada kejujuran dan kerendahan hati, kehendak menuju pada kebenaran sejati, serta keyakinan spiritual yang bersumber  dari informasi yang bersifat ilahiah. 

Bagaimana mungkin kita memperoleh informasi tentang kehidupan setelah mati, jika kita tidak mempelajarinya dari ayat-ayat Suci Al-Qur’an yang merupakan khabar berita  yang telah dikirim Allah dari “Luh Mahfudz” kepada ummat manusia melalui utusan-Nya Nabi Muhammad SAW ?  Bagaimana kita memahami secara akurat tentang struktur langit yang tujuh,  kalau  kita tidak berusaha menggalinya dari firman-firman Allah ?  Bagaimana mungkin pula kita bisa memahami Jiwa dan Ruh, kalau lah  kita tidak bersandar kepada informasi yang telah disampaikan oleh sang  Pencipta Ruh dan Jiwa   itu sendiri ?  Mustahil  kan ?

Begitulah memang cara kerjanya Kesadaran Spiritual.  Bersumber dari informasi ilahiah, kemudian dipahami oleh  “Akal Sempurna” lewat mekanisme inderawi,  ilmu empirik-rasional, dan hati.  Kesimpulan dari semua itu akan menghasilkan sebuah “Kesadaran” yang demikian tajam,  luas sekaligus halus. 
 
4.      Kesadaran Tauhid.

        Kesadaran Tauhid”  merupakan tingkat kesadaran yang paling tinggi,  merupakan sebuah tingkat kesadaran tingkat lanjut dari proses  Kesadaran Spiritual.  Kesadaran ini bakal dapat dicapai oleh mereka yang telah menjalani Kesadaran Spiritual dalam kurun waktu tertentu, bisa bertahun-tahun bahkan sampai berpuluh–puluh tahun. 

Kesadaran Tauhid ini mulai muncul dicirikan oleh menyatunya segala kefahaman menjadi Tauhidullah”,  atau dengan kata lain meng-Esakan Allah semata dalam proses kehidupan seseorang.   Bukan hanya dalam bentuk persepsi semata, melainkan telah menjalar kepada seluruh sikap dan prilaku kehidupan  keseharian seseorang.  Pada tingkat Kesadaran Tauhid inilah yang bakal melahirkan kepasrahan yang mendalam kepada Sang Khalik, merupakan tingkat tertinggi dalam beragama Islam atau disebut juga dengan Mukminun yang Kaffah. 

Dalam proses pencarian Kesadaran,  seseorang yang mencari jati diri kehidupan ini  bakal selalu mentok”.  Ujung-ujungnya adalah rasa “Ngeri”  atau  “Terpesona”  atau campuran keduanya,  dalam memandang Kebesaran dan Keagungan Allah,  dalam puncak Kesadaran Spiritualnya.  Ia kini merasa kecil dan tak berdaya,  karena  merasa  berhadapan dengan sebuah Kekuatan  yang tak  terkira.  Baik Kemaha-agungan-Nya, Kemaha-besaran-Nya, Kemaha-sempurna-Nya, Kemaha-halusan-Nya, Kemaha-perkasaan-Nya dan ke-Maha yang lainnya.

Seseorang  yang mencapai kondisi ini  adalah orang yang telah bertemu dengan Tuhannya dalam pencarian yang tiada henti.  Lantas, muncul sebuah pengakuan bahwa diri manusia itu sangatlah  kecil dan lemah,  sedangkan Tuhannya  Maha  Kuat,  Besar  dan Perkasa.   Manusia itu bodoh dan naif,  sedangkan Tuhannya  sangat pintar dan tahu segala-galanya.  Manusia itu kasar dan ceroboh,  sedangkan Tuhannya Sangat Halus dan Teliti.  Manusia penuh dengan segala kekurangan  dan keterbatasannya,  sedangkan Tuhannya  Maha Sempurna.  

Kesadaran Spiritual inilah yang telah menghantarkan manusia kepada Sang Pencipta  yang Maha Agung   dan Mulia.  Maka, setelah itu manusia bakal berproses lebih jauh berintraksi dengan Dzat Ketuhanan itu,  nah dari sinilah mulai munculnya Kesadaran Tauhid. 

Kesadaran Tauhid dimulai dengan munculnya sebuah surprise,  bahwa kemana pun kita menghadap, selalu ketemu dengan Allah.  Sebagaimana Allah telah berfirman seperti berikut ini. 

QS.  Al-Baqarah  (2)  ayat :  115.

”Dan kepunyaan Allah lah  timur dan barat, maka ke manapun kamu menghadap di situlah wajah Allah.  Sesungguhnya Allah Maha Luas lagi Maha Mengetahui”.

QS.  Al-Baqarah (2)  ayat :   140.
”Allah, tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan  Dia Yang Hidup kekal lagi terus menerus  mengurus (makhluk-Nya);   tidak mengantuk dan tidak tidur.  Kepunyaan-Nya apa yang di langit dan di bumi.  Tiada yang dapat memberi syafa’at di sisi Allah tanpa izin-Nya.  Allah mengetahui apa-apa yang di hadapan mereka dan di belakang mereka,  dan mereka tidak  mengetahui apa-apa dari ilmu  Allah melainkan apa yang di kehendaki-Nya.  Kursi Allah meliputi langit dan bumi.  Dan Allah tidak merasa berat memelihara keduanya, dan Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar”.

QS.  Asy-Syu’ara  (26)  ayat :  28.

”Musa berkata :  Tuhan yang menguasai timur dan barat dan apa yang ada di antara keduanya:  (itulah Tuhanmu) jika kamu mempergunakan akal”.

QS.  An-Nisaa’  (4)  ayat :  126. 

”Kepunyaan Allah-lah apa yang di langit dan apa yang di bumi, dan adalah Allah maha Meliputi segala sesuatu”.

QS.  Bani Israil  (17)  ayat :  60.
Dan  (ingatlah),  ketika Kami wahyukan kepada mu  ’Sesungguhnya Tuhanmu meliputi segala manusia’.  Dan Kami tidak menjadikan mimpi yang telah Kami perlihatkan kepadamu, melainkan sebagai ujian bagi manusia dan (begitu pula) pohon kayu yang terkutuk  dalam Al-Qur’an.  Dan Kami menakut-nakuti mereka, tetapi yang demikian itu hanyalah manambah besar kedurhakaan mereka”.

QS.  Ath-Thalaq  (65)  ayat:  12.

”Allah-lah yang menciptakan tujuh lapis langit dan seperti itu pula bumi.  Perintah Allah berlaku padanya, agar kamu mengetahui bahwasannya Allah Mah Kuasa atas segala sesuatu, dan sesunguhnya Allah,   ilmu-Nya benar-benar meliputi segala sesuatu”.

QS.  Al-Baqarah (2)  ayat :  186.

”Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang  Aku,  maka (jawablah),  bahwasannya Aku adalah dekat.   Aku mengabulkan permohonan orang  yang  berdo’a apabila ia memohon kepada-Ku,  maka hendaklah mereka itu memenuhi (segala perintah Ku dan  hendaklah mereka beriman kepada-Ku, agar mereka selalu berada dalam kebenaran”.


Dan masih banyak ayat–ayat yang menggambarkan betapa Allah meliputi segala sesuatu.  Kemanapun kita menghadap disitulah kita melihat Allah.   Dengan benda apa pun kita melakukan interaksi, sebenarnya di situ juga ada Allah.  Sedang menghadapi problema apa pun kita,  sebenarnya kita juga sedang berhadapan dengan Allah. 

Ya,  Allah hadir dimana-mana, pada setiap yang kita lihat, di segala yang kita dengar, dalam segala persoalan–persoalan apa saja yang sedang kita pikirkan dan di segala sesuatu yang kita lakukan.   Bahkan Allah juga hadir di sekujur tubuh kita.  Mulai dari denyut  jantung, setiap tarikan nafas, setiap geliat otot-otot,  percikan  sinyal-sinyal listrik   dalam sel-sel syaraf dan otak, bahkan  pada  seluruh aktifitas kehidupan kita.  Dengan demikian Allah hadir disetiap penjuru kehidupan kita,  inilah makna dari ayat yang menyatakan bahwa Allah melingkupi segala sesuatu di alam ini. 

Seseorang yang telah mencapai tingkat Kesadaran Tauhid, tiba-tiba ia menjadi begitu jernih melihat kehadiran Allah dalam setiap detak kehidupannya.  Ketika ia sedang sendirian,  tiba-tiba ia merasakan Allah tetap hadir pada setiap tarikan dan desah nafasnya.    Ia seakan-akan bisa ”melihat”  betapa oksigen yang dihirupnya dari hidung meresap ke dalam paru-parunya, ditangkap oleh gelembung-gelembung alvioli, kemudian diedarkan ke miliaran sel-sel dalam tubuhnya melalui mekanisme peredaran darah,  sungguh sangat mengagumkan. 

Ia melihat betapa Allah hadir dan selalu aktif dalam mengendalikan seluruh mekanisme distribusi oksigen itu.  Ia bahkan bisa merasakan, betapa ngerinya jika Allah tidak hadir atau tidak peduli dalam proses pengangkutan oksigen tersebut.  Maka proses tersebut akan menjadi amburadul tidak terkendali.  Jaringan alvioli di dalam paru-paru tidak mampu menangkap gelembung oksigen.  Dan kemudian darah tidak mampu mengangkut oksigen sesuai dengan kebutuhan.  Maka, dalam waktu beberapa menit  kemudian,  sel-sel di dalam tubuh kita akan mengalami kematian massal dengan sangat dramatis. 

Miliaran sel tidak memperoleh pasokan oksigen sesuai kebutuhan,  termasuk otak.  Secara beruntun orang yang gagal memperoleh oksigen tersebut bakal mengalami kondisi seperti tercekik, badannya membiru, lantas kemudian kehilangan kesadarannya, pingsan dan kemudian mengalami kerusakan berbagai organ tubuh.  Pada akhirnya orang tersebut menemui kematiannya. 

Kalaulah  manusia itu mau menyadarinya dengan sungguh-sungguh,  betapa dominannya kekuasaan Allah berperan dalam proses kehidupannya.  Dalam waktu yang bersamaan,  Allah sedang mempertontonkan berbagai sifat Ketuhanan-Nya,  Kekuasaaan-Nya,  Ketelitian-Nya,  Kehalusan-Nya, Kepintaran-Nya, Kehendak-Nya dan sekaligus Kasih Sayang terhadap makhluknya,  bercampur dalam sebuah proses mengendalikan pasokan oksigen ke dalam tubuh makhluk hidupnya. 

Allah telah menjaganya tanpa henti,  tidak mengantuk,  tidak tidur  dan tidak pernah merasa capek mengurus semua makhluk bahkan semua ciptaannya mulai dari lapisan langit ke satu sampai ke langit ketujuh bahkan sampai ke Sidhrathal Munthaha.  Persis seperti apa yang telah di firmankan-Nya dalam ayat-ayat-Nya :

”Allah,  tidak ada Tuhan (yang berhak disembah)  melainkan Dia Yang Maha Hidup kekal lagi  terus- menerus mengurus  (makhluk-Nya);  tidak mengantuk dan tidak tidur.  Kepunyaan-Nya apa yang  di langit dan di bumi”
(QS.  Al-Baqarah (2)  ayat :   140 ).

Allah setiap saat selalu sibuk dalam urusan-Nya,  dalam ayat lain juga Allah juga menegaskan,  bahwa DIA selalu dalam kesibukan.  Persis seperti ayat berikut ini.  

QS.  Ar-Rahman (55)  ayat :  29.

”Semua yang ada di langit dan di bumi selalu meminta kepada-Nya.  Setiap waktu Dia dalam kesibukan”.

Dapat kita bayangkan seandainya Allah berhenti sesaat saja dalam mengurus proses kehidupan atau pergerakan makhluk-Nya,  maka triliunan materi pengisi langit  ini akan bergerak simpang siur dan akan terjadi tabrakan yang sangat mengerikan  dan makhluk hidup akan mengalami problema yang sangat serius dalam seluruh proses metabolisme hidupnya.

Sungguh benar, Allah bukan hanya  hadir di dalam nafas kita, sebab dalam waktu yang bersamaan Ia juga sedang “sibuk” mengatur denyut jantung miliaran makhluk hidup lainnya.  Bukan hanya manusia  yang berjumlah lebih kurang  5 milyaran itu,  tetapi  juga jantung milyaran makhluk lainnya seperti monyet, harimau, gajah, sapi, kerbau, ayam, burung, ikan-ikan dan lain sebagainya, semuanya dalam kondisi yang  berbeda-beda.   Ada yang memerlukan jantungnya berdenyut kencang, karena sedang  aktif beraktivitas seperti berlari, marah dan emosi, tetapi ada juga yang sedang-sedang saja karena sedang santai-santai saja, rileks, tertidur atau beristirahat.  Semuanya  sedang dikontrol dengan sangat teliti, cermat dan kasuistik.  Dapatkah anda saat ini membayangkan betapa tinggi tingkat kerumitan dan kesulitannya ?  Sungguh Allah tidak merasa sedikitpun kerumitan dan kesulitannya, semua sangat mudah bagi-Nya.

Sebenarnya, jika kita mau merenungi dan mencermati dengan sangat dalam,   maka kita akan mersa bergidik sendiri betapa dahsyat  dan perkasanya Allah sang Penguasa dan Pencipta  alam semesta ini.  Coba anda  renungi, dalam waktu bersamaan,  tanpa ada jeda waktu barang seper  sejuta detik pun,  Ia sedang mengatur gerak kehidupan miliran pepohonan, ada yang sedang berbunga, berbuah, bertunas, bercabang, layu, rontok dan roboh dan lain sebagainya.  

Dilain pihak,  Allah juga sedang mengerakkan angin dengan kecepatan tertentu, mendorong awan ke wilayah yang dapat memprosesnya menjadi butiran-butiran air agar bisa turun menjadi hujan di daerah yang membutuhkan hujan, mengatur suhu agar sesuai dengan kebutuhan makhluk hidup, mengatur gelombang laut agar bisa dilayari oleh kapal-kapal,  mengatur gunung-gunung agar tidak selalu bergolak, mengatur pergerakan kerak bumi sampai kepada pusaran inti bumi,  mengatur petir,  membagi cahaya mata hari sesuai dengan kebutuhan dan lain sebagainya.   Hujan tidak diturunkan-Nya sekali gus seperti air bah, melainkan diturunkan dalam bentuk butiran-butiran halus dengan kecepatan yang terukur, sehingga ketika jatuh ke bumi tidak membahayakan makhluk  yang disiraminya.  Coba kita bayangkan, jika air hujan diturunkan Allah dalam bentuk air bah yang jumlahnya ribuan ton, maka akibatnya sangat dahsyat, atau turun dalam bentuk butiran dengan kecepatan yang sangat tinggi karena tak ada atmosfer yang menghalanginya, maka apa saja yang ditimpanya akan bolong-bolong ditembus oleh butiran air tersebut.  Semuanya telah diatur oleh Allah dengan perhitungan matematis yang  maha canggih,  baik jumlah air hujan  yang turun maupun cara dan kecepatannya, sungguh Ilmu Allah  Maha Tinggi.   Mari kita cermati  ayat  berikut. 

QS.  Zukhruf (43) :  11

“Dan yang menurunkan air dari langit menurut kadar (yang diperlukan)  lalu Kami hidupkan dengan air itu negeri yang mati,  seperti itulah kamu akan
 dikeluarkan (dari dalam kubur)”.

Dalam waktu yang bersamaan itu Allah sedang mengatur dan mengendalikan sekaligfus mengawasi triliunan kejadian di muka bumi ini mulai dari yang paling kasar sampai ke yang paling halus,  pada saat yang bersamaan pula ia juga sedang mengatur dan mengendalikan sekaligus mengawasi 4 - 5 milyar  “genome” yang bertanggung jawab terhadap berbagai reaksi biokimia terkait dengan sifat-sifat khas kehidupan seorang manusia. 

Untuk urusan genome  ini saja,  bila kita hitung maka kita akan memperoleh angka rekasi biokimia yang sangat spektakuler, anggap saja jumlah manusia di muka bumi ini persis 5 milyar.   Maka dalam waktu yang bersamaan Allah sedang mengatur, mengendalikan dan mengawasi 5  miliyar x  5 miliyar  =  25  juta-triliun reaksi biokimia di dalam seluruh tubuh manusia yang hidup di muka bumi ini.

Sumuanya dalam keadaan kritis,  sebab jika terjadi sedikit saja penyimpangan suatu reaksi biokimia saja dalam tubuh manusia,  maka akan terjadi penyimpangan kesehatan pada diri manusia tersebut.  Jadi sehat tidaknya manusia itu ada  dalam genggaman Allah, meleset saja salah satu  reaksi itu mengakibatkan ketidak-seimbangan reaksi-reaksi kimia tubuh dan  akan berakibat vatal.  
  
Pada hal kita tahu, bukan manusia saja yang hidup di muka bumi ini, masih banyak hewan dan tumbuhan yang  jumlahnya juga milyaran,  bahkan mungkin jauh lebih banyak dari jumlah manusia.   Dan semuanya berkembang dengan sebuah desain yang sangat khas.  Tidak ada yang sama antara hewan dengan  hewan lainnya, antara  tanaman dengan tanaman lainnya. 

Bila kita asumsikan terdapat 10 milyar hewan dan 10 milyar tumbuhan yang hidup di  muka bumi ini, baik di daratan, lautan maupun  di udara,  maka akan terdapat 20  milyar  x  5 milyar atau 100  juta-triliun reaksi biokimia yang harus dikendalikan, di atur dan di awasi oleh Allah dengan tingkat kesulitan beraneka ragam,  melalui sebuah  ketelitian dan kecermatan yang luar biasa pula dalam waktu yang bersamaan. 

Dapat kah anda menyadari,  bahwa untuk urusan reaksi biokimia makhluk hidup saja Allah sudah demikian  “disibukkan”,  karena harus  mengendalikan, mengatur dan mengawasi sekitar 125 juta-triliun peristiwa kimia yang dikerjakan dalam waktu bersamaan, katakalah pada saat anda sedang membaca buku ini. 

Masih sangat banyak peristiwa lain  yang harus dikendalikan, diatur dan diawasi Allah,  seperti hal-hal yang berkaitan dengan koordinasi  antar  jaringan,  organ dan tubuh makhluk hidup.  Apa yang dapat anda bayangkan dengan memahami   cara organisasi pengaturan dan pengendalian miliaran  reaksi biokimia yang terjadi didalam sel-sel,   yang kemudian terkoordinasi membentuk miliran jaringan, organ dan tubuh dari bermiliyar-miliyar makhluk hidup itu !?  Jika anda tidak berusaha untuk menjadi tahu atau berusaha untuk mempelajari dan merenunginya, tentu saja anda tidak akan pernah mengerti atau memamahami hal itu, pasti !?  Tanyakalah sekali lagi kepada diri anda,  masih pantaskah anda berlaku congkak, sombong, angkuh, merasa hebat sendiri, tidak berterima kasih, tidak bersyukur, tidak merasa tunduk baik secara terang-terangan maupun  terselubung kepada Sang Maha Perkasa selama anda menjalani kehidupan diatas bumi milik-Nya ini  !?   Wallahu’alambissawab. 

Sungguh demikian dahsyatnya !   Dan semua itu telah berjalan selama lebih kurang 5 milyar tahun usia planet bumi.  Semua telah dan sedang  terkontrol dengan sangat teliti dalam skala yang sangat raksasa.  Kamudian,  bisa kah anda bayangkan ketika kita membicarakan dalam skala makrokosmos atau alam semesta raya ini  ? !

Terdapat bermiliyar-mulyar benda-benda angkasa yang juga membutuhkan pengaturan dan perhatian Allah dalam urutan waktu yang tiada pernah berhenti.  Jika “Mleng”  seper sekian detik saja hancurlah alam semesta ini  beserta isinya,  karena melenceng sedikit saja pergerakan alam semesta ini maka akibatnya amat dahsyat.

Puncak dari segala sesuatu yang telah kita bahas ini adalah :  “Munculnya sebuah kefahaman bagi yang menyadarinya, bahwa semua peristiwa kritis itu hanya dikendalikan oleh Sosok yang Maha Tunggal saja. Sebab,  jika tidak, atau ada sosok aktor lainnya yang sama-sama berkuasa di alam semesta ini,  maka seluruh koordinasi itu akan menjadi kacau balau,  persis seperti yang telah difirmankan Allah dalam ayat-Nya berkut ini.              

QS.  Al-Anbiyaa’  (21) :  22.

“Sekiranya di langit dan di bumi ada tuhan-tuhan selain Allah,  tentulah kedunya itu telah rusak  binasa.  Maka Maha Suci Allah yang mempunyai ”Arsy” 
dari pada apa yang mereka sifatkan”.

Dengan alasan yang sangat logis tersebut di atas kiranya Allah telah memberikan argumentasi kepada manusia, tidak mungkin ada beberapa Tuhan sebagai  penguasa alam semesta ini.  Jika tidak mengikuti satu aturan saja,  maka dapat dipastikan alam semesta ini akan mengalami kehancuran.  Sebab,  hukum alam yang mengaturnya tidak berada dalam  satu garis komando sehingga tidak bisa disinkronkan antara satu perintah dengan perintah lainnya. 

Semua ilmuwan astronomi --termasuk Einstein--  mengakui bahwa di  alam semesta ini hanya berlaku satu hukum saja.  Dan itu  berarti hanya ada satu Tuhan saja yang menciptakan dan mengendalikan segala sesuatu di alam semesta ini,  yaitu Allah Azza Wajalla.  Coba kita perhatikan ayat berikut ini. 

QS.  Ar-Ra’d  (13)  ayat :  16.

“Katakanlah:  ‘Siapakah Tuhan langit dan bumi ?’   Jawabnya:  ‘Allah’.  Katakanlah: 
‘Maka patutkah kamu mengambil pelindung-pelindungmu dari selain Allah, 
padahal mereka tidak menguasai kemanfaatan dan tidak (pula)
kemudharatan bagi diri mereka sendiri ?’.  Katakanlah: 
‘Adakah sama  orang buta dan yang dapat melihat,
atau samakah gelap gulita dan terang benderang;
apakah mereka menjadikan beberapa sekutu bagi Allah
yang dapat menciptakan seperti ciptaan-Nya
sehingga kedua ciptaan itu serupa
menurut pandangan mereka ?’.
 Katakanlah :  ‘ Allah adalah pencipta
 segala sesuatu dan Dia-lah Tuhan yang Maha Esa lagi Maha Perkasa’  “ 

Bahkan,  didalam ayat tersebut  Allah telah mengembangkan logika  itu lebih luas, yaitu apakah ada Tuhan lain yang bisa menciptakan makhluk seperti yang  telah Ia ciptakan ?  Tentu jawabnya,  pasti tidak akan pernah ada sampai kapanpun.   Oleh karena itu, tidak ada pilihan lain untuk bertuhan,  kecuali kepada Allah sang Pencipta Alam Semesta.

Sampai disinilah puncak pencarian seseorang terhadap hakikad kehidupan ini.  Tanpa bisa dibantah lagi,  ia telah mencapai kesimpulan final bahwa alam semesta ini beserta seluruh isinya  memang diciptakan  dengan sengaja dan sang Pencipta itu  bernama  Allah SWT,  seperti telah di ceritakan  dalam ayat-ayat-Nya  tersebut di atas. 

Maka, berikrarlah segenap jiwa dan raga kita  mengakui akan eksistensi Allah,  bukan hanya semata dalam  kiblat shalatnya, tetapi ia merasakan bahkan menyaksikan kehadiran Allah  diseluruh penjuru kehidupannya.  Sejak ia bangun tidur, kemudian beraktifitas dalam kehidupan, sampai ia tertidur kembali, ia tidak pernah bisa lepas dari kebaradaan Allah sebagai pusat kontrol kehidupannya.

Dan pada saat ini seseorang dikatakan telah mencapai puncak kesadaran tertinggi,  yaitu Kesadaran Tauhid.  Hidup ini baginya hanya bermakna satu saja,  yaitu “Laa ilaaha illallah—Tidak ada Tuhan (meniadakan apa saja diseluruh penjuru alam semesta ini)  kecuali Allah (yang ada hanya Allah)”.  Dia bersaksi diri-Nya dan segenap makhluk di alam semesta ini berada di dalam “Genggaman Kekuasaan-Nya”.  Sekarang manusia itu  telah mencapai sebuah puncak keyakinan tak berbatas dan  tidak akan tergoyahkan oleh sesuatu apapun, hanya ada satu kata  seruan  Yaa.. Allah, ... Yaa.. Allah, ... Yaa.. Allah.


DAFTAR NAMA BUKU-BUKU PENTING

1.    Dessey, Lerry .  Sembuh Tanpa Dokter . 2007 . Jakarta . Serambi Penterjemeh : Leinovar Bahvein
2.       Mustamir . Sembuh dan Sehat dengan Mukjizat AL-Qur’an . 2007 . Yogyakarta : Lingkaran
3.      Mukarami, Kazuo,.   The Devine Message of DNA : Tuhan dalam Gen Kita . 2007 . Jakarta : Mizan
4.    Kompas . Fenomena Fisika di Balik Tenaga Prana . 25 juni 2005,   http : // www.fisikanet. lipi.go.id / utama cgi ? artikel && 1 (akses 20 Februari 2008)
5.      Giriwijaya , Y.S. Santosa.   Listrik dan Tubuh Manusia dan Tenaga Dalam . 9 Oktober 2007 . http : //elfugell.multiply.com./Journal/item/40/Listrik_ Dalam_Tubuh_Manusia_ dan_Tenaga _Dalam . (akses 20 Februari 2008).
6.      Puspawijaya , Diani . Bagaimana Fikiran Mempengaruhi Kesehatan Kita . 6 September 2006 . http : //fkuii.org /tiki-read article . php? article_Id = 9 (akses 20 Februari 2008) .
7.   Handjojo . Meridian . http : // hang feng shue . com/HTMLS/ Pengobatan 35.htm (akses 2 Maret 2008) .
8.      Chopra,Deepok . 1989 .Quantum Healing . New York : Bantam . Books .
9.      Ahmad Humedi . 2005 . Diatas Langit Ada Langit . Bandung . MQS Publishing.
10. Armstrong , Thomas , Phd . 2002 . 7 Kinds of Smart , Menemukan dan Meningkatkan Kecerdasan Anda Berdasarkan Teori Multiple Intellegencie . Jakarta : PT . Gramedia Pustaka Utama .
11.  Dedhi Suharto , Ak. 2006 . Qur’anic Intellegence (Quotient . Jakarta : FBA . Press
12.  Dryden , Gordon . dan Dr.  Jeannette Vos. 2003 . Revolusi Cara Belajar . Bandung , Kaifa
13.  Losier , Machael.  J . 2007 . Mengungkap Rahasia Kehidupan . Jakarta : Ufuk  Publishing  House.
14.   Lucas , Bill . 2004.   Optimalkan Otak  Anda.  Jakarta : PT Bhuana   Ilmu  Populer
15.  Muhammad Wahyuni Nofis . 2006 , 9 Jalan Untuk Cerdas Emosional dan Cerdas Spiritual . Jakarta : Hikmah
16.  Zohar , Danah . dan Ian Marshall . 2006 . Spiritual Capital . Bandung : PT . Mizan Pustaka : terjemahan Jalaludin Rachmat
17.  J . Iskandar . Juni 2003 . Panduan Praktis Pencegahan dan Pengobatan Stroke . Jakarta . PT . Bhuana Ilmu Populer .
18.    Cooper , Robert , K . Ayman sawaf . Executive EQ 1998 . Jakarta . Gramedia Pustaka Utama
19.  Goleman , Daniel 1996 . Emotional Intelegence . Jakarta Penerbit PT . Gramedia Pustaka Utama
20.  Badri.  R. Malik.  Tafakur dalam Prospektif Psikologi islam. Terjemahan Usman Shyihab Husnan , Penerbit PT . Remaja Press Karya , Bandung 1996
21.  Musawi Sayid Mujtaba . Meraih Kesempurnaan Spiritual , terjemahan Ahsin   Muhammad . Penerbit Pustaka Hidayat , Bandung , 1997 .
22.    Ozanice , Naomi . Meditasi untuk Pemuda . Penerbit Dahara Prize . Semarang , 2000
23.  Schimmel Anne Marie.  Dimensi Mistik dalam Islam , Terjemahan Supardi Djaka Parmono dkk . Penerbit Pustaka Fidaus , Jakarta 1986
24.   Drs. Madyo Wirasangko , MM , dan Ir. Trianggoro , Senam  Egonomis  dan Pijat Getar Saraf . Kawan Pustaka : Depok 2006
25.  Fu Chun Jiang. Insisasi Obat-obatan Tradisional  China.  Elex Media Kamputindo . Jakarta , 2005
26.  Drs. Ahmad Thobroni , MAg . Terapi dengan  AL_Qur’an &  Madu.   Restu Illahi. Jakarta 2007
27.   Iskandar Ali , SE.   Pijat , Telinga & Ramuan untuk Mengatasi Aneka Penyakit . Agromedia  Pustaka  Jakarta 2003 .
28.  KH . Basyarie Mafa : Penyembuhan dengan Do’a, Rahasia Penyembuhan Para Kyai . Galery  :   Surabaya   2004.
29.   Krisna , Anand . Matsawi .  Seni Memberdaya Diri  1. Meditasi dan Neo Zen Reiki.
30. Krisna , Anand . Matsnawi . Seni Memberdaya Diri  2. Meditasi untuk Peningkatan Kesadaran
31.   Lari Sayyid Mujtaba  Musawi , Meraih Kesempurnaan Spiritual . Pustaka Hidayah , Bandung
32.   Muthahhari , Murtadha.   Fitrah.   PT.  Lentera Bastitama  . Jakarta . Februari 2001
33.  Zohar , Danah dan Ian Marshal . SQ ,Memanfaatkan  Kecerdasan Spiritual  dalam Berfikir Integralistik dan Holistik untuk Memaknai  Kehidupan , Mizan, Bandung , Juni 2001
34.  Badri , Malik 1996.   Tafakur . Perspestif  Psikologi ( terjemah ) Bandung , Remaja Basda Karya. Ofset
35.   Effendi , Irmansyah 2001.   Kesadaran Jiwa . Jakarta . Gramedika
36.   Karta Atmadja , Susanso , 2001 Para Pisikologi  (Para Pisikologi ; Perergi ; dan  Paranormal) , Jalatu Pustaka Harapan.
37.  Subandi,    et. al. 2002.  Psikotrapi (kumpulan Artikel ) Yogyakarta. Unit Publikasi Fakultas Psikologi UGM .
38.  Gunawan , Adi W. dan Ariessandi Sutyoso , 2006 Manage Your Mind for Succes (New ed) Jakarta . Gramedika Pustaka Utama.