BAGAIMANA SEBAIKNYA
MENYIKAPI
PEMBELAJARAN TENTANG AREA KEBATHINAN
(SPIRITUAL)
SEBUAH DIALOGIS
MENGGALI DAN MELENJITKAN POTENSI
DIRI
Bengkulu : Juni 2012.
Inspirator : Nazamuddin (Anggota Senior Satya Buana)
Pada era globalisasi
sekarang ini, dimana ruang dan batas
antar negara sudah tidak ada lagi.
Kemajuan teknologi, berbaurnya budaya antar bangsa dan luasnya
komunikasi ternyata memberikan kepuasan tersendiri bagi sekelompok manusia.
Mulai dari pendidikan yang memakai kurikulum dan laboratorium bahasa
internasional; Twinning
program yang mengajarkan pendidikan separuh di
Indonesia
dan sisanya ditempuh diluar negeri.
Pendidikan sistem ini meningkatkan kurikulum menjadi kurikulum internasional
tetapi tetap hanya menekankan pentingnya nilai akademik, kecerdasan otak atau
dikenal dengan Intelegence Quotient.
Dibidang pakaian
(fashion)
dan makanan
(food)
telah merubah pola dan kekhasan setempat; dimana manusia telah merubah dirinya menjadi
mesin yang mengikuti program iklan dan pencitraan masyarakat. Mereka bersedia berbaris menuju lokasi
penyerapan harta dan mental, untuk
dirampas uangnya maupun moralnya demi
menebus gengsi
dan trend mode. Disini terjadi perubahan karakter manusia
yang menunjukkan penurunan dari kecerdasan emosi atau dikenal dengan Emotional Quotient.
Sementara dikoran Nasional terbaca ada Tragedy Seorang Manager
Investasi Terkenal Kaya Raya yang mati bunuh diri karena kalah dalam trading
valas, sementara di
dalam gubuk kardus daerah
kumuh di pinggiran Metropolitan
ada rakyat jelata yang miskin mati kelaparan karena tak punya uang untuk
sekedar sesuap nasi. Sekelompok
masyarakat pinggiran kota membakar seorang pencuri sepeda motor karena tak
punya pekerjaan tetap, yang barang kali hasil curiannya untuk memberi makan anak istrinya
dirumah, sementara pencuri uang Negara
milyaran rupiah bebas berkeliaran dan berfoya-foya mungkin juga ditempat-tempat
maksiat menikmati hasil uang curiannya.
Ada suatu negara mengesahkan
opininya untuk mengukuhkan kediktatorannya atas bangsanya sendiri, dan ada
juga agressi suatu negara atas negara
lain dengan mengerahkan pesawat perang dan tank yang serba canggih serta bom-bom
pemusnah massal, dengan dalih menumpas
kejehatan separatis atau teroris;
sehingga tak jelas lagi siapa yang teroris/separatis dan mana pula yang
menjadi korbannya. Ketiga contoh
terakhir ini menunjukan telah hilangnya tingkat kecerdasan moral, penempatan perilaku dan hidup berpradaban terpuji dalam konteks makna yang
luas & kaya atau dikenal sebagai Spiritual Quotient.
Pada sisi lain pentahapan
dalam umur manusia sejak lahir sebagai bayi, pemuda, dewasa dan seterusnya
sampai meninggal, memberikan dampak kepuasan-kepuasan yang diperoleh pada
setiap tahapan umur kehidupan. Karena ambisi, egoisme, dan perhatian yang
lebih mengutamakan Intelegence Quotient (Kecerdasan Otak), hilanglah nilai
kejujuran, integritas, komitmen, visi, kreatifitas, kebijaksanaan, prinsip
kepercayaan, keadilan, ketahanan mental dan penguasaan diri sebagai bagian dari
suatu kecerdasan Emosi (Emotional Quotient) yang seharusnya makin berkembang
dengan peningkatan usia manusia. Serta
tidak memperdulikan bagaimana tindakan atau perilaku/jalan hidup manusia supaya
menjadi lebih bermakna yaitu pemahaman Spiritual Quotient.
Kadang-kadang terlupakan
bahwa sesungguhnya manusia di turunkan ke dunia adalah untuk bertindak selaku
khalifah yang membawa amanah beribadah kepada Allah SWT; seperti yang terjadi saat roh dialam roh
bersumpah dihadapan Allah, mengakui Ketuhanan dari Allah Subhanahu Wata’alla.
Dimasa manusia–manusia
memasuki masa produktif sampai uzur, dengan berbagai masalah tersebut diatas baik
pencapaian tingkat Kecerdasan Emotional, Intelegence and
Spiritual Quotient-nya
maupun problem kesehatannya, mereka
tetap perlu memikirkan dan mengupayakan agar disetiap saat dapat mempersiapkan
hati yang bersih, jiwa yang penuh iman
dan taqwa kepada Allah SWT. Sehingga
pada saat manusia sewaktu-waktu dipanggil oleh Allah maka tetap dalam kondisi Khusnul chotimah
bukan malah sebaliknya mati dalam keadaan Su’ul chotimah, akhir yang baik bagi
manusia/ orang yang mempunyai cahaya keimanan dalam hatinya.
Karena peradaban manusia
ternyata mempengaruhi kejiwaan dan berujung pada pola tingkah laku dalam
kehidupan keseharian, dan tercermin
berikutnya akan tingkah laku jasmani;
makanya pada awal diskusi kita dalam buku ini, berikutnya akan kita awali pembicaraan kita
tentang otak.
Agar kita dapat lebih memahami tentang fungsi jiwa---terutama bagi anda yang sedang melatih Tenaga Dalam (Inner Power), Peningkatan Energi Plus,
Olah Bathin atau sedang dalam upaya
memahami wilayah yang
bersinggungan dengan arena spiritual
untuk berbagai tujuan terutama bidang kesehatan---, maka saya sarankan sebaiknya anda harus memiliki pemahaman
dan gambaran yang lebih konkret tentang struktur dan cara kerja otak yang berada di dalam kepala serta pemahaman
diri anda secara utuh.
Karena dikhawatirkan,
ketika anda memasuki arena pembelajaran tentang segala sesuatu yang berkaitan dengan prilaku
jiwa dan hal-hal yang mengarah kepada
segala sesuatu berbau spiritual, mengingat semua itu sangat erat kaitannya dengan prilaku
otak atau akal dan kesadaran, maka anda bisa
cenderung keliru atau salah penafsiran dalam
memahaminya, karena anda tak memiliki bekal
pengetahuan dan pemahaman yang memadai tentang hal itu. Apabila anda,
tanpa berbekal sedikitpun pengetahuan tentang prilaku otak dan kesadaran anda
sendiri yang kesemuanya sangat berkaitan erat dengan prilaku jiwa dan prilaku
spiritual, maka anda malah bagaikan sedang mengejar
bayang-banyang.---enggak punya arah tujuan yang jelas---,
sehingga anda tak kan pernah sampai pada
tepian harapan yang sedang anda tuju. Lebih
celaka lagi, malah bisa-bisa anda terjerumus ke dalam jurang kesesatan yang
makin dalam.
Sebab, anda sendiri
tak mengerti apa sih hakekad yang sedang anda pelajari atau barang kali anda
hanya sekedar mengekor (takliq) saja apa kata
pembimbing (pengajar; pelatih; guru) anda,
atau anda terlalu meyakini pengalaman empiris yang dialami. Akhirnya anda tersesat dan terperosok kedalam
jurang kefasikan, karena secara tidak langsung sebenarnya anda
telah mengalami “program cuci otak”. Lalu, otak dan kesadaran anda telah terisi oleh
hal-hal yang terlanjur keliru, sehingga bisa jadi anda telah berlari jauh dari kebenaran yang hakiki
dan sulit kembali lagi ke jalan yang lurus, jalan keridhoan Allah ‘Azza wa Jalla. Kalau sudah
begitu mau apa lagi, kasihankan .... sia-sialah hidup anda !?? Ingat lho...! hidup di dunia ini hanya
satu kali ...nggak dua...nggak juga
tiga, jangan di sia-siakan toh !!
Perlu disadari, mempelajari
“aktifitas jiwa (spiritual; ruhaniah)”, segala sesuatunya berawal dari mempelajari aktifitas “otak atau akal dan kesadaran” juga. Sedangkan
aktifitas “otak atau akal dan
kesadaran” menentukan segala aktifitas seluk beluk
kehidupan seseorang, baik secara jasmani maupun rohani, baik
moral maupun material, baik konkrit maupun abstraks, baik inklusif maupun ekskulsif.
Kenapa saya
katakan demikian ? Karena,
untuk kita ketahui bahwa “Jiwa” adalah
program-program istimewa yang telah dianugerahkan kedalam sel-sel dalam tubuh manusia termasuk sel otak oleh Allah kepada manusia. Dan program-program tersebut lantas “bekaloborasi” membentuk suatu sistem di dalam organ otak, malah
seluruh organ tubuh manusia.
Oleh karena itu menurut
saya, setiap apa yang dihasilkan aktifitas “Otak” adalah merupakan pancaran ataupun cerminan dari sebagian aktifitas “Jiwa
(spiritual)” kita juga.
Namun tidak berarti, setelah anda memahami semua prilaku otak,
lalu anda mengklaim seakan-akan anda telah memasuki wilayah spiritual, sebab anda baru sampai pada tahap
membuka sebagian saja
pintu masuk mengarah kepada
pemahaman tentang wilayah spiritual,
sesungguhnya perjalan itu masih sangat panjang.
Bagaimana kita memahami hal ini ? Kita ambil contohnya, misalnya ketika kita
sedang membaca dan memahami karya
seseorang, baik berupa karya tulis, tulisan ilmiah, karya musik, lagu, pidato,
baca puisi, kaya seni lukis, drama, atau karya-karya seni dan ilmu pengetahuan
lainnya, sebenarnya kita juga sedang mencoba
memahami pancaran dan lukisan “JIWA” dari orang tersebut. Kalau tidak begitu, berarti kita hanya sedang melihat-lihat
saja atau membaca saja tanpa penghayatan, tanpa
memasukkannya di dalam hati, bukan
menikmatinya, bukan pula meresapi
atau memahaminya... yaa numpang
lewat doang. Kemampuan anda memahami pancaran dan lukisan
“JIWA” seseorang seperti ilustrasi diatas, lantas
bukan berarti anda telah memahami
ataupun memasuki wilayah spiritual secara holistic, namun baru dalam tahap awal
penumbuhan kepekaan rasa.
Mari kita
ambil contoh lagi, katakanlah terdapat salah
satu “Pelatihan Olah Tenaga Dalam (Olah Bathin; Olah Spiritual; Inner Power)” yang berkembang
saat ini dengan Tujuan Pelatihan Jangka Panjang adalah merupakan salah satu methoda dalam upaya
mengembalikan “kondisi fitrah manusia” untuk mewujudkan
seorang hamba yang mampu dan pandai:
1.
Meningkatkan
Iman dan Taqwa hanya kepada Allah.
2.
Beribadah
pada Tuhannya dengan ikhlas.
3. Menganalisa
dengan akal/mengenali jati diri dan lingkungannya dalam rangka mengantarkan
manusia untuk menjadi hamba yang
pandai bersyukur kepada penciptanya.
4. Mengenal
alam semesta dan dirinya sendiri agar ia dapat mengenal Tuhannya, sehingga ia
menjadi semakin dekat dengan Sang Penciptanya.
Menurut
penemunya, metodologi ini dapat dikaji
secara ilmiah (logika ; akal ; rasio;
otak), maupun hukum aqidah agama oleh siapa saja, bahwa untuk dapat menghidupkan dan
mengembangkan Metodologi Tenaga Dalam (Inner Power) ini dilakukan melalui
cara yang realistis, logis dan alami dapat dilakukan melalui pendekatan latihan:
a. Pola kosentrasi,
meditasi dan taffakur
(meningkatkan ke-khusukan dan keyakinan
kepada sang Khaliq).
b. Pola olah nafas
(olah nafas segi tiga yang ber-pusat dikundalini sebagai ”booster dan konduktor”
energi dalam tubuh).
c. Pola gerak/jurus (stimulasi terhadap
titik simpuls
syaraf
sensitive, receptor
dan
7 titik cakra mayor; pusat-pusat energi utama dalam tubuh); dengan disertai pengamalan dzikir khofi (menghadirkan
kesadaran diri atau rasa ingat
seakan-akan melihat atau sedang diawasi oleh Allah SWT) dalam hati dengan ikhlas untuk mengharapkan
ridho Allah SWT, manusia hanya berusaha tetapi Allah yang menentukan.
Aplikasi
dari perwujudan kefitrahan tersebut
dituangkan dalam ilmu terapan tenaga
dalam tesebut menurut jalur:
a. unsur
penyembuhan.
b. unsur
beladiri.
c. unsur
pengembangan bakat cipta, karsa, rasa, seni, dan budaya.
d. unsur
parapsycolog.
Nah.... ! coba
anda renungkan dalam-dalam tujuan dan penjelasan tentang prinsip dasar dari salah satu Pelatihan Olah Tenaga Dalam (Inner Power) tersebut. Apakah anda tidak melihat
keterkaitannya dengan apa yang telah saya katakan diawal paragraf tulisan ini. Silahkan anda memikirkan dan merenunginya,
apakah pendapat saya ini realistis atau tidak.
Lets thought or
forgeted it ! (Renungkanlah atau lupakan).
Saya hanya mengingatkan, agar sebaiknya anda hati-hati
lho...! Maaf beribu maaf, bukan saya nakut-nakutin
anda dalam mempelajari tentang segala sesuatu yang mengarah kepada “wilayah spiritual”, karena semua ini
sangat berkaitan erat dengan prilaku jiwa kita. Hal ini
bisa berbahaya, namun bukan berarti anda
harus mundur atau apriori sehingga anda mengunci rapat-rapat diri anda dari segala sesuatu yang berkenaan dengan
areal spiritual. Sebab, kalaulah ini yang anda pilih maka anda sampai
matipun tidak akan mengenal secara
sungguh-sunguh tentang Sang Pencipta
anda sendiri yakni Rabb Pencipta Semua Makhluk.
Karena untuk mengenal Sang Maha Berkuasa
yang selalu anda sembah dan
dimintai pertolongan adalah dengan mempertajam wilayah spiritual anda, tidak hanya cukup dengan akal. Jadi kata kuncinya, kalaulan anda ingin mempertajam kemampuan
spiritual, maka anda harus berusaha membekali diri anda dengan
pengetahuan dasar yang cukup memadai.
Karena anda sedang memasuki wilayah wilayah : “abstrak; absurt (alam tidak nyata; alam im-materil)”. Sedangkan yang “konkrit-konkrit (nyata-nyata)” saja kita sering salah, apalagi yang tidak nyata,
tul enggak....! Itulah bahaya-nya kita takliq, baik takliq kepada
sang guru, takliq kepada buku-buku tertentu, takliq kepada aliran tertentu atau
takliq kepada idealisme tertentu; bahkan
dalam ajaran agama kita dilarang keras takliq (membeo doang), tanpa mau menalar, merenung, menganalisis dan belajar
dari “referensi-referensi” yang shahih atau bertanya kepada yang lebih tahu.
Banyak contoh
telah terjadi terhadap orang-orang
yang telah menyimpang dari ajaran pokok agama yang dianutnya, akibat takliq atau terlalu over dosis dalam
memahami dan melakukan aktifitas yang bernuansa spiritual tanpa berpegang pada
prinsip yang kuat dan teguh atas agama yang Fitrah. Dan didalam Islam sangat melarang “takliq buta”, sebagaimana digambarkan Allah dalam firman-firman-Nya:
Qs. Az-Zumar ayat 9: ”...Katakanlah: adakah sama orang-orang yang mengetahui
dengan orang-orang yang tidak mengetahui.
Sesungguhnya orang
yang berakal-lah yang dapat menerima pelajaran (ilmu pengetahuan)”.
Qs.An-Nahl ayat 43: ”.... Maka
bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan”.
QS. Bani Israil (17) ayat
36 : “Dan janganlah kamu mengikuti apa
yang kamu tidak mempunyai ilmu
(pengetahuan) tentangnya. Sesungguhnya
pendengaran,
penglihatan dan hati, semuanya itu akan
diminta pertanggungjawabannya”.
Qs.
Al-A’raaf ayat 179: ”Dan sesungguhnya
Kami jadikan isi neraka jahanam kebanyakan dari jin dan manusia, mereka mempunyai hati
tetapi tidak digunakan
untuk memahami
(ayat-ayat Allah), dan
mereka mempunyai mata
tidak
digunakan
untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), dan mereka
mempunyai telinga tetapi tidak digunakan untuk
mendengar
(ayat-ayat Allah). Mereka itu seperti binatang bahkan lebih
sesat
lagi. Mereka itulah orang-orang yang
lalai”.
Jangan-jangan “pembimbing (baca: pelatih; guru; pembina)” anda juga sebenarnya nggak punya ilmu apa-apa
tentang “Olah Bathin atau Olah Spiritual” tersebut. Yaa..!
barangkali hanya mengekor juga
dari para pendahulunya atau bedasarkan nalarnya dan pengalaman empirisnya
semata, tanpa pernah mencoba melakukan
pendekatan-pendekatan terhadap sumber keilmuan yang lebih shahih. Sehingga,
ketika mencoba menjelaskan tentang arena “Olah Spiritual
(baca: Olah Tenaga Dalam)”, maka cenderung ngomongnya ngawur enggak karu-karuan tanpa dasar yang shahih.
Untuk itu, mari
kita terus mecoba untuk terus menalar, mencerna,
menganalisa, merenung, mencari dasar-dasar pendekatan yang lebih shahih tentunya
dengan cara arif dan bijaksana dalam mengambil sebuah keputusan agar paling tidak walaupun sedikit kita sudah punya bekal untuk ngomong
atau memberikan pandangan, pendapat, penjelasan tentang wilayah yang berbau
kebathinan (spiritual), atau minimal untuk kebutuhan diri sendiri. Itupun kalau anda mau, kalau enggak juga ndak
apa-apa koq !
Tidak ada komentar:
Posting Komentar