MENGUAK TABIR KEGELISAHAN
FUNGSI METABOLISME.
Bismillahirrahmanirrahiim,
Kita
sangat menyadari bahwa hasil olah akal budi manusia saat ini dengan pelbagai bentuk upaya telah
dapat memenuhi bermacam-macam manfaat
bagi sebahagian umat manusia antara lain:
kepuasan lahir–bathin, kesenangan,
kebanggaan, derajat status sosial yang
tinggi, kebahagiaan, keamanan, percaya diri, kesehatan, kesejahteraan dan lain
sebagainya. Dilain pihak terdapat
pula sebahagian umat manusia baik langsung maupun tidak langsung telah
menanggung dampak negatif (kemudhoratan)
antara lain : ”polusi alamiah, fisik, sosial budaya, moral, mental, spiritual dan religius”.
Kaitannya dengan Pelatihan Olah
Tenaga Dalam atau Olah Tenaga Spiritual,
kita berusaha memecahkan, mencari solusi, mengeleminir serta menetralisir masalah dan problematika
kemudhoratan yang dialami oleh umat manusia akibat polusi-polusi tersebut
diatas, disamping kita tetap berpedoman pada dunia pengobatan medis
konvensional. Pada hakekatnya terjadinya polusi alam, budaya, moral dan sebagainya
adalah akibat ulah manusia itu sendiri karena
akal dan budinya yang terlepas dari ”kendali
iman dan taqwa kepada Sang Maha Berkuasa”.
Oleh karena itu manusia harus kembali kepada Fitrahnya sebagai makhluk Allah, sebagai mana
firman-Nya dalam:
Qs. At-Tholaq
ayat 2-3: ”Barang siapa yang bertaqwa
kepada Allah (kembali fitrah) akan
diberikan jalan keluar dari kesusahan dan Allah akan memberikan rezeki
(kemudahan/kelapangan) yang tidak
disangka-sangka datangnya”.
Gambar berikut memperlihatkan Polusi Udara Yang
Diakibatkan oleh Kebakaran
Hutan.
Polusi Trimatra
(alamiah, jasmaniah dan rohaniah) tentu saja membawa akibat terjadinya kekacauan dan
disfungsi metabolisme alami, ragawi dan
sukmawi, sehingga manusia menjadi
menderita akibat polusi matra alamiah yang
berdampak kepada terjadinya seperti: gempa
bumi, kemarau, banjir, penyimpangan fenomena iklim, penipisan ozon, pencemaran
sumber-sumber air, pencemaran udara, badai/badai topan dan kehilangan sumber
daya alam lainnya. Secara jasmaniah manusia mengalami berbagai
penyakit (polusi matra jasmaniah) antara lain hypertensi, hypotensi, diabetes, ginjal, jantung coroner, hati/lever,
lambung, migrain, vertigo, gloukoma, reumatik, kanker , alergi dan lain
sebagainya.
Manusia juga menderita pelbagai penyakit
rohaniah (polusi matra rohaniah)
antara lain: tidak manusiawi, pemarah,
ganas, sadis, pemabuk, penyimpangan sexual, tindak kriminal, insomnia, rendah
diri, psikomatik, lupa penciptanya, hysteria, lupa diri, stress, penyimpngan
prilaku, autis, sombong/congkak/angkuh, iri/dengki, kleptomania, tidak percaya
diri, kecanduan narkoba dan
lain-lain. Allah telah memberikan
peringatan dalam firman-Nya:
Qs. Al-Rum ayat 41: ”Keboborokan
telah timbul di daratan dan lautan karena ulah tangan manusia, agar Ia membuat
mereka merasakan sebahagian dari apa yang mereka lakukan, sehingga mereka mau kembali”
Qs. Al-A’raf ayat 96 :
”Dan kalau kiranya penduduk suatu negeri beriman dan bertaqwa, niscaya
akan kami bukakan bagi mereka pintu rahmad (berkad, kurnia) dari langit dan dari bumi”.
Yang Diakibatkan oleh Limbah Rumah
Tangga.
Untuk
mengatasi problematika kehidupan yang demikian komplek manusia itu sendiri harus dan sadar untuk
mengatasi permasalahannya masing-masing dengan memohon rahmat dan ridho Allah
SWT. Artinya manusia harus ingat dan
kembali kepada fitrahnya sebagai makhluk Allah SWT yang merupakan bahagian dari
makrokosmos. Oleh sebab itu harus
senantiasa menjaga dan memelihara keseimbangan ekologi alam semesta termasuk
keseimbangan diri pribadi lahir maupun bathin, sebagaimana Allah mengingatkan
kita melalui ayat:
Qs. Asy-Syams ayat 7-11: ”Demi
diri-diri (manusia) dan Tuhan yang menciptakannya, lalu dimasukkan-Nya bibit kejehatan (fujuraa)
dan bibit kebajikan (taqwahaa). Dan
sesungguhnya berbahagialah orang yang
mensucikan dirinya (fitrah) dan celakalah orang yang mengotorinya”.
Polusi ”trimatra”
yaitu polusi ”alamiah, jasmaniah,
dan rohaniah” telah menyebabkan
berbagai akibat kekacauan dan disfungsi metabolisme alam, ragawi dan sukmawi,
sehingga berbagai kelompok manusia menderita sebagai akibat dari berbagai
bencana merupakan dampak dari perubahan fenomena alam semesta.
Oleh karena
itu, sudah selayaknya dan merupakan
tanggung jawab kita bersama yaitu bagaimana upaya kita harus dan dapat
mengatasi berbagai problematika kehidupan di dunia dengan segera mengembalikan kesadaran manusia itu sendiri atas rahmat dan
ridho Allah Swt. yaitu kembali kepada
alam kefitrahannya. Jadi manusia harus
ingat dan kembali kepada fitrahnya dalam arti
manusia harus menyadari bahwa ia adalah makhluk Allah, hamba dan insan ciptaan Tuhan Yang Maha Kuasa
merupakan bagian dari makrokosmos
yang pada dasarnya diciptakan dan dilahirkan dalam kondisi fitrah lahir
bathin, jasmani dan rohani. Oleh sebab itu kita harus tetap senantiasa
menjaga dan memelihara keseimbangan diri
pribadi jasmani maupun rohani, mental dan spiritualnya. Kemudian
Nabi Muhammad SAW. telah
menyampaikan hal ini melalui hadisnya seperti
berikut:
Hadist Riwayat Muslim: ”Tidaklah
dilahirkan seorang anak, melainkan atas fitrah (beragama Islam), kemudian orang
tuanya-lah yang akan menjadikannya orang Yahudi, atau orang Nasrani atau orang Majusi”.
Untuk
mengembalikan keseimbangan kesehatan jasmani dan rohani salah satunya dapat
ditempuh melalui sebuah upaya
memanfaatkan alam semesta secara alami yang telah disediakan oleh Allah
Swt Sang Pencipta Alam Semesta
yaitu sebuah metodologi
penyelarasan energi terpilih dari
energi alam semesta dan gravitasi daya inti bumi dengan energi dalam
tubuh manusia, atas ridho-Nya untuk ”tujuan
ibadah dan amaliah” dalam upaya menghasilkan manusia yang paripurna sehat
fisik dan rohani maupun mental dan
spiritual. Metoda ini kami sebut
dengan ”Metode Pelatihan Olah Tenaga Dalam Satya Buana”.
Pelatihan ini bertujuan sebagai salah satu cara untuk
mencapai kondisi kesehatan jasmani dan rohani
secara mandiri, dengan cara
menghantarkan para pesertanya untuk selaras dengan getaran energi alam semesta (gravitasi alam semesta dan daya inti bumi) dan disamping itu juga untuk mencapai tingkat
kepekaan fisik maupun naluri yang memadai.
Menurut Satya Buana, upaya ini
merupakan rangkaian kegiatan yang dapat dicapai secara ”normal dan universal” tanpa membedakan suku, ras, jenis kelamin maupun umur (diatas akil
baligh). Inti dari pelatihan ini adalah
memberikan tuntunan kepada para
pesertanya untuk mencapai kesehatan prima fisik maupun rohani, dengan
menyelaraskan gelombang bioelektromagnetik tubuhnya dengan gelombang
elektromagnetik dari alam semesta. Allah
SWT. benar-benar telah menyampaikan secara jelas agar kita berfikir untuk
menggali manfaat dari alam semesta ciptaan-Nya
sebagaimana Ia isyaratkan didalam firman-Nya sebagai berikut:
Qs. Al-Baqarah ayat 29: ”Dialah yang
telah menciptakan apa yang ada di bumi ini semuanya untuk kamu (manusia)”.
Qs. Shaad ayat 27: ”Dan tidaklah Kami ciptakan langit dan bumi
serta apa yang ada di antara keduanya sia-sia”.
Qs. Al-Ambiayaa’ ayat 16: ”Dan tidaklah Kami ciptakan langit dan bumi serta apa yang ada di antara
keduanya buat main-main”.
Salah satu
upaya pemanfaatan energi alam semesta melalui ridho Allah kami sebut dengan Metoda
Pelatihan Olah Tenaga Dalam Satya Buana merupakan sebuah cara
dan sekaligus merupakan upaya manusia menghidupkan dan mengembangkan ”inner power” melalui potensi
”bio-energi” dalam dirinya diselaraskan dengan memanfaatkan energi alam semesta
terpilih. Dengan rangsangan serapan
energi ”daya inti bumi dan prana
alam (pusaran energi alam semesta)” akan
dapat digunakan untuk menetralisir
energi negatif yang bersemayam dalam jasmani manusia dan limbah-limbah
yang bersifat mengacaukan serta merusak
tatanan keseimbangan energi maupun fisik
tubuh manusia.
Insya
Allah melalui metode pelatihan ini, akan
dapat terwujudnya insan manusia yang utuh secara alami dengan kondisi fitrah
yang ”selaras-serasi-seimbang”,
sehingga naluri alamiah manusia akan berfungsi secara otomatis menjadi pribadi
yang berjati diri sehat jasmani dan rohani, mental dan spiritual secara mandiri dan Allah telah berfirman
dalam Al-Qur’an sebagai berikut:
Qs. Al-’Alaq ayat 2: ” (Allah) yang
telah menciptakan (segala sesuatu) lalu disempurnakan-Nya”.
Qs. Al-Kahfi ayat
84: ”Dan Kami berikan kepadanya
dari setiap sesuatu sebab-sebab (untuk mencapainya)”.
Qs. Shod ayat 10: ”Maka hendaklah mereka mepergunakan
sebab-sebab”.
Qs. Al-Kahfi ayat 85: ”Lalu ia ikuti sebab-sebab itu”.
Masalah olah krida tenaga dalam adalah suatu hal yang
menarik untuk kita kaji yang akhir-akhir ini telah banyak bermunculan dengan
berbagai aneka ragamnya di pelbagai pelosok dunia, sebagai salah satu usaha manusia
untuk mencari alternatif pemecahan, antisipasi problematika kehidupan manusia
itu sendiri. Namun telah banyak pula yang disalah-gunakan baik
metodanya maupun hasilnya untuk kepentingan
yang malah semakin menjauhkan diri manusia tersebut dari alam kefitrahan
dan Tuhannya.
Akan tetapi tidak-lah
selayaknya pula kita lalu menganggap bahwa seluruhnya adalah ”pembohongan, penipuan, salah, syiri’,
berkolaborasi dengan syetan atau jin,
bida’ah, kurafat” dan sebagainya.
Seperti disinyalir dalam firman-Nya,
Allah akan menyediakan azab bagi mereka yang menyimpang dari Sunatullah
dan Sunah Rosul:
Qs. Al-Baqarah ayat 21-22: ”Hai manusia,
sembahlah Tuhanmu yang telah menciptakan kamu, agar kamu menjadi orang yang bertaqwa. Dialah yang menjadikan bumi untuk kamu
sebagai hamparan dan langit sebagai atap, dan Dia menurunkan air dari
langit lalu Dia keluarkan dengan air itu buah-buahan
sebagai rezki untuk kamu, karena itu janganlah kamu megadakan sekutu-sekutu
bagi Allah, padahal kamu mengetahui”.
Qs. Al-Baqarah ayat 229: ”Dan
barang siapa yang melanggar hukum Allah, maka mereka itu adalah
orang-orang yang aniaya”.
Qs. Al-Furqan ayat 37: ”Dan Kami
menyediakan bagi orang-orang yang aniaya itu akan azab yang pedih”.
Qs. An-Nur ayat 51: ”Dan tidak adalah ucapan seorang mu’min,
apabila diajak memutuskan segala persoalannya dengan hukum Allah dan Rosul-Nya,
melainkan kami dengar dan kami patuhi, dan mereka itulah orang-orang yang
memperoleh kemenangan”.
Pada hakekatnya tenaga dalam yang terpendam, telah ada pada diri manusia itu sendiri yang
perlu digali, dibangkitkan dan dikembangkan untuk dimanfaatkan pada tujuan
kebaikan dan ibadah kepada Sang Pencipta, karena manusia diciptakan terdiri
dari ”tubuh fisik, gelombang
bioelektromagnetik, tubuh Bio-plasmik (eterik/ruh hayati) dan dan Ruh/jiwa/nafs (Ruh Insani)”. Tubuh fisik adalah tubuh ragawi yang
dapat dilihat, disentuh dirasa dan dipegang, di dalam Al-Qur’an di informasikan
bahan dasarnya dari tanah. Sedangkan Tubuh Bio-plasmik atau Eterik adalah
tubuh energi yang berasal dari proses
ionisasi energi alam semesta (Prana) yang melakukan persenyawaan di dalam
tubuh manusia, Tubuh bioelektromagnetik yang berupa Bio-energi (biolistrik dan biomagnet) merupakan energi yang berasal dari pergerakan
(rotasi) elektron dan inti atom dalam sel,
secara umum tidak dapat dilihat dengan mata awam. Kenapa Bio-plasma
dikatakan Ruh Hayati, sebab pemahaman kata Hayati disini berasal dari pokok kata Hayat
atau Kehidupan yang
mengandung pemahaman tubuh Biologis (material), bukan Rohaniah (Im-material).
Kedua jenis tubuh (tubuh jasmani dan tubuh energi) ini
telah terjalin dalam suatu mekanisme yang sistematis. Jika sistem ini rapi dan teratur, maka organ
tubuh manusia akan berfungsi dengan baik sehingga manusia menjadi sehat jasmani
maupun rohani. Sebaliknya jika sistem
ini tidak teratur dan kacau, maka akan terjadi disfungsi organ tubuh baik fisik
maupun sukmawi.
Untuk
mencapai kesempurnaannya Manusia juga dilengkapi dengan ”Tubuh Ruhaniah” yang disebut dengan ”Jiwa/Nafs dan Roh (Ruh), di
dalam khasanah Keilmuan Satya Buana di kenal dengan istilah Ruh Insani berasal dari pokok kata Insan
(Ruh yang memberikan kehidupan sempurna)” yang merupakan anugrah
dari Allah saat manusia berumur 120 hari dalam
rahim ibunya. Ruh Insani anugrah Allah ini
bersifat suci (fitrah) dan konstan adanya, dia tidak akan pernah rusak, hancur, berobah
atau mati, dan pada satu saat nanti akan diambil kembali oleh Allah pada waktu
manusia telah sampai pada ajalnya. Jadi Ruh Insani ini adalah titipan Allah
kepada manusia, agar supaya hidup manusia itu menjadi sempurna.
Ruh Insani mengisi seluruh
relung-relung tubuh biologis manusia dari yang sekecil-kecilnya sampai pada
yang sebesar-besarnya, dan dialah yang memberikan fungsi terhadap aktivitas Hati (qolbu) di dalam dada dan
Jiwa, serta seluruh Panca Indera. Dia-lah merupakan alat kontrol bagi tingkah
laku manusia serta sekaligus sebagai pembeda antara dirinya dengan binatang atau tumbuhan,
demikian juga terhadap materi alam
semesta lainnya. Jadi istilah Ruh yang dimaksud disini bukanlah Jiwa
atau Nafsu bukan pula hati yang berada di dalam dada.
Pemahaman akan statment di atas
dapat kami rujuk melalui ayat berikut:
Qs. As - Sajdah ayat 9 (32: 9).
ثُمَّ
سَوَّاهُ وَنَفَخَ فِيهِ مِنْ رُوحِهِ وَجَعَلَ لَكُمُ السَّمْعَ وَالأَبْصَارَ
وَالأَفْئِدَةَ
قَلِيلا
مَا تَشْكُرُونَ
”Lalu Ia buat itu
sempurna dan Ia tiupkan didalamnya sebagian dari “Ruh Nya” dan Ia berikan
kepada kamu pendengaran, penglihatan dan hati, (tetapi) sedikit sekali apa yang
kamu syukuri”.
Ayat tersebut diatas menerangkan kepada kita bahwa tubuh biologis dan sukmawi manusia itu
menjadi sempurna setelah Allah menganugerahkan “Ruh Nya“, sehingga sempurnalah fungsi “pendengarannya” (penangkap informasi), “penglihatannya” (alat pemantau
obyek) yang dimotori oleh fungsi jiwa
didalam otak dan “hatinya” (alat
spiritual/Rohani atau menghidupkan fungsi kejiwaan di dalam dada).
Jadi
semakin jelas-lah disini bahwa segala
fungsi ke-rohaniah-an yang dijalan oleh otak dan hati bersumber dari ”ruh/jiwa
dari Allah”. Kalau
demikian dapat kita maknai bahwa manusia yang selalu ingkar/tidak patuh
kepada perintah Allah dan tidak mau juga bersyukur atas nikmat yang telah
dianugerahkan oleh Allah kepadanya, disebabkan oleh fungsi jiwa, hati
di dalam dada dan akal di dalam
otak tidak berjalan dengan baik, kemudian dibantu dan diperkuat oleh fungsi lahiriah
seperti pendengaran, penglihatannya dan
organ tubuh lainnya sebagai pelaksana perintah, demikian juga sebaliknya. Kemudian Allah berfirman:
Qs. Bani Israil ayat 70: ”Dan sesungguhnya Kami telah memuliakan
anak-anak Adam (anak cucu Adam), dan Kami telah memberikan kepada mereka
kendaraan di darat dan di laut, dan Kami telah memberikan mereka rezki dari
yang baik-baik dan Kami telah melebihkan mereka dari kebanyakan makhluk
yang telah Kami ciptakan sebenar-benarnya lebih”.
Di
dalam Al-Qur’an, Allah telah banyak sekali memberikan gambaran tentang
makhluk-Nya yang bertasbih me-Maha
Suci-kan Allah. Ada suatu kesan bahwa
makhluk-makhluk yang me-Maha Suci-kan
Allah adalah mereka yang telah betul-betul patuh atau bagi manusia yang betul-betul telah memahami tentang eksistensi
Allah, memang benar Tuhan Pencipta Alam Semesta Yang Maha Suci. Artinya mereka bukan hanya sekedar
menggetarkan atau mengucapkan ”Subhanallah”
atau ”Laa Ilaaha Ilallah” dalam
eksistensi prilaku atau untuk manusia tidak hanya dimulut atau dalam hatinya
saja, melainkan lebih tegas lagi kepada pernyataan pengakuan atas ke-Maha
Perkasa-an Allah, karena mereka
betul-betul memahami bahwa seluruh alam
semesta ini juga tunduk dan patuh kepada-Nya, kepada hukum alam yang
ditegakkan-Nya, yang disebut dengan ”Sunatullah”.
Seluruh makhluk selain manusia me-Maha
Suci-kan Allah, hanya tidak dalam bahasa
verbal dan ucapan seperti bahasa
manusia dan tasbihnya hanya dimengerti oleh Allah. Hal ini
telah disampaikan oleh Allah
melalui ungkapannya dalam firman-firman-Nya. Namun bagaimana mungkin pengakuan
ini betul-betul tertanam menghujam dengan kukuhnya kedalam diri seorang hamba
tanpa dia mau mempelajari serta memahami dengan suatu penyaksian tentang
tingkah laku hukum alam semesta ciptaan-Nya.
Sebab, dengan memahami dan
mengerti tentang alam semesta termasuk diri manusia itu sendiri (mikrokosmos) sebagai bagian dari alam semesta (makrokosmos) akan menghantarkan manusia
tersebut betul-betul mengenal dan
meyakini Allah memang Sang Pencipta Jagad Raya dengan segala eksistensi-Nya secara hakiki.
Ambil saja
salah satu contoh sederhana, sangat
tidak masuk akal kiranya jika ada seseorang yang mengaku mengetahui,
berkawan dan mengenal secara hakiki sosok pribadi seorang Presiden, padahal dia
belum pernah melihat, betemu, bergaul dengan sangat akrab, mengenal secara
mendalam karakter, sifat dan kebiasaannya secara detil. Barangkali dia hanya mendengar cerita,
membaca autobiografi, melihat fotonya saja, tanpa penyaksian secara
sungguh-sungguh tentang pribadi dan karya-karya sang Presiden. Tentunya
pengakuan tersebut hanya kira-kira saja atau mungkin ikut-ikutan saja. Apa toh lagi
mengenal Tuhan yang telah menciptakan sang Presiden tersebut, tidaklah se-sederhana itu.
Menurut
informasi dalam Al-Qur’an seluruh ciptaan Allah di alam semesta ini mengakui ke
Maha Suci-an Allah, karena eksistensi
mereka seluruhnya telah mengakui hukum alam atau Sunatullah. Termasuk juga seluruh bagian dan organ dalam
tubuh manusia itu sendiri seperti jantung,
paru-paru, ginjal, herpar, pencernaan, otak, syaraf dan seluruh sel-sel serta
molekul serta atom dalam tubuh bertasbih
kepada Allah. Pernahkah manusia itu
menyadari bahwa organ tubuhnya sendiri bertasbih kepada Allah ?
Bisa juga tahu dan bisa juga tidak peduli sama sekali (istilah gaulnya : ”Emangnya gue pikirin, gitu
lho !) Mungkin lebih konyol
lagi, dia sendiri tidak pernah percaya
kenyataan tersebut.
Ya.....
memang manusia itu amat konyol, bodoh dan nai’f, tidak pernah mau mengenal tentang eksistensi
dirinya sendiri.... tidak pernah mengenal jati dirinya sendiri. Lalu bagaimana mungkin dia bisa mengaku-ngaku
atau berfatwa bahwa dia mengenal
Tuhannya ? Malah mengaku sangat dekat
dengan Tuhannya ! Padahal dirinya
sendiri belum tentu dia kenali dengan sungguh-sungguh. Yah... barangkali baru sebatas bualan atau
pengakuan semata. Memang begitulah
manusia diberikan telinga, tapi
tuli....., diberikan mata, tapi buta... dan diberikan hati, tapi hatinya
tersumbat oleh hawa nafsu dunia, sehingga dia sendiri lupa siapa dia sesungguhnya.
Padahal Nabi telah mengatakan: ”Man ’arafa nafsahu, faqad ’arafa Rabbahu
; artinya : Kenalilah diri mu, maka kamu akan mengenal
Tuhanmu”.
Itukah
sebabnya kenapa manusia masih harus dituntun oleh Allah agar
bertasbih kepada-Nya ? Jawabnya.... Ya
! Karena hati/jiwa manusia sering
terbelenggu dalam serba-serbi
keterbatasannya dan selalu berkutub dua, yaitu ”kutub kemuliaan dan kutub hawa nafsu”. Sehingga kesadarannya selalu bergerak
mondar-mandir diantara kedua kutub
tersebut. Ketika kesadaran itu bergerak
menuju kutub kemuliaan, maka manusia itu
dapat melihat kenyataan hidup dengan sesungguhnya baik konkrit (nyata) maupun abstrak (kasat mata) dan mengenal sungguh-sungguh hakekad eksistensi
dirinya. Namun ketika kesadarannya
bergerak menuju kutub hawa nafsu kepentingan dunia semata, maka pemahaman tentang hakekad kehidupan yang
hakiki dan dirinya sendiri lenyap dari penglihatannya. Maka berlakulah hukum hawa nafsu dalam
kehidupannya.
Jadi
sesungguhnya yang selalu membelenggu jiwa/hati adalah kepentingan yang
bersemayam di dalam tubuh biologis yang
dimotori oleh otak sentralnya, seperti bagamana ia harus ”memuaskan perutnya, hiasan hidupnya, Ilmu Pengetahuannya,
kepintarannya, kekayaannya, pangkatnya,
kekuasaannya, kehormatannya, kehebatannya, kekuatannya, ketenarannya,
populeritasnya, harga dirinya, hawa nafsu syahwatnya dan berbagai kesenangan
dunia lainnya”, akibatnya jiwa dan hati menjadi kerdil. Padahal dia sendiri tidak menyadari
bahwa jiwa dan hati sesungguhnya
memiliki ”potensial (power)” yang tidak terbatas (absolut) karena merupakan potensi yang bersifat Ilahiyah. Sebab pada awalnya jiwa dan hati adalah anugrah
Allah yang fitrah adanya.
Kalau
manusia tidak punya fungsi jiwa/hati
sama persis seperti binatang, karena binatang dan tumbuhan tidak punya fungsi jiwa/hati. Untuk mengatasi keterkungkungan dan
terbelenggunya jiwa (Ruhnya) ini,
maka manusia tersebut harus terus menerus berusaha menghubungkan kesadaran Ruhnya (jiwa)
yang berada dipusat hati nurani merupakan titik pusat sentral Fitrah
Manusiawinya yang bersemayam di
dalam qolbu kepada Dzat Yang Maha Suci
lagi Maha ber-Kuasa dan menurut ahli psicholog pintu gerbangnya berada
pada God Spot atau Temporal Lobe (Titik Tuhan) yang bersemayam di dalam otak.
Pembaca yang budiman, Satya Buana sengaja melakukan
pendekatan berdasarkan psikologi Islami
disamping merupakan landasan yang paling mengena bagi kebutuhan manusia diera
sekarang ini sekaligus untuk mempertebal pemahaman akan kekayaan Al Qur’an yang
ternyata sangat sesuai dengan pengamatan lapangan. Dimana dalam Olah Tenaga Dalam Satya Buana yang disebut juga dengan Keilmuan Al- Mukminun ada jurus yang
berintikan pengendalian jiwa dan pikiran
untuk menguras emosi tak terkendali maupun emosi yang terkendali,
serta peluruhan atau meluluhkan emosi
untuk mendapat ridho Allah, ini sesuai dengan teori perilaku terkendali dan tak
terkendali diatas.
Disamping itu, berkaitan dengan khasanah psikologi
modern, maka dikenal disetiap tingkatan Ilmu
Al Mukminun masing-masing peserta
diwajibkan untuk melakukan olah jurus Tiga
Serangkai Satu (TS-1) dengan niat mengendalikan jiwa dan pikiran serta
menguras emosi tak terkendali. Jurus ini
setara dengan praktek membuang perilaku yang dijelaskan oleh Sigmond Freud sebagai “Id” dimana tubuh manusia merupakan sistim reaksi
kejiwaan yang berkelanjutan secara terus menerus berupa sub sistim alam bawah
sadar yang sejati yang berisikan totalitas pelbagai kecenderungan dan naluri
yang didominasi prinsip kesenangan, menuntut kepuasan segera. Jurus berikutnya Tiga Serangkai Dua (TS-2) dengan niat mengendalikan jiwa dan
pikiran serta menguras emosi terkendali.
Dimana jurus ini setara dengan praktek pencapaian perilaku “Ego” yaitu subsistim diri dan konsepsi diri
seseorang yang mencakup nilai dan sikap seseorang yang sadar dengan
realitas. Selanjutnya jurus Tiga Serangkai Tiga (TS-3)
dengan niat mengendalikan jiwa dan pikiran serta menguras emosi
serendah-rendahnya. Jurus ini
menghantarkan peserta Satya Buana untuk mencapai kondisi “Superego”, yaitu subsistim ideal yang bertanggung jawab pada etika
dan standard perilaku serta moralitas.
Pengenalan
konsep prilaku dapat kita pahami sebagai berikut;
1.
|
Perilaku yang
terkendali :
|
* Pengendalian
perilaku hanya bisa dilakukan pada perilaku yang bersumber pada karakter,
sedangkan perilaku yang bersumber pada tempramen maka pengendaliannya
terbatas hanya pada meminimalkan,
bukan pada merubah.
|
|
* Kualiatas perilaku
manusia dapat dilihat dari
sumber perbuatannya apakah bersifat
fitrah yakni yang berhubungan dengan sistem biopsikologi, sifat keturunan dan
bawaan sejak lahir. Disini manusia
berbuat spontan tanpa memperhitungkan laba rugi maupun tujuan. Atau sumber perbuatannya bersifat yang
diusahakan, dimana merupakan gabungan pengetahuan dan pengalaman yang
dipelajari manusia sejak lahir dan dijadikan kebiasaan kemudian diusahakan
secara sadar. Dalam melakukan perilaku
ini manusia memperhitungkan untung rugi, baik jangka pendek (duniawi) atau
jangka panjang (pahala dan dosa).
Tetapi perilaku yang diusahakan ini dapat dipengaruhi oleh cara
berpikir yang keliru atau jalan yang sesat atau sebaliknya karena merindukan
ridho Allah.
|
|
* Dan terakhir
perilaku yang tidak disadari yaitu perbuatan manusia akibat tingkah laku yang
tak terkendali atau dibawah pengaruh sesuatu yang menyebabkan kehilangan
kesadaran.
|
|
2.
|
Mengenal tanggung
jawab:
|
* Manusia yang
bertanggung jawab terhadap
perilakunya adalah mereka yang dapat
mengukur akibat-akibat yang ditimbulkan dari perbuatannya itu dan
bersedia menanggung resiko dari perilakunya.
|
|
* Perilaku
yang tak bertanggung jawab adalah perbuatan
yang tidak memperhitungkan
akibat dari perbuatan itu.
|
|
3.
|
Mengandung
dimensi lahir dan batin :
|
* Perilaku lahir
yaitu yang dapat ditangkap inderawi.
|
|
* Perilaku batin yang merupakan proses aktivitas mental yang tidak
langsung diketahui tetapi perlu analisa hubungan phenomena-phenomena.
|
|
* Perilaku rahasia
yaitu perilaku lahir yang
disembunyikan dari orang lain.
|
|
4.
|
Perilaku
perseorangan dan perilaku kelompok:
|
* Perilaku perorangan
yang ketika dilakukan
seorang diri dan bersumber dari
pemikiran sendiri.
|
|
* Perilaku sosial yang
dilakukan oleh orang-orang
secara bersamaan dan bersumber dari integrasi pemikiran bersama
[1].
|
Pada saatnya nanti secara pasti, masing-masing manusia
harus mempertanggung jawabkan segala perilakunya selama hidup didunia dan
secara umum tentang kemanfaatan kita terhadap alam semesta sebagai khalifah,
sebagaimana digambarkan oleh ayat
berikut ini :
Al Qur’an Surat An Nahl ayat 111 menyampaikan: ”Hari
dimana tiap-tiap diri datang untuk membela dirinya dan bagi tiap-tiap diri
disempurnakan apa yang telah dikerjakannya, sedang mereka tidak dianiaya.”
Disini pemaknaannya yang diadili adalah totalitas jiwa
dan raganya serta sisi dalam manusia yang merupakan potensi batiniah untuk
memahami dan menjadi pendorong dan motivator kegiatan-kegiatannya dalam
kehidupannya [2].
Dan Surat Al Muddatstsir ayat 38-39 juga mengulas
pertanggung jawaban ini “Tiap-tiap diri menyangkut apa yang telah dilakukannya
tergadai kecuali golongan kanan”.
Dengan penjelasan bahwa setiap orang berhutang kepada
Allah SWT dengan jumlah yang tak terhitung.
Mereka baru dapat menyelesaikan hutangnya pada saat ia melaksanakan
tuntunan agama berupa penyerahan diri secara totalitas jiwa dan raganya (sesuai dengan tujuan akhir
kepelatihan Tingkat Satya Buana/Tingkat 10) kepada Allah SWT [3].
Tujuan penyampaian
sessi ini adalah untuk memahami bahwa tubuh bioplasmik manusia yang dapat juga diartikan sebagai Ruh Hayati, berasal dari proses ionisasi alam semesta
merupakan kelengkapan penciptaan tubuh biologis manusia saat
manusia masih dalam kandungan ibunya.
Dan akan sedikit berbeda pemahamannya dengan tubuh bielektromagnetik yang merupakan reaksi
kimia dan listrik serta magnetik yang
berasal dari perputaran elektron, proton
dan neutron dalam sel penyusun
jaringan tubuh jasmani. Kedua
substansi ini masih dikategorikan bersifat material, pada saat manusia meninggal dunia akan
berlaku Hukum Relativitas Energi
yaitu akan kembali ke alam semesta sebagai bahan asal pembentuknya.
Sebaliknya, sangat berbeda pemahamannya dengan ”Tubuh Ruhaniah” yang disebut dengan ”Jiwa/Nafs dan Roh (Ruh), di dalam khasanah Keilmuan Satya Buana di
kenal dengan istilah Ruh Insani berasal
dari pokok kata Insan (Ruh yang memberikan kehidupan sempurna)”
yang ditiupkan Allah saat manusia berumur 120 hari dalam rahim
ibunya dan telah mengadakan penjanjian pengakuan akan Sang Rabb penciptanya. Ruh
Insani anugrah Allah ini bersifat suci (fitrah) dan konstan adanya,
dia tidak akan pernah rusak, hancur, berobah atau mati, dan pada satu
saat nanti akan diambil kembali oleh Allah pada waktu manusia telah sampai pada
ajalnya. Jadi Ruh
Insani ini adalah titipan Allah kepada manusia, agar supaya hidup manusia
itu menjadi sempurna. Ruh Insani bukan substansi bersifat material, tapi dikategorikan bersifat Im-material
(Ruhaniah), pada saat manusia
meninggal dunia Hukum Relativitas Energi
tidak berlaku baginya, dan Ruh ini akan
kembali kepada Sang Rabb untuk dimintai
pertanggungjawaban atas segala prilaku selama ia hidup di dunia.
[1] Achmad Mubarok, Jiwa dalam Al Qur’an (Jakarta,
Paramadina, 2000), hal. 219-228.
2
Shihab, Op. Cit., Vol. 7. hal 365-367.
3
Ibid. Vol. 14. hal. 605-606.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar