Senin, 17 Februari 2014

Isra’ Mi’raj Dalam Perspektif Fisika.



                     Peristiwa  Isra’ Mi’raj Dalam Perspektif  
                                            Ilmu Fisika.

       Bismillahirrahmanirrahiim, 

“MAHA Suci Allah, yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari Al Masjidil Haram ke Al Masjidil Aqsha yang telah Kami berkahi sekelilingnya agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian dari tanda-tanda (kebesaran) Kami. Sesungguhnya Dia adalah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui”. ( QS. Al Israa’ : 1).

  Empat belas abad telah berlalu, namun masih segar di ingatan kita dan sejarah emas telah mencatat bahwa peristiwa maha agung ini tak dapat tertandingi oleh kekuatan sains manapun.  Berbagai inovasi spektakuler yang telah dikemukakan dan diciptakan oleh para ahli sains dengan sekelumit pergulatan panca indra, telah membuat dunia seakan geger dan membuat banyak kepala geleng kepala, dan seakan tak percaya bahwa semua itu akan ada dan terjadi.  Bahkan semenjak tersiar berita si Neil Amstrong telah berhasil menginjakkan kakinya di Bulan, membuat manusia pada saat itu bertanya-tanya: “Apakah mungkin manusia dapat mendaratkan kakinya di bulan ?”  apalagi dengan banyak prestasi petualangan para astronot yang sampai menginjakkan kakinya sampai lebih dari dua planet, membuat para manusia pemuja sains mengatakan bahwa inilah merupakan prestasi maha besarnya manusia. 

  Tapi para ahli sains harus mesti bekerja keras lagi, karena perjalanan terjauh para astronot menjelajahi angkasa belumlah melewati dari ruang galaksi bima sakti, tempat planet dan sistem tata surya kita berada. Para astronot kita belumlah mampu untuk membuat perjalanan mengunjungi galaksi tetangga sebutlah galaksi Andromeda. Mungkin kita bertanya, mungkin tidak manusia para astronot dapat menjelajahi sampai ke beberapa galaksi di angkasa luar ? 

  Hal ini dapat dilakukan oleh manusia yang memiliki As-Shulton, seperti yang telah disinyalir Allah dalam surat Ar-Rum ayat (33): “Hai jama'ah jin dan manusia, jika kamu sanggup menembus (melintasi) penjuru langit dan bumi, maka lintasilah, kamu tidak dapat menembusnya kecuali dengan kekuatan/Ilmu Pengetahuan (Shulton).” 

  Tapi marilah secara sadar kita renungkan bersama, betapa kita manusia sangat memiliki keterbatasan. Sejak awal abad ke-20 yang merupakan awal kebangkitan sains sampai sekarang, kita belumlah menemukan para astronot yang berhasil menembus lebih dari satu galaksi. 

  Ternyata, kekuatan para ahli sains pada abad ini dan sebelumnya, mampu dikalahkan oleh salah satu fenomena dalam Islam, yakni peristiwa Isra’ dan Mi’raj Nabi Muhammad SAW, yakni perjalanan dari Masjidil Haram (Makkah) ke Masjidil Aqsa (Palestina) lalu menjelajahi dan menembus beribu bahkan jutaan galaksi sampai ke Sidrathal Munthaha (langit ke 7). 

   Perjalanan yang oleh perhitungan manusia dapat ditempuh dengan perjalanan ribuan tahun cahaya (kecepatan cahaya c = 3 x 108 m/s atau 300.000 Km per detik). Artinya, secepat apapun kendaraan manusia, belumlah dapat menyamai laju kecepatan cahaya. Berarti, jika sekiranya perjalanan ini dilakukan oleh para astronot dengan menggunakan kendaraan super canggih, maka akan diperlukan milyaran bahkan triliyunan tahun atau tidak terhitung lagi, untuk sampai ke tempat itu,  mengingat jarak antara bumi dengan langit yang pertama yang tak terhingga nilainya, apalagi harus menembus lapisan langit yang ke tujuh. Tapi, Maha Suci Allah, perjalanan Nabi Muhammad hanyalah memerlukan waktu seperempat malam saja. Sungguh fenomena sains yang benar-benar Maha Agung, yang telah diperlihatkan Allah SWT kepada hamba-Nya sebagai bukti KekuasaanNya bagi orang-orang yang berpikir. 

  Lalu bagaimana kajian fisika dengan fenomena yang Maha Agung ini ?  Berikut penulis akan coba sampaikan lewat pendekatan sains modern, bahwa betapa kekuatan sains tak mampu untuk mendefinisikan fenomena ini. 

  Secara umum kita ketahui bersama bahwa, bangkitnya era sains modern ditandai dengan hadirnya sang Ilmuwan berkebangsaan Jerman, yang memiliki otak jenius, yang oleh beberapa ahli dunia menobatkan beliau sebagai bapak sains, karena kalibernya teori-teori maupun hukum-hukum sainsnya. Dialah Prof. Albert Einstein. 

  Albert Einstein, tak salah lagi, seorang ilmuwan terhebat abad ke-20. Cendekiawan tak ada tandingannya sepanjang zaman. Termasuk karena teori relativitas-nya. Sebenarnya teori ini merupakan dua teori yang bertautan satu sama lain: ”teori khusus relativitas” yang dirumuskannya tahun 1905 dan ”teori umum relativitas” yang dirumuskannya tahun 1915, lebih terkenal dengan ”hukum gaya berat Einstein”.  Kedua teori ini teramat rumitnya, karena itu bukan tempatnya di sini menjelaskan sebagaimana adanya, namun uraian ala kadarnya tentang soal relativitas khusus ada disinggung sedikit. 

   Mutiara kata  bilang,  ”segala sesuatunya di dunia ini adalah serba relatif”. Teori Einstein bukanlah sekadar mengunyah-ngunyah ungkapan yang nyaris menjemukan itu, bagaikan mengunyah permen karet. Yang dimaksudkannya adalah suatu pendapat matematik yang pasti tentang kaidah-kaidah ilmiah yang sebetulnya relatif. Hakikatnya, penilaian subjektif terhadap waktu dan ruang tergantung pada si penganut (pengamat). Sebelum Einstein, umumnya orang senantiasa percaya bahwa di balik kesan subjektif terdapat ruang dan waktu yang absolut yang bisa diukur dengan peralatan secara objektif. Teori Einstein menjungkir-balikkan secara revolusioner pemikiran ilmiah dengan cara menolak adanya sang waktu yang absolut. 

            Contoh berikut ini dapat menggambarkan betapa radikal teorinya, betapa tegasnya dia merombak pendapat kita tentang ruang dan waktu: Bayangkanlah sebuah pesawat ruang angkasa sebutlah namanya X meluncur laju menjauhi bumi dengan kecepatan 100.000 kilometer per detik. Kecepatan diukur oleh pengamat (pemantau), baik yang berada di pesawat ruang angkasa X maupun di bumi, dan pengukuran mereka bersamaan. Sementara itu, sebuah pesawat ruang angkasa lain yang bernama Y meluncur laju pada arah yang sama dengan pesawat ruang angkasa X tetapi dengan kecepatan yang berlebih.  Apabila pengamat di bumi mengukur kecepatan pesawat ruang angkasa Y, mereka mengetahui bahwa pesawat itu melaju menjauhi bumi pada kecepatan 180.000 kilometer per detik. Pengamat (pemantau) di atas pesawat ruang angkasa Y akan berkesimpulan serupa. 

             Nah, karena kedua pesawat ruang angkasa itu melaju pada arah yang bersamaan, akan tampak bahwa beda kecepatan antara kedua pesawat itu 80.000 kilometer per detik dan pesawat yang lebih cepat tak bisa tidak akan bergerak menjauhi pesawat yang lebih lambat pada kadar kecepatan ini. 

            Tetapi, teori Einstein memperhitungkan, jika pengamatan dilakukan dari kedua pesawat ruang angkasa, mereka akan bersepakat bahwa jarak antara keduanya bertambah pada tingkat ukuran 100.000 kilometer per detik, bukannya 80.000 kilometer per detik. 

            Kelihatannya hal ini mustahil. Kelihatannya seperti olok-olok. Pembaca menduga seakan ada bau-bau tipuan. Menduga jangan-jangan ada perincian yang disembunyikan. Padahal, sama sekali tidak !  Hasil ini tidak ada hubungannya dengan tenaga yang digunakan untuk mendorong mereka. 

            Tak ada keliru pengamatan. Walhasil, tak ada apa pun yang kurang, alat rusak atau kabel melintir. Mulus, polos, tak mengecoh. Menurut Einstein, hasil kesimpulan yang tersebut di atas tadi semata-mata sebagai akibat dari sifat dasar alamiah ruang dan waktu yang sudah bisa diperhitungkan lewat rumus ihwal komposisi kecepatannya. 

            Tampaknya merupakan kedahsyatan teoritis, dan memang bertahun-tahun orang menjauhi teori relativitas bagaikan menjauhi hipotesa menara gading, seolah-olah teori itu tak punya arti penting samasekali. 

              Ilmuwan ini berhasil merumuskan sebuah persamaan matematik yang mampu menjawab banyak teka-teki yang tak mampu dijawab oleh banyak para ahli sebelumnya. dan persamaan ini adalah persamaan yang spektakuler, karena sangat berpengaruh terhadap berkembangnya Revolusi sains. Persamaan itu dikenal dengan teori relativitas Einstein. Teori ini mampu mendefinisikan kecepatan kendaraan secepat apapun yang diciptakan manusia. Teori ini sering dikenal dengan teori relativitas waktu. Dengan persamaan: t = syaratnya bahwa nilai v c (kecepatan benda lebih kecil dari kecepatan cahaya),  dengan t’ adalah waktu untuk pengamat (pemantau). 

              Dengan persamaan ini, maka kita bisa menghitung waktu (t) yang diperlukan benda bergerak, dan akhirnya kita bisa menghitung besar jarak objek. Namun bagaimana jika persamaan teori relativitas waktu kita gunakan nilai v (kecepatan benda sama dengan kecepatan cahaya) atau nilai v (kecepatan benda lebih besar dari kecepatan cahaya) ? Mengingat perjalanan pada peristiwa isra’ mi’raj yang semestinya memerlukan waktu perjalan ratusan tahun cahaya hanya ditempuh dalam waktu singkat yakni seperempat malam saja. 

        Sekarang, marilah kita bahas satu persatu: 

             Jika v lalu kita masukkan pada persamaan relativitas waktu t =  ∞ (tak terhingga),  maka kita akan dapatkan bahwa t =  ∞ (tak terhingga), t = ∞ (tak terhingga), semua bilangan yang dibagi 0, maka hasilnya adalah bilangan imajiner (bilangan maya).  Artinya kita tak dapat melukiskan hasil bilangan itu (tak mampu dihitung dengan ukuran angka manusia sekalipun dengan komputer tercanggih). Jika hal ini kita hubungkan dengan kecepatan kendaraan Rasulullah pada peristiwa Isra’-Mi’raj, maka kehebatan sains modern tak akan mampu melukiskan seberapa besar kecepatan “Bouraq” bergerak.  

            Jika v lalu kita masukkan pada persamaan relativitas waktu t = ∞ (tak terhingga) , maka kita akan dapatkan bahwa t =  ∞ (tak terhingga), t =    (tak terhingga), hasil t = ∞ tak terdefinisi (kekuatan bilangan hitungan matematik tak mampu lagi mendefinisikan nilainya).  Dahsyatnya teori Einstein ini tak mampu untuk mendefinisikan berapa waktu yang diperlukan kecepatan “Bouraq” dalam bergerak. Hasil waktu (t) lewat kedua pendekatan tak bisa ditemukan, maka kita tak dapat menentukan jarak antara bumi dengan langit ke satu, ~  (tak terhingga) apalagi langit ke dua apalagi langit ke tujuh. Sungguh hanyalah Allah yang Maha Mengetahui segala sesuatu. Dialah Maha Perkasa dan Maha Agung, yang semua keajaiban alam semesta berada dalam genggamanNya.  Nah  ! fenomena seperti ini boleh kita sebut ghaib bil ghoib, sebab akal manusia mentok dalam memahaminya.  Lalu, harus pakai apa agar kita percaya,  ya kita serahkan kepada kemampuan berfikirnya hati (qolbu), hanya hati (qolbu) yang mampu memikirkannya.  Hati yang seperti apa ??  yakni  hati yang telah diberikan cahaya oleh Allah.  Bukan hati yang gelap ... hitam pekat.

             Kita menyadari bahwa, betapapun hebatnya dan dahsyatnya kekuatan sains manusia, tak akan mampu menandingi ilmu Allah. Ibaratnya, ilmu dan kekuatan serta kehebatan manusia hanyalah sebutir pasir yang berada di padang pasir Maha luas. 

             Setidaknya, kita pun sedikit belajar dari seorang “Einstein” yang konon dikatakan sebagai orang yang kuat kepercayaannya. Meskipun ia tidak memeluk agama tertentu, ia percaya bahwa alam semesta tidak terjadi secara kebetulan. 

             Menjelang akhir hidupnya, Einstein dengan jujur mengatakan, “Alam ini diciptakan Tuhan dengan hukum-hukum-Nya yang rapi”. Artinya sesungguhnya dia secara naluriah kemanusiaan mengakui ke Maha Besar-an dan ke_Esa-an Allah tapi dia belum sempat memeluk Islam sebelum meninggal. Katanya lebih lanjut, “Hal yang paling tidak dapat dipahami tentang dunia adalah bahwa dunia dapat dipahami”. Lanjutnya, ”Berbulan-bulan, bahkan bertahun-tahun saya berpikir terus, 99 kali konklusi saya keliru, tetapi yang ke-100 ternyata benar”. 

             Semoga, melalui perenungan terhadap peristiwa Isra’-mi’raj Nabi Muhammad SAW, semakin mempertebal iman kita kepada Allah SWT. Akhirnya, semua yang kita lakukan adalah karena dalam rangka beribadah kepada Allah Yang Maha Agung, termasuk ketika kita menggunakan akal pikiran kita. 

  Sesungguhnya pada semua gejala alam semesta terdapat tanda-tanda kebesaran Allah Yang Maha Besar, bagi hamba yang berfikir. Dan semoga Allah SWT memberikan hidayahNya kepada kita semua, Amin.  Wallahu’alam bisshawab. 

“Terkadang, kita harus melangkahi prinsip-prinsip yang semestinya kita tegakkan.”  




Tidak ada komentar:

Posting Komentar