Senin, 17 Februari 2014

MENGUAK TABIR KEGELISAHAN FUNGSI METABOLISME.





MENGUAK TABIR KEGELISAHAN FUNGSI METABOLISME. 

Bismillahirrahmanirrahiim, 

             Kita sangat menyadari  bahwa hasil olah  akal budi manusia  saat ini dengan pelbagai bentuk upaya telah dapat memenuhi bermacam-macam  manfaat bagi sebahagian umat manusia antara lain:  kepuasan lahir–bathin, kesenangan, kebanggaan,  derajat status sosial yang tinggi, kebahagiaan, keamanan, percaya diri, kesehatan, kesejahteraan dan lain sebagainya.  Dilain pihak terdapat pula sebahagian umat manusia baik langsung maupun tidak langsung telah menanggung dampak  negatif (kemudhoratan) antara lain :  polusi alamiah, fisik, sosial budaya, moral, mental,  spiritual dan religius”.  

             Kaitannya dengan Pelatihan Olah Tenaga Dalam atau Olah Tenaga Spiritual,  kita berusaha memecahkan, mencari solusi, mengeleminir serta  menetralisir masalah dan problematika kemudhoratan yang dialami oleh umat manusia akibat polusi-polusi tersebut diatas, disamping kita tetap berpedoman pada dunia pengobatan medis konvensional. Pada hakekatnya terjadinya polusi alam, budaya, moral dan sebagainya adalah akibat ulah manusia itu sendiri karena  akal dan budinya yang terlepas dari ”kendali iman dan taqwa kepada Sang Maha Berkuasa”.  Oleh karena itu manusia harus kembali kepada  Fitrahnya sebagai makhluk Allah, sebagai mana firman-Nya dalam:

Qs.  At-Tholaq ayat 2-3:  ”Barang siapa yang bertaqwa kepada Allah (kembali fitrah)  akan diberikan jalan keluar dari kesusahan dan Allah akan memberikan rezeki (kemudahan/kelapangan)  yang tidak disangka-sangka datangnya”.

Gambar berikut memperlihatkan Polusi Udara Yang
 Diakibatkan oleh Kebakaran Hutan.




         Polusi Trimatra (alamiah, jasmaniah dan  rohaniah) tentu saja membawa akibat terjadinya kekacauan dan disfungsi metabolisme alami,  ragawi dan sukmawi,   sehingga manusia menjadi menderita akibat polusi matra alamiah yang  berdampak kepada terjadinya seperti: gempa bumi, kemarau, banjir, penyimpangan fenomena iklim, penipisan ozon, pencemaran sumber-sumber air, pencemaran udara, badai/badai topan dan kehilangan sumber daya alam lainnya.  Secara jasmaniah manusia mengalami berbagai penyakit (polusi matra jasmaniah) antara lain hypertensi, hypotensi, diabetes, ginjal, jantung coroner, hati/lever, lambung, migrain, vertigo, gloukoma, reumatik, kanker , alergi dan lain sebagainya. 

             Manusia juga menderita pelbagai penyakit rohaniah (polusi matra rohaniah) antara lain: tidak manusiawi, pemarah, ganas, sadis, pemabuk, penyimpangan sexual, tindak kriminal, insomnia, rendah diri, psikomatik, lupa penciptanya, hysteria, lupa diri, stress, penyimpngan prilaku, autis, sombong/congkak/angkuh, iri/dengki, kleptomania, tidak percaya diri,  kecanduan narkoba dan lain-lain.  Allah telah memberikan peringatan dalam firman-Nya:

Qs. Al-Rum ayat 41:  ”Keboborokan telah timbul di daratan dan lautan karena ulah tangan manusia, agar Ia membuat mereka merasakan sebahagian dari apa yang mereka lakukan, sehingga  mereka mau kembali”

Qs.  Al-A’raf  ayat 96 :  ”Dan kalau kiranya penduduk suatu negeri beriman dan bertaqwa, niscaya akan kami bukakan bagi mereka pintu rahmad (berkad, kurnia) dari langit  dan dari bumi”.

     Gambar berikut memperlihatkan Polusi  Air Sungai           
         Yang Diakibatkan oleh Limbah Rumah Tangga.                      





           Untuk mengatasi problematika kehidupan yang demikian komplek  manusia itu sendiri harus dan sadar untuk mengatasi permasalahannya masing-masing dengan memohon rahmat dan ridho Allah SWT.   Artinya manusia harus ingat dan kembali kepada fitrahnya sebagai makhluk Allah SWT yang merupakan bahagian dari makrokosmos.  Oleh sebab itu harus senantiasa menjaga dan memelihara keseimbangan ekologi alam semesta termasuk keseimbangan diri pribadi lahir maupun bathin, sebagaimana Allah mengingatkan kita melalui ayat:

Qs. Asy-Syams ayat 7-11:  ”Demi diri-diri (manusia) dan Tuhan yang menciptakannya,  lalu dimasukkan-Nya bibit kejehatan (fujuraa) dan bibit kebajikan (taqwahaa).  Dan sesungguhnya berbahagialah orang  yang mensucikan dirinya (fitrah) dan celakalah orang yang mengotorinya”.

        Polusi ”trimatra” yaitu polusi ”alamiah, jasmaniah, dan   rohaniah” telah menyebabkan berbagai akibat kekacauan dan disfungsi metabolisme alam, ragawi dan sukmawi, sehingga berbagai kelompok manusia menderita sebagai akibat dari berbagai bencana merupakan dampak dari perubahan fenomena alam semesta.

        Oleh karena itu,  sudah selayaknya dan  merupakan  tanggung jawab kita bersama yaitu bagaimana upaya kita harus dan dapat mengatasi berbagai problematika kehidupan di dunia  dengan segera mengembalikan  kesadaran manusia itu sendiri atas rahmat dan ridho Allah Swt.  yaitu kembali kepada alam kefitrahannya.  Jadi manusia harus ingat dan kembali kepada fitrahnya dalam arti  manusia harus menyadari bahwa ia adalah makhluk Allah,  hamba dan insan ciptaan Tuhan Yang Maha Kuasa merupakan bagian dari makrokosmos yang pada dasarnya diciptakan dan dilahirkan dalam kondisi fitrah lahir bathin,  jasmani dan rohani.  Oleh sebab itu kita harus tetap senantiasa menjaga dan memelihara keseimbangan  diri pribadi jasmani maupun rohani, mental dan spiritualnya.  Kemudian  Nabi Muhammad SAW.  telah menyampaikan  hal ini melalui hadisnya  seperti  berikut:

Hadist Riwayat Muslim:  ”Tidaklah dilahirkan seorang anak, melainkan atas fitrah (beragama Islam), kemudian orang tuanya-lah yang akan menjadikannya orang Yahudi, atau orang  Nasrani atau orang Majusi”.

 Untuk mengembalikan keseimbangan kesehatan jasmani dan rohani salah satunya dapat ditempuh melalui sebuah upaya  memanfaatkan alam semesta secara alami yang telah disediakan oleh Allah Swt  Sang Pencipta Alam Semesta yaitu  sebuah metodologi penyelarasan  energi terpilih  dari   energi alam semesta dan gravitasi daya inti bumi dengan energi dalam tubuh manusia, atas ridho-Nya untuk ”tujuan ibadah dan amaliah” dalam upaya menghasilkan manusia yang paripurna sehat fisik dan rohani maupun mental dan  spiritual.  Metoda ini kami sebut dengan  ”Metode Pelatihan Olah Tenaga Dalam Satya Buana”.  

Pelatihan ini bertujuan sebagai salah satu cara untuk mencapai kondisi kesehatan jasmani dan rohani  secara mandiri,  dengan cara menghantarkan para pesertanya untuk selaras dengan getaran energi alam semesta (gravitasi alam semesta dan daya inti bumi)  dan disamping itu juga untuk mencapai tingkat kepekaan fisik maupun naluri yang memadai.  Menurut Satya Buana,  upaya ini merupakan rangkaian kegiatan yang dapat dicapai secara ”normal dan universal” tanpa membedakan suku,  ras, jenis kelamin maupun umur (diatas akil baligh).  Inti dari pelatihan ini adalah memberikan tuntunan  kepada para pesertanya untuk mencapai kesehatan prima fisik maupun rohani, dengan menyelaraskan gelombang bioelektromagnetik tubuhnya dengan gelombang elektromagnetik dari alam semesta.  Allah SWT. benar-benar telah  menyampaikan  secara jelas agar kita berfikir untuk menggali manfaat dari alam semesta ciptaan-Nya  sebagaimana Ia isyaratkan didalam firman-Nya sebagai berikut:

Qs. Al-Baqarah ayat 29:  ”Dialah yang telah menciptakan apa yang ada di bumi ini semuanya untuk kamu (manusia)”.
Qs.  Shaad ayat 27:  ”Dan tidaklah Kami ciptakan langit dan bumi serta apa yang ada di antara keduanya sia-sia”.

Qs.  Al-Ambiayaa’ ayat 16:  ”Dan tidaklah Kami ciptakan langit  dan bumi serta apa yang ada di antara keduanya buat main-main”.

         Salah satu upaya pemanfaatan energi alam semesta melalui ridho Allah kami sebut  dengan Metoda Pelatihan Olah Tenaga Dalam Satya Buana merupakan  sebuah cara  dan sekaligus merupakan upaya manusia menghidupkan  dan mengembangkan ”inner power” melalui potensi  bio-energi” dalam dirinya diselaraskan dengan  memanfaatkan energi alam semesta terpilih.  Dengan rangsangan serapan energi ”daya inti bumi dan prana alam (pusaran energi alam semesta)”  akan  dapat digunakan untuk menetralisir  energi negatif yang bersemayam dalam jasmani manusia dan limbah-limbah yang  bersifat mengacaukan serta merusak tatanan keseimbangan energi maupun fisik  tubuh manusia.  

         Insya Allah melalui metode pelatihan ini,  akan dapat terwujudnya insan manusia yang utuh secara alami dengan kondisi fitrah yang  selaras-serasi-seimbang”, sehingga naluri alamiah manusia akan berfungsi secara otomatis menjadi pribadi yang berjati diri sehat jasmani dan rohani, mental dan spiritual  secara mandiri dan Allah telah berfirman dalam  Al-Qur’an sebagai berikut:

Qs. Al-’Alaq ayat 2:  ” (Allah) yang telah menciptakan (segala sesuatu) lalu disempurnakan-Nya”.

Qs.  Al-Kahfi  ayat  84:  ”Dan Kami berikan kepadanya dari setiap sesuatu sebab-sebab (untuk mencapainya)”.

Qs.  Shod ayat 10:  ”Maka hendaklah mereka mepergunakan sebab-sebab”.

Qs.  Al-Kahfi ayat 85:  ”Lalu ia ikuti sebab-sebab itu”.

Masalah olah krida tenaga dalam adalah suatu hal yang menarik untuk kita kaji yang akhir-akhir ini telah banyak bermunculan dengan berbagai aneka ragamnya di pelbagai pelosok dunia, sebagai salah satu usaha manusia untuk mencari alternatif pemecahan, antisipasi problematika kehidupan manusia itu sendiri.   Namun  telah banyak pula yang disalah-gunakan baik metodanya maupun hasilnya untuk kepentingan  yang malah semakin menjauhkan diri manusia tersebut dari alam kefitrahan dan Tuhannya. 

Akan tetapi tidak-lah  selayaknya pula kita lalu menganggap bahwa seluruhnya adalah ”pembohongan, penipuan, salah, syiri’, berkolaborasi dengan syetan atau jin,  bida’ah, kurafat” dan sebagainya.   Seperti disinyalir dalam firman-Nya,  Allah akan menyediakan azab bagi mereka yang menyimpang dari Sunatullah dan Sunah Rosul:

Qs.  Al-Baqarah ayat 21-22:  ”Hai manusia,  sembahlah Tuhanmu yang telah menciptakan kamu, agar kamu  menjadi orang yang bertaqwa.  Dialah yang menjadikan bumi untuk kamu sebagai hamparan dan langit sebagai atap, dan Dia menurunkan air dari langit  lalu  Dia keluarkan dengan air itu buah-buahan sebagai rezki untuk kamu, karena itu janganlah kamu megadakan sekutu-sekutu bagi Allah,  padahal kamu mengetahui”.

Qs.  Al-Baqarah ayat 229:  ”Dan  barang siapa yang melanggar hukum Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang aniaya”.

Qs. Al-Furqan ayat 37:  ”Dan Kami menyediakan bagi orang-orang yang aniaya itu akan azab yang pedih”.

 Qs. An-Nur ayat 51:  ”Dan tidak adalah ucapan seorang mu’min, apabila diajak memutuskan segala persoalannya dengan hukum Allah dan Rosul-Nya, melainkan kami dengar dan kami patuhi, dan mereka itulah orang-orang yang memperoleh kemenangan”.

Pada hakekatnya tenaga dalam yang terpendam,  telah ada pada diri manusia itu sendiri yang perlu digali, dibangkitkan dan dikembangkan untuk dimanfaatkan pada tujuan kebaikan dan ibadah kepada Sang Pencipta, karena manusia diciptakan terdiri dari ”tubuh fisik, gelombang bioelektromagnetik, tubuh Bio-plasmik (eterik/ruh hayati) dan  dan Ruh/jiwa/nafs (Ruh Insani)”. Tubuh fisik adalah tubuh ragawi yang dapat dilihat, disentuh dirasa dan dipegang, di dalam Al-Qur’an di informasikan bahan dasarnya dari tanah.  Sedangkan Tubuh Bio-plasmik atau Eterik adalah tubuh energi yang berasal dari proses ionisasi energi alam semesta (Prana) yang melakukan persenyawaan di dalam tubuh manusia, Tubuh bioelektromagnetik  yang berupa Bio-energi (biolistrik dan biomagnet)  merupakan energi yang berasal dari pergerakan (rotasi) elektron dan inti atom dalam sel,  secara umum tidak dapat dilihat dengan mata awam.  Kenapa Bio-plasma dikatakan Ruh  Hayati, sebab pemahaman kata Hayati disini berasal dari pokok kata Hayat  atau Kehidupan  yang mengandung pemahaman tubuh Biologis (material),  bukan Rohaniah  (Im-material).

Kedua jenis tubuh  (tubuh jasmani dan tubuh energi) ini telah terjalin dalam suatu mekanisme yang sistematis.  Jika sistem ini rapi dan teratur, maka organ tubuh manusia akan berfungsi dengan baik sehingga manusia menjadi sehat jasmani maupun rohani.  Sebaliknya jika sistem ini tidak teratur dan kacau, maka akan terjadi disfungsi organ tubuh baik fisik maupun sukmawi. 

        Untuk mencapai kesempurnaannya Manusia juga dilengkapi dengan ”Tubuh Ruhaniah” yang disebut dengan ”Jiwa/Nafs dan Roh (Ruh),  di dalam khasanah Keilmuan Satya Buana di kenal dengan istilah Ruh Insani  berasal dari pokok  kata Insan  (Ruh yang memberikan kehidupan sempurna)” yang merupakan anugrah dari Allah saat manusia berumur 120 hari dalam rahim ibunya.   Ruh  Insani anugrah Allah ini bersifat suci (fitrah) dan konstan adanya,  dia tidak akan pernah rusak, hancur, berobah atau mati, dan pada satu saat nanti akan diambil kembali oleh Allah pada waktu manusia telah sampai pada ajalnya. Jadi  Ruh Insani ini adalah titipan Allah kepada manusia, agar supaya hidup manusia itu menjadi sempurna. 

        Ruh Insani mengisi  seluruh relung-relung tubuh biologis manusia dari yang sekecil-kecilnya sampai pada yang sebesar-besarnya, dan dialah yang memberikan fungsi terhadap aktivitas Hati (qolbu) di dalam dada dan Jiwa,  serta seluruh Panca Indera.  Dia-lah merupakan alat kontrol bagi tingkah laku manusia serta sekaligus sebagai pembeda antara  dirinya dengan binatang atau tumbuhan, demikian juga terhadap materi  alam semesta lainnya.  Jadi istilah Ruh yang dimaksud disini bukanlah Jiwa atau Nafsu bukan pula  hati  yang berada di dalam  dada.  Pemahaman akan statment  di atas dapat kami  rujuk melalui ayat berikut:
Qs.  As - Sajdah ayat  9 (32: 9).

ثُمَّ سَوَّاهُ وَنَفَخَ فِيهِ مِنْ رُوحِهِ وَجَعَلَ لَكُمُ السَّمْعَ وَالأَبْصَارَ وَالأَفْئِدَةَ
قَلِيلا مَا تَشْكُرُونَ

”Lalu Ia buat itu sempurna dan Ia tiupkan didalamnya sebagian dari “Ruh Nya” dan Ia berikan kepada kamu pendengaran, penglihatan dan hati, (tetapi) sedikit sekali apa yang kamu syukuri”.
        Ayat tersebut diatas menerangkan kepada kita bahwa  tubuh biologis dan sukmawi manusia itu menjadi sempurna setelah Allah menganugerahkan “Ruh Nya“, sehingga sempurnalah fungsi “pendengarannya” (penangkap informasi), “penglihatannya” (alat pemantau obyek)  yang dimotori oleh fungsi jiwa didalam otak  dan “hatinya” (alat spiritual/Rohani atau menghidupkan fungsi kejiwaan di dalam dada). 

         Jadi semakin jelas-lah disini  bahwa segala fungsi ke-rohaniah-an yang dijalan oleh otak dan hati bersumber dari ”ruh/jiwa  dari Allah”.  Kalau  demikian dapat kita maknai bahwa manusia yang selalu ingkar/tidak patuh kepada perintah Allah dan tidak mau juga bersyukur atas nikmat yang telah dianugerahkan oleh Allah kepadanya, disebabkan oleh fungsi jiwa,  hati  di dalam dada dan akal  di dalam otak  tidak berjalan dengan baik,  kemudian dibantu dan diperkuat oleh fungsi lahiriah seperti pendengaran,  penglihatannya dan organ tubuh lainnya sebagai pelaksana perintah,  demikian juga sebaliknya.  Kemudian Allah berfirman:

Qs.  Bani Israil ayat 70:  ”Dan sesungguhnya Kami telah memuliakan anak-anak Adam (anak cucu Adam), dan Kami telah memberikan kepada mereka kendaraan di darat dan di laut, dan Kami telah memberikan mereka rezki dari yang baik-baik dan Kami telah melebihkan mereka dari kebanyakan makhluk yang  telah  Kami ciptakan sebenar-benarnya lebih”. 

Di dalam Al-Qur’an, Allah telah banyak sekali memberikan gambaran tentang makhluk-Nya  yang bertasbih me-Maha Suci-kan Allah.  Ada suatu kesan bahwa makhluk-makhluk  yang me-Maha Suci-kan Allah adalah mereka yang telah betul-betul patuh atau bagi manusia yang  betul-betul telah memahami tentang  eksistensi  Allah, memang benar Tuhan Pencipta Alam Semesta Yang Maha Suci.  Artinya mereka bukan hanya sekedar menggetarkan atau mengucapkan ”Subhanallah” atau ”Laa Ilaaha Ilallah” dalam eksistensi prilaku atau untuk manusia tidak hanya dimulut atau dalam hatinya saja, melainkan lebih tegas lagi kepada pernyataan pengakuan atas ke-Maha Perkasa-an Allah, karena  mereka betul-betul  memahami bahwa seluruh alam semesta ini juga tunduk dan patuh kepada-Nya, kepada hukum alam yang ditegakkan-Nya, yang disebut dengan ”Sunatullah”. 
  Seluruh makhluk selain manusia me-Maha Suci-kan Allah, hanya tidak dalam bahasa  verbal dan ucapan  seperti bahasa manusia dan tasbihnya hanya dimengerti oleh Allah.   Hal ini  telah disampaikan  oleh Allah melalui ungkapannya dalam firman-firman-Nya. Namun bagaimana mungkin pengakuan ini betul-betul tertanam menghujam dengan kukuhnya kedalam diri seorang hamba tanpa dia mau mempelajari  serta  memahami dengan suatu penyaksian tentang tingkah laku hukum alam semesta ciptaan-Nya.  Sebab,  dengan memahami dan mengerti tentang alam semesta termasuk diri manusia itu sendiri (mikrokosmos)  sebagai bagian dari alam semesta (makrokosmos) akan menghantarkan manusia tersebut betul-betul mengenal dan  meyakini Allah memang Sang Pencipta Jagad Raya dengan segala  eksistensi-Nya secara hakiki. 
   Ambil saja  salah satu contoh sederhana, sangat  tidak masuk akal kiranya jika ada seseorang yang mengaku mengetahui, berkawan dan mengenal secara hakiki sosok pribadi seorang Presiden, padahal dia belum pernah melihat, betemu, bergaul dengan sangat akrab, mengenal secara mendalam karakter, sifat dan kebiasaannya secara detil.  Barangkali dia hanya mendengar cerita, membaca autobiografi, melihat fotonya saja, tanpa penyaksian secara sungguh-sungguh tentang pribadi dan karya-karya sang Presiden. Tentunya pengakuan tersebut hanya kira-kira saja atau mungkin ikut-ikutan saja.  Apa toh lagi  mengenal Tuhan yang telah menciptakan sang Presiden tersebut,  tidaklah se-sederhana itu.
Menurut informasi dalam Al-Qur’an seluruh ciptaan Allah di alam semesta ini mengakui ke Maha Suci-an Allah,  karena eksistensi mereka seluruhnya telah mengakui hukum alam atau Sunatullah.  Termasuk juga seluruh bagian dan organ dalam tubuh manusia itu sendiri seperti jantung, paru-paru, ginjal, herpar, pencernaan, otak, syaraf dan seluruh sel-sel serta molekul serta  atom dalam tubuh bertasbih kepada Allah.  Pernahkah manusia itu menyadari bahwa organ tubuhnya sendiri bertasbih kepada  Allah ?    Bisa juga tahu dan bisa juga tidak peduli sama sekali (istilah gaulnya : ”Emangnya gue pikirin, gitu lho !)  Mungkin lebih konyol lagi,  dia sendiri tidak pernah percaya kenyataan tersebut. 
Ya..... memang manusia itu amat konyol, bodoh dan nai’f,  tidak pernah mau mengenal tentang eksistensi dirinya sendiri.... tidak pernah mengenal jati dirinya sendiri.  Lalu bagaimana mungkin dia bisa mengaku-ngaku atau berfatwa  bahwa dia mengenal Tuhannya ?  Malah mengaku sangat dekat dengan Tuhannya !  Padahal dirinya sendiri belum tentu dia kenali dengan sungguh-sungguh.  Yah... barangkali baru sebatas bualan atau pengakuan semata.  Memang begitulah manusia diberikan telinga,  tapi tuli....., diberikan mata, tapi buta... dan diberikan hati, tapi hatinya tersumbat oleh hawa nafsu dunia, sehingga dia sendiri lupa siapa dia  sesungguhnya.  Padahal Nabi telah mengatakan:  ”Man ’arafa nafsahu, faqad ’arafa Rabbahu ;  artinya :  Kenalilah diri mu, maka kamu akan mengenal Tuhanmu”.
Itukah sebabnya  kenapa manusia  masih harus dituntun oleh Allah agar bertasbih kepada-Nya ?   Jawabnya.... Ya !  Karena hati/jiwa manusia sering terbelenggu  dalam serba-serbi keterbatasannya dan selalu berkutub dua, yaitu ”kutub kemuliaan dan kutub hawa nafsu”.  Sehingga kesadarannya selalu bergerak mondar-mandir  diantara kedua kutub tersebut.  Ketika kesadaran itu bergerak menuju kutub kemuliaan,  maka manusia itu dapat melihat kenyataan hidup dengan sesungguhnya baik konkrit (nyata)  maupun abstrak (kasat mata) dan  mengenal sungguh-sungguh hakekad eksistensi dirinya.  Namun ketika kesadarannya bergerak menuju kutub hawa nafsu kepentingan dunia semata,  maka pemahaman tentang hakekad kehidupan yang hakiki dan dirinya sendiri lenyap dari penglihatannya.  Maka berlakulah hukum hawa nafsu dalam kehidupannya.
Jadi sesungguhnya yang selalu membelenggu jiwa/hati adalah kepentingan yang bersemayam di dalam  tubuh biologis yang dimotori oleh otak sentralnya, seperti bagamana ia harus ”memuaskan perutnya, hiasan hidupnya, Ilmu Pengetahuannya, kepintarannya,  kekayaannya, pangkatnya, kekuasaannya, kehormatannya, kehebatannya, kekuatannya, ketenarannya, populeritasnya, harga dirinya, hawa nafsu syahwatnya dan berbagai kesenangan dunia lainnya”, akibatnya jiwa dan hati menjadi kerdil.  Padahal dia sendiri tidak menyadari bahwa  jiwa dan hati  sesungguhnya memiliki  ”potensial (power)” yang tidak terbatas (absolut) karena merupakan potensi yang bersifat Ilahiyah.  Sebab pada awalnya jiwa dan hati  adalah anugrah Allah  yang fitrah adanya. 
Kalau manusia tidak punya fungsi jiwa/hati sama persis seperti binatang, karena binatang dan tumbuhan tidak punya fungsi jiwa/hati.  Untuk mengatasi keterkungkungan dan terbelenggunya jiwa (Ruhnya) ini, maka manusia tersebut harus terus menerus berusaha menghubungkan kesadaran Ruhnya  (jiwa)  yang berada dipusat hati nurani merupakan  titik pusat sentral  Fitrah Manusiawinya   yang bersemayam di dalam qolbu kepada Dzat  Yang Maha Suci lagi Maha ber-Kuasa  dan menurut ahli psicholog pintu gerbangnya berada pada God Spot atau Temporal Lobe  (Titik Tuhan)  yang bersemayam di dalam  otak. 
Pembaca yang budiman, Satya Buana sengaja melakukan pendekatan berdasarkan  psikologi Islami disamping merupakan landasan yang paling mengena bagi kebutuhan manusia diera sekarang ini sekaligus untuk mempertebal pemahaman akan kekayaan Al Qur’an yang ternyata sangat sesuai dengan pengamatan lapangan.  Dimana dalam Olah Tenaga Dalam  Satya Buana yang disebut juga dengan Keilmuan Al- Mukminun ada jurus yang berintikan pengendalian jiwa dan pikiran untuk  menguras emosi  tak terkendali maupun emosi yang terkendali, serta peluruhan atau meluluhkan emosi untuk mendapat ridho Allah, ini sesuai dengan teori perilaku terkendali dan tak terkendali diatas.

Disamping itu, berkaitan dengan khasanah psikologi modern, maka dikenal disetiap tingkatan Ilmu Al Mukminun masing-masing  peserta diwajibkan untuk melakukan olah jurus Tiga Serangkai Satu (TS-1) dengan niat mengendalikan jiwa dan pikiran serta menguras emosi tak terkendali.  Jurus ini setara dengan praktek membuang perilaku yang dijelaskan oleh Sigmond Freud sebagai  Id”  dimana tubuh manusia merupakan sistim reaksi kejiwaan yang berkelanjutan secara terus menerus berupa sub sistim alam bawah sadar yang sejati yang berisikan totalitas pelbagai kecenderungan dan naluri yang didominasi prinsip kesenangan, menuntut kepuasan segera.  Jurus berikutnya Tiga Serangkai Dua (TS-2) dengan niat mengendalikan jiwa dan pikiran serta menguras emosi terkendali.  Dimana jurus ini setara dengan praktek pencapaian perilaku  Ego”  yaitu subsistim diri dan konsepsi diri seseorang yang mencakup nilai dan sikap seseorang yang sadar dengan realitas.  Selanjutnya jurus Tiga Serangkai Tiga  (TS-3)  dengan niat mengendalikan jiwa dan pikiran serta menguras emosi serendah-rendahnya.  Jurus ini menghantarkan peserta Satya Buana untuk mencapai kondisi “Superego”, yaitu subsistim ideal yang bertanggung jawab pada etika dan standard perilaku serta moralitas.




Pengenalan konsep prilaku dapat kita pahami sebagai berikut;

1.
Perilaku yang terkendali :


* Pengendalian perilaku hanya bisa dilakukan pada perilaku yang bersumber pada karakter, sedangkan perilaku yang bersumber pada tempramen maka pengendaliannya terbatas hanya pada meminimalkan,  bukan pada merubah.


* Kualiatas    perilaku    manusia  dapat    dilihat   dari sumber perbuatannya apakah  bersifat fitrah yakni yang berhubungan dengan sistem biopsikologi, sifat keturunan dan bawaan sejak lahir.  Disini manusia berbuat spontan tanpa memperhitungkan laba rugi maupun tujuan.  Atau sumber perbuatannya bersifat yang diusahakan, dimana merupakan gabungan pengetahuan dan pengalaman yang dipelajari manusia sejak lahir dan dijadikan kebiasaan kemudian diusahakan secara sadar.  Dalam melakukan perilaku ini manusia memperhitungkan untung rugi, baik jangka pendek (duniawi) atau jangka panjang (pahala dan dosa).  Tetapi perilaku yang diusahakan ini dapat dipengaruhi oleh cara berpikir yang keliru atau jalan yang sesat atau sebaliknya karena merindukan ridho Allah. 


* Dan terakhir perilaku yang tidak disadari yaitu perbuatan manusia akibat tingkah laku yang tak terkendali atau dibawah pengaruh sesuatu yang menyebabkan kehilangan kesadaran.

2.
Mengenal tanggung jawab:


* Manusia   yang   bertanggung jawab terhadap perilakunya adalah mereka yang dapat   mengukur akibat-akibat yang ditimbulkan dari perbuatannya itu dan bersedia menanggung resiko dari perilakunya.


* Perilaku yang  tak  bertanggung jawab adalah  perbuatan  yang tidak   memperhitungkan akibat dari perbuatan itu.


3.
Mengandung dimensi lahir dan batin :


*  Perilaku lahir yaitu yang dapat ditangkap inderawi.


* Perilaku batin yang merupakan proses aktivitas mental yang tidak langsung diketahui tetapi perlu analisa hubungan phenomena-phenomena.


*  Perilaku   rahasia   yaitu perilaku lahir yang disembunyikan dari orang lain.


4.
Perilaku perseorangan dan perilaku kelompok:


*  Perilaku  perorangan  yang  ketika  dilakukan  seorang diri dan bersumber dari  pemikiran sendiri. 


*  Perilaku    sosial   yang   dilakukan  oleh  orang-orang   secara bersamaan  dan bersumber dari integrasi pemikiran bersama [1].
 
Pada saatnya nanti secara pasti, masing-masing manusia harus mempertanggung jawabkan segala perilakunya selama hidup didunia dan secara umum tentang kemanfaatan kita terhadap alam semesta sebagai  khalifah,  sebagaimana digambarkan oleh ayat  berikut ini : 

Al Qur’an Surat An Nahl ayat 111 menyampaikan: ”Hari dimana tiap-tiap diri datang untuk membela dirinya dan bagi tiap-tiap diri disempurnakan apa yang telah dikerjakannya, sedang mereka tidak dianiaya.” 

Disini pemaknaannya yang diadili adalah totalitas jiwa dan raganya serta sisi dalam manusia yang merupakan potensi batiniah untuk memahami dan menjadi pendorong dan motivator kegiatan-kegiatannya  dalam  kehidupannya [2].  

Dan Surat Al Muddatstsir ayat 38-39 juga mengulas pertanggung jawaban ini “Tiap-tiap diri menyangkut apa yang telah dilakukannya tergadai kecuali golongan kanan”.  

Dengan penjelasan bahwa setiap orang berhutang kepada Allah SWT dengan jumlah yang tak terhitung.  Mereka baru dapat menyelesaikan hutangnya pada saat ia melaksanakan tuntunan agama berupa penyerahan diri secara totalitas  jiwa dan raganya (sesuai dengan tujuan akhir kepelatihan Tingkat Satya Buana/Tingkat 10) kepada Allah SWT [3].

Tujuan penyampaian  sessi ini adalah untuk memahami bahwa tubuh bioplasmik manusia yang dapat juga diartikan sebagai Ruh Hayati,  berasal dari proses  ionisasi alam semesta merupakan kelengkapan penciptaan tubuh biologis manusia  saat  manusia masih dalam kandungan ibunya.  Dan akan sedikit berbeda pemahamannya dengan  tubuh bielektromagnetik yang merupakan reaksi kimia dan listrik serta magnetik  yang berasal dari perputaran  elektron, proton dan neutron dalam   sel  penyusun  jaringan tubuh jasmani.  Kedua substansi ini masih dikategorikan bersifat material,  pada saat manusia meninggal dunia akan berlaku Hukum Relativitas Energi yaitu akan kembali ke alam semesta sebagai bahan asal pembentuknya.  

Sebaliknya, sangat berbeda pemahamannya dengan ”Tubuh Ruhaniah” yang disebut dengan ”Jiwa/Nafs dan Roh (Ruh),  di dalam khasanah Keilmuan Satya Buana di kenal dengan istilah Ruh Insani  berasal dari pokok  kata Insan  (Ruh yang memberikan kehidupan sempurna)” yang  ditiupkan  Allah saat manusia berumur 120 hari dalam rahim ibunya dan telah mengadakan penjanjian pengakuan akan Sang Rabb penciptanya.   Ruh  Insani anugrah Allah ini bersifat suci (fitrah) dan konstan adanya,  dia tidak akan pernah rusak, hancur, berobah atau mati, dan pada satu saat nanti akan diambil kembali oleh Allah pada waktu manusia telah sampai pada ajalnya.  Jadi  Ruh Insani ini adalah titipan Allah kepada manusia, agar supaya hidup manusia itu menjadi sempurna.   Ruh Insani bukan substansi bersifat material, tapi dikategorikan bersifat Im-material  (Ruhaniah),  pada saat manusia meninggal dunia Hukum Relativitas Energi tidak berlaku baginya,  dan Ruh ini akan kembali kepada Sang Rabb  untuk dimintai pertanggungjawaban atas segala prilaku selama ia hidup di dunia.



 [1]  Achmad Mubarok,  Jiwa dalam Al Qur’an  (Jakarta, Paramadina,  2000),  hal. 219-228.
2  Shihab, Op. Cit., Vol. 7. hal 365-367.
3  Ibid. Vol. 14. hal. 605-606.
 



Tidak ada komentar:

Posting Komentar