Peristiwa Isra’ Mi’raj Dalam Perspektif
Ilmu Fisika.
Bismillahirrahmanirrahiim,
“MAHA Suci Allah,
yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari Al Masjidil Haram ke
Al Masjidil Aqsha yang telah Kami berkahi sekelilingnya agar Kami perlihatkan
kepadanya sebagian dari tanda-tanda (kebesaran) Kami. Sesungguhnya Dia adalah
Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui”. ( QS. Al Israa’ : 1).
Empat belas abad telah berlalu, namun masih
segar di ingatan kita dan sejarah emas telah mencatat bahwa peristiwa maha
agung ini tak dapat tertandingi oleh kekuatan sains manapun. Berbagai inovasi spektakuler yang telah
dikemukakan dan diciptakan oleh para ahli sains dengan sekelumit pergulatan
panca indra, telah membuat dunia seakan geger dan membuat banyak kepala geleng
kepala, dan seakan tak percaya bahwa semua itu akan ada dan terjadi. Bahkan semenjak tersiar berita si Neil
Amstrong telah berhasil menginjakkan kakinya di Bulan, membuat manusia pada
saat itu bertanya-tanya: “Apakah mungkin manusia dapat mendaratkan kakinya di
bulan ?” apalagi dengan banyak prestasi
petualangan para astronot yang sampai menginjakkan kakinya sampai lebih dari
dua planet, membuat para manusia pemuja sains mengatakan bahwa inilah merupakan
prestasi maha besarnya manusia.
Tapi para ahli sains harus mesti bekerja
keras lagi, karena perjalanan terjauh para astronot menjelajahi angkasa
belumlah melewati dari ruang galaksi bima sakti, tempat planet dan sistem tata
surya kita berada. Para astronot kita belumlah mampu untuk membuat perjalanan
mengunjungi galaksi tetangga sebutlah galaksi Andromeda. Mungkin kita bertanya,
mungkin tidak manusia para astronot dapat menjelajahi sampai ke beberapa
galaksi di angkasa luar ?
Hal ini dapat dilakukan oleh manusia yang
memiliki As-Shulton, seperti yang telah disinyalir Allah dalam surat Ar-Rum
ayat (33): “Hai jama'ah jin dan manusia, jika kamu sanggup menembus (melintasi)
penjuru langit dan bumi, maka lintasilah, kamu tidak dapat menembusnya kecuali
dengan kekuatan/Ilmu Pengetahuan (Shulton).”
Tapi marilah secara sadar kita renungkan
bersama, betapa kita manusia sangat memiliki keterbatasan. Sejak awal abad
ke-20 yang merupakan awal kebangkitan sains sampai sekarang, kita belumlah
menemukan para astronot yang berhasil menembus lebih dari satu galaksi.
Ternyata, kekuatan para ahli sains pada abad
ini dan sebelumnya, mampu dikalahkan oleh salah satu fenomena dalam Islam,
yakni peristiwa Isra’ dan Mi’raj Nabi Muhammad SAW, yakni perjalanan dari
Masjidil Haram (Makkah) ke Masjidil Aqsa (Palestina) lalu menjelajahi dan
menembus beribu bahkan jutaan galaksi sampai ke Sidrathal Munthaha (langit ke
7).
Perjalanan yang oleh perhitungan manusia
dapat ditempuh dengan perjalanan ribuan tahun cahaya (kecepatan cahaya c = 3 x
108 m/s atau 300.000 Km per detik). Artinya, secepat apapun kendaraan manusia,
belumlah dapat menyamai laju kecepatan cahaya. Berarti, jika sekiranya
perjalanan ini dilakukan oleh para astronot dengan menggunakan kendaraan super
canggih, maka akan diperlukan milyaran bahkan triliyunan tahun atau tidak
terhitung lagi, untuk sampai ke tempat itu, mengingat jarak antara bumi dengan langit yang
pertama yang tak terhingga nilainya, apalagi harus menembus lapisan langit yang
ke tujuh. Tapi, Maha Suci Allah, perjalanan Nabi Muhammad hanyalah memerlukan
waktu seperempat malam saja. Sungguh fenomena sains yang benar-benar Maha
Agung, yang telah diperlihatkan Allah SWT kepada hamba-Nya sebagai bukti
KekuasaanNya bagi orang-orang yang berpikir.
Lalu bagaimana kajian fisika dengan fenomena
yang Maha Agung ini ? Berikut penulis
akan coba sampaikan lewat pendekatan sains modern, bahwa betapa kekuatan sains
tak mampu untuk mendefinisikan fenomena ini.
Secara umum kita ketahui bersama bahwa,
bangkitnya era sains modern ditandai dengan hadirnya sang Ilmuwan berkebangsaan
Jerman, yang memiliki otak jenius, yang oleh beberapa ahli dunia menobatkan
beliau sebagai bapak sains, karena kalibernya teori-teori maupun hukum-hukum
sainsnya. Dialah Prof. Albert Einstein.
Albert Einstein, tak salah lagi, seorang
ilmuwan terhebat abad ke-20. Cendekiawan tak ada tandingannya
sepanjang zaman. Termasuk karena teori relativitas-nya. Sebenarnya teori ini
merupakan dua teori yang bertautan satu sama lain: ”teori khusus relativitas” yang dirumuskannya tahun 1905 dan ”teori umum relativitas” yang
dirumuskannya tahun 1915, lebih terkenal dengan ”hukum gaya berat Einstein”. Kedua teori ini teramat rumitnya, karena itu
bukan tempatnya di sini menjelaskan sebagaimana adanya, namun uraian ala
kadarnya tentang soal relativitas khusus ada disinggung sedikit.
Mutiara kata bilang, ”segala
sesuatunya di dunia ini adalah serba relatif”. Teori Einstein bukanlah
sekadar mengunyah-ngunyah ungkapan yang nyaris menjemukan itu, bagaikan
mengunyah permen karet. Yang dimaksudkannya adalah suatu
pendapat matematik yang pasti tentang kaidah-kaidah ilmiah yang sebetulnya
relatif. Hakikatnya, penilaian subjektif terhadap waktu dan ruang tergantung
pada si penganut (pengamat). Sebelum Einstein, umumnya orang senantiasa percaya
bahwa di balik kesan subjektif terdapat ruang dan waktu yang absolut yang bisa
diukur dengan peralatan secara objektif. Teori Einstein menjungkir-balikkan
secara revolusioner pemikiran ilmiah dengan cara menolak adanya sang waktu yang
absolut.
Contoh berikut ini dapat menggambarkan betapa
radikal teorinya, betapa tegasnya dia merombak pendapat kita tentang ruang dan
waktu: Bayangkanlah sebuah pesawat ruang angkasa sebutlah namanya X meluncur
laju menjauhi bumi dengan kecepatan 100.000 kilometer per detik. Kecepatan
diukur oleh pengamat (pemantau), baik yang berada di pesawat ruang angkasa X
maupun di bumi, dan pengukuran mereka bersamaan. Sementara itu, sebuah pesawat
ruang angkasa lain yang bernama Y meluncur laju pada arah yang sama dengan pesawat
ruang angkasa X tetapi dengan kecepatan yang berlebih. Apabila pengamat di bumi mengukur kecepatan
pesawat ruang angkasa Y, mereka mengetahui bahwa pesawat itu melaju menjauhi
bumi pada kecepatan 180.000 kilometer per detik. Pengamat (pemantau) di atas
pesawat ruang angkasa Y akan berkesimpulan serupa.
Nah, karena kedua pesawat ruang
angkasa itu melaju pada arah yang bersamaan, akan tampak bahwa beda kecepatan
antara kedua pesawat itu 80.000 kilometer per detik dan pesawat yang lebih cepat
tak bisa tidak akan bergerak menjauhi pesawat yang lebih lambat pada kadar
kecepatan ini.
Tetapi, teori Einstein
memperhitungkan, jika pengamatan dilakukan dari kedua pesawat ruang angkasa,
mereka akan bersepakat bahwa jarak antara keduanya bertambah pada tingkat
ukuran 100.000 kilometer per detik, bukannya 80.000 kilometer per detik.
Kelihatannya hal
ini mustahil. Kelihatannya seperti olok-olok. Pembaca menduga
seakan ada bau-bau tipuan. Menduga jangan-jangan ada perincian yang
disembunyikan. Padahal, sama sekali tidak ! Hasil ini tidak ada hubungannya dengan tenaga
yang digunakan untuk mendorong mereka.
Tak ada keliru pengamatan.
Walhasil, tak ada apa pun yang kurang, alat rusak atau kabel melintir. Mulus,
polos, tak mengecoh. Menurut Einstein, hasil kesimpulan yang tersebut di atas
tadi semata-mata sebagai akibat dari sifat dasar alamiah ruang dan waktu yang
sudah bisa diperhitungkan lewat rumus ihwal komposisi kecepatannya.
Tampaknya merupakan kedahsyatan
teoritis, dan memang bertahun-tahun orang menjauhi teori relativitas bagaikan
menjauhi hipotesa menara gading, seolah-olah teori itu tak punya arti penting
samasekali.
Ilmuwan ini berhasil merumuskan
sebuah persamaan matematik yang mampu menjawab banyak teka-teki yang tak mampu
dijawab oleh banyak para ahli sebelumnya. dan persamaan ini adalah persamaan
yang spektakuler, karena sangat berpengaruh terhadap berkembangnya Revolusi
sains. Persamaan itu dikenal dengan teori relativitas Einstein. Teori ini mampu
mendefinisikan kecepatan kendaraan secepat apapun yang diciptakan manusia.
Teori ini sering dikenal dengan teori relativitas waktu. Dengan persamaan: t =
syaratnya bahwa nilai v c (kecepatan benda lebih kecil dari kecepatan cahaya), dengan t’ adalah waktu untuk pengamat
(pemantau).
Dengan persamaan ini, maka kita
bisa menghitung waktu (t) yang diperlukan benda bergerak, dan akhirnya kita
bisa menghitung besar jarak objek. Namun bagaimana jika persamaan teori
relativitas waktu kita gunakan nilai v (kecepatan benda sama dengan kecepatan
cahaya) atau nilai v (kecepatan benda lebih besar dari kecepatan cahaya) ?
Mengingat perjalanan pada peristiwa isra’ mi’raj yang semestinya memerlukan
waktu perjalan ratusan tahun cahaya hanya ditempuh dalam waktu singkat yakni
seperempat malam saja.
Sekarang, marilah kita bahas satu persatu:
Jika v lalu kita masukkan pada
persamaan relativitas waktu t = ∞ (tak
terhingga), maka kita akan dapatkan
bahwa t = ∞ (tak terhingga), t = ∞ (tak
terhingga), semua bilangan yang dibagi 0, maka hasilnya adalah bilangan
imajiner (bilangan maya). Artinya kita
tak dapat melukiskan hasil bilangan itu (tak mampu dihitung dengan ukuran angka
manusia sekalipun dengan komputer tercanggih). Jika hal ini kita hubungkan
dengan kecepatan kendaraan Rasulullah pada peristiwa Isra’-Mi’raj, maka
kehebatan sains modern tak akan mampu melukiskan seberapa besar kecepatan
“Bouraq” bergerak.
Jika v lalu kita masukkan pada
persamaan relativitas waktu t = ∞ (tak terhingga) , maka kita akan dapatkan
bahwa t = ∞ (tak terhingga), t = ∞ (tak
terhingga), hasil t = ∞ tak terdefinisi (kekuatan bilangan hitungan matematik
tak mampu lagi mendefinisikan nilainya).
Dahsyatnya teori Einstein ini tak mampu untuk mendefinisikan berapa
waktu yang diperlukan kecepatan “Bouraq” dalam bergerak. Hasil waktu (t) lewat
kedua pendekatan tak bisa ditemukan, maka kita tak dapat menentukan jarak
antara bumi dengan langit ke satu, ~ (tak terhingga) apalagi langit ke dua apalagi
langit ke tujuh. Sungguh hanyalah Allah yang Maha Mengetahui segala sesuatu.
Dialah Maha Perkasa dan Maha Agung, yang semua keajaiban alam semesta berada
dalam genggamanNya. Nah ! fenomena seperti ini boleh kita sebut ghaib
bil ghoib, sebab akal manusia mentok dalam memahaminya. Lalu, harus pakai apa agar kita percaya, ya kita serahkan kepada kemampuan berfikirnya
hati (qolbu), hanya hati (qolbu) yang mampu memikirkannya. Hati yang seperti apa ?? yakni
hati yang telah diberikan cahaya oleh Allah. Bukan hati yang gelap ... hitam pekat.
Kita menyadari bahwa, betapapun
hebatnya dan dahsyatnya kekuatan sains manusia, tak akan mampu menandingi ilmu
Allah. Ibaratnya, ilmu dan kekuatan serta kehebatan manusia hanyalah sebutir
pasir yang berada di padang pasir Maha luas.
Setidaknya, kita pun sedikit
belajar dari seorang “Einstein” yang konon dikatakan sebagai orang yang kuat
kepercayaannya. Meskipun ia tidak memeluk agama tertentu, ia percaya bahwa alam
semesta tidak terjadi secara kebetulan.
Menjelang akhir hidupnya, Einstein
dengan jujur mengatakan, “Alam ini
diciptakan Tuhan dengan hukum-hukum-Nya yang rapi”. Artinya sesungguhnya
dia secara naluriah kemanusiaan mengakui ke Maha Besar-an dan ke_Esa-an Allah
tapi dia belum sempat memeluk Islam sebelum meninggal. Katanya lebih lanjut,
“Hal yang paling tidak dapat dipahami tentang dunia adalah bahwa dunia dapat
dipahami”. Lanjutnya, ”Berbulan-bulan, bahkan bertahun-tahun saya berpikir
terus, 99 kali konklusi saya keliru, tetapi yang ke-100 ternyata benar”.
Semoga, melalui perenungan
terhadap peristiwa Isra’-mi’raj Nabi Muhammad SAW, semakin mempertebal iman
kita kepada Allah SWT. Akhirnya, semua yang kita lakukan adalah karena dalam
rangka beribadah kepada Allah Yang Maha Agung, termasuk ketika kita menggunakan
akal pikiran kita.
Sesungguhnya pada semua gejala alam semesta
terdapat tanda-tanda kebesaran Allah Yang Maha Besar, bagi hamba yang berfikir.
Dan semoga Allah SWT memberikan hidayahNya kepada kita semua, Amin. Wallahu’alam bisshawab.
“Terkadang, kita
harus melangkahi prinsip-prinsip yang semestinya kita tegakkan.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar