KECERDASAN
AKAL BUKANLAH
SEGALA-GALANYA
SEBUAH DIALOGIS
MENGGALI DAN MELENJITKAN POTENSI
DIRI
Bengkulu : Juni 2012.
Inspirator : Nazamuddin (Anggota Senior Satya Buana)
Jadi,
menurut pendapat berbagai pakar pada otak inilah pusat potensi
intelektual sekaligus “Kecerdasan Intelektual (IQ)”. Dengan demikian
yang dimaksud dengan “IQ adalah
kemampuan kita dalam melakukan aktivitas akal, baik dalam menerima, menyimpan,
mengolah, maupun mengeluarkan informasi, lalu
yang termasuk kedalam kategori IQ adalah membaca, menghafal, menulis,
menganalisa dan berhitung”.
Menurut Muhamamad Zuhri:
“Bahwa IQ berhubungan dengan
mengelola ala (alkauniyah), sehingga IQ
sangat erat hubungannya dengan kemampuan kita dalam mengembangkan panca indra dan
akal. Lewat ke duanya kita mampu
melakukan pengamatan terhadap segala sesuatu yang ada di alam semesta, kemudian di serap, di atur, di olah—baik melalui otak maupun tulisan–sehingga menjadi sebuah informasi; data; fakta, yang sangat
dibutuhkan untuk berbagai penelitian ilmiah. Dari hasil penelitian ilmiah inilah muncul
berbagai disiplin Ilmu Pengetahuan”.
Namun demikian patut disadari, bahwa ilmu pengetahuan
manusia ke absahannya sangatlah terbatas, sebagaimana terbatasnya kemampuan
pancaindra dan akal. Sebab, pancaindra
dan akal hanya mampu dalam menangkap
sesuatu yang bersifat materi--itu pun belum tentu
benar mutlak--sehingga ada kemungkinan terjadi kesalahan dalam menyerap dan menangkap setiap informasi
yang di alaminya.
Dengan demikian, jika kita ingin memperoleh Ilmu Pengetahuan
yang pasti, yakin dan sahih; tidak akan
diperoleh hanya lewat pancaindra dan akal toq
! melainkan harus melalui “Wahyu, Ilham, Hidayah, Qaromah” dari Allah Sang Pemilik Segala Ilmu. Otomatis.
Oleh karena itu,
menurut Dr. M.
Utsman Najti—dalam buku Al-Hadits
Al-Nabawi—ada dua cara untuk memperoleh Ilmu Pengetahuan, yaitu:
Pertama; melalui pancaindra
dan akal. Cara
ini bisa ditempuh oleh manusia
dalam memperoleh pengetahuan seperti yang dilakukan oleh para ilmuwan dalam
penelitian ilmiah mereka. Pengetahuan
ini diperoleh dengan dimulai dari pengamatan terhadap hal-hal yang bersifat bisa ditangkap oleh pancaindra
dan berakhir dengan membentuk konsepsi dan struktur akal yang lebih
kompleks.
Kedua; melalui
wahyu, ilham dan mimpi yang benar.
Dengan cara ini manusia memperoleh pengetahuan model khusus yang dikirim
Allah yang berisi beberapa realitas, hal-hal ghaib, dan perkara-perkara yang
telah dan akan terjadi atau perintah
untuk mengerjakan sesuatu.
Para
ilmuwan di kalangan dunia Barat lebih banyak mendapat pengetahuan dari cara pertama, sehingga
mereka sangat mengagungkan hasil penemuan lewat
pancaindra dan akal, akibatnya
mereka menolak kehadiran wahyu (cara ke dua) dan mereka
menganggap “wahyu atau dogma” itu bukan lagi
wahyu dari Allah, tetapi dari para pemuka agama, sehingga mereka mulai
mempertentangkan antara ilmu pengetahuan dengan wahyu atau agama.
Kemudian akal dianggap sebagai
kunci kesuksesan, ketika Alfred Binet dan Theodore
Simon—dua orang pakar Psichologi Prancis—mengembang tes modern pertama tahun 1905. Kemudian Lewis M. Terman dan Maud A. Merrill—dua orang pakar Psichologi Amerika
Serikat—kemudian mengadaptasi karya ilmuwan Prancis menjadi sebagai Tes Stanford Binet, sebuah alat untuk mengukur tingkat IQ seseorang, kemudian
jadilah IQ dianggap sebagai dewa kehebatan yang agung. Akhirnya yang terjadi adalah; karena IQ berkaitan dengan cara mengelola alam—dengan mengabaikan
perasaan—maka “manusia tak ubahnya seperti
robot atau mesin komputer yang hanya bisa bertindak dan berbuat tetapi tidak berperasaan atau tidak manusiawi alias tidak memiliki hati
nurani”.
Kemajuan spektakuler dunia barat yang begitu canggih
dihasilkan melalui karya IQ secara dhahir (fasilitas, sarana, peralatan,
telekomunikasi, informasi dll), namun kropos
secara bathiniah (Spiritual), menyebabkan terjadinya berbagai kegelisahan di berbagai
belahan dunia, lalu pada dekade akhir-akhir ini muncullah istilah EQ dan SQ.
Namun, saat ini apa gerangan yang
terjadi di kalangan dunia Timur yang kebanyakan Muslim ? Mereka lebih banyak mendapatkan pengetahuan dari cara ke dua. Mereka sangat
mengagungkan wahyu dan mempelajarinya, tetapi mengabaikan ilmu pengetahuan
empiris--hasil penemuan lewat olah pancaindra dan akal (IQ)—agak terabaikan,
bahkan ada sebagian kalangan
Muslim menolak kehadiran cara pertama. Karena mereka
menganggap kekuatan pancaindra dan akal saja akan banyak mendatangkan mudhorat
dari manfaatnya. Akibatnya umat Muslim “hanya puas pada batas pandai
melantunkan ayat-ayat suci Al-Qur’an dengan suara merdu, lalu dipertandingkan
dan hasilnya adalah sebuah prestise kebanggaan (Throphy), menyampaikan
dalil-dalil ayat Al-Qur’an dalam bentuk
Verbal teoritis dan sebagian diantaranya hanya mampu menjustifikasi atau
melegalisasi bahwa apa-apa yang telah
ditemukan oleh dunia Barat ada di dalam
Al-Qur’an”.
Sayangnya Umat Islam tidak berupaya menjadikan Al-Qur’an sebagai pendorong untuk melahirkan karya-kaya ilmiah yang nyata, bukan hanya
terbatas dalam bentuk konsepsual atau kerangka teoritis. Para pemuka agama
pun kebanyakan hanya mampu mengalih
bahasakan; penyampaian informasi ayat dalam tektual dan verbal, atau hanya sebatas pemahaman teoritis
(konsep-kosep, formulasi-formulasi) dari ayat-ayat Al-Qur’an, namun belum mampu mengahasilkan
karya nyata yang tersembunyi di balik ayat-ayat Allah tersebut.
Akhirnya umat Islam selalu tertinggal, kalah canggih baik
dalam segi fasilitas, sarana, prasaran, peralatan, telekomunikasi, informasi
dll, dan didzolimi dimana-mana. Pada hal sumber dari segala Ilmu Pengetahuan
yang paling canggih sepanjang zaman ada dan tersedia di tangan umat Islam,
yaitu Al-Qur’an dan Hadist Nabi. Dan patut untuk
menjadi catatan umat Islam, bahwa
karya-karya yang dihasilkan oleh ilmuwan
Barat beberapa abad yang lalu sampai saat ini, hampir semuanya adalah merupakan estapet ilmu pengetahuan yang telah
dihasilkan oleh para pemikir Islam terdahulu, yang mereka jiplak atau mungkin
juga mereka rampok saat terjadinya Perang Salib I dan II.
Tokoh-tokoh Ilmuwan Muslim terkenal
pada zaman kejayaan Islam tersebut antara lain Ibnu Al-Haitsam dengan nama asli
Abu Ali Al-Hasan Ibnu Al-Haitsam Al-Basri
Al-Mishri (lahir 965 M) lebih dikenal
dengan nama Alhazen,
Avenetan, atau Avennethan adalah seorang pencetus “Teory Ilmiah”. Muhammad bin Musa Al-Khawarizmi seorang tokoh Matematika penemu “Angka Nol”, lalu lahirlah angka-angka
lain seperti angka 1, 2, 3, -1, -2, -3 dan seterusnya. Al-Battani dengan nama
lainnya Albategni atau Albategnius pencetus istilah Sinus, Kosinus,
Tangen dan Kotangen dalam Matematika, atau Azimut, Zenit dan Nadir dalam
Ilmu Astronomi. Ibnu Sina
(981 – 1037 M) dikenal juga dengan nama Avecienna sebagai Bapak Ilmu Kedokteran.
Abu Bakar Muhammad Ibnu Zakariya Al-Razi (865 – 925 M) dan
Jabir Hayyan Al-Kufi (738 – 813 M) sebagai penemu Ilmu Kimia Kontemporer. Ibnu Majid yang menemukan “kompas modern”.
Ibnu Khaldun (lahir 27 Mei 1332 M) sebagai peletak pertama Ilmu Filsafat, Politik, Sejarah dan Sosiologi. Ibnu Batutah (1304 –
1377 M) menemukan bidang Navigasi dan menjelajah dunia dari Rusia hingga
Samudera Pasai. Ibnu Rusyd dikenal dengan nama lainnya Averroes (1126 – 1198 M) sebagai tokoh Filsafat,
Sosiologi, Politik dan Sejarah.
Saat ini umat Islam dalam merespon
hasil karya ilmiah dunia Barat setidak-tidaknya dapat dibagi menjadi empat
golongan, yakni:
1. Ada golongan yang silau dan
menelan mentah-mentah semua peradaban yang dihasilkan dunia Barat.
2. Menolak secara membabi buta
peradaban dunia Barat.
3. Pilih-pilih sesuai dengan selera
hawa nafsu.
4. Menerima dan atau menolak secara
kritis berdasarkan ilmu dan kebenaran.
IQ menurut Al-Qur’an adalah “gabungan pembelajaran atau
pembacaan antara wahyu dengan hasil pembacaan pancaindra dan akal, keduanya
tidak bertentangan, akan tetapi saling melengkapi”.
Berbeda dengan makna IQ diantara dua kondisi–dunia Barat dan Dunia Islam--seperti dijelaskan di atas. Rasulullah mengajarkan kepada kita bahwa “Wahyu adalah untuk menguji kebenaran hasil penemuan
ilmiah (hasil pembelajaran terhadap alam semesta)—melegitimasi kebenaran dan
meluruskan kesalahan--, sedangkan ilmu pengetahuan berguna untuk membuktikan bahwa wahyu itu
benar dari Allah, karena wahyu (Kitab Suci)
adalah perkataan Allah, sedangkan
ilmu pengetahuan (alam semesta) adalah
perbuatan-Nya”.
Seperti kita ketahui bahwa wahyu pertama turun adalah Surah Al-‘Alaq. Kata Iqra’ dalam surah ini
adalah kata seru (fi’il amr/interjection) dengan arti “Bacalah”. Kata ini berasal
dari kata “qiraah” dengan arti: membaca (tilawah); penalaran, penelitian, riset,
observasi; analisis (muthala’ah); mengumpulkan (al-jam’u), dll yang intinya
bermuara pada pembelajaran (at-ta’lim), sehingga dalam surah ini kata belajar (at-ta’lim) di ulang sampai tiga kali.
Dalam surah ini juga Allah tidak menyebutkan objek dari qiraah (bacaan), akan tetapi Imam Baidhawy dalam kitab tafsirnya “Tafsir al-Baidhawy (Darul Kutub Ilmiah, 1999)”, mengisyaratkan
bahwa yang dibaca itu adalah Al-Qur’an, namun tidak sedikit para ulama yang
berpendapat bahwa objek dari qiraah tersebut bukan hanya Al-Qur’an, akan tetapi
juga alam semesta, terutama tentang
manusia itu sendiri, sebagaimana terulang dua kali dalam surah ini. Menurut Prof. Dr. Quraisy Shihab dalam Agus Nggermanto (Pustaka Hidayah, l977) dalam tafsirnya mengatakan perintah Iqra’ mencakup tela’ahan terhadap alam raya, masyarakat, diri manusia sendiri
serta bacaan tertulis baik kitab suci maupun bukan kitab suci.
Selain berbicara tentang “membaca” sebagai sarana
mengumpulkan ilmu, surah Al-Alaq’ juga membicarakan tentang “menulis”, hal ini terungkap dari adanya kata “Al-Qalm” dalam surah ini,
yang berarti “Pena”
(alat tulis). Membaca dan
menulis adalah dua kata yang tidak dapat dipisahkan dari proses belajar dan
mengajar.
Dalam sebuah “atsar” (perkataan sahabat) : “Ikatlah ilmu dengan tulisan
(Qaidu al-‘ilmu bi al-kitabah)” dan
perkataan : “Barang siapa yang mengamalkan apa yang telah ia
pelajari, Allah akan mewariskan ilmu yang belum ia ketahui (HR. Abu Nu’aim).
Menurut para ahli Psichologi seperti Bobbi DePorter dan
Mike Hernacki, menyatakan bahwa aktivitas membaca sangat erat
hubungannya dengan komunikasi verbal atau
tulisan, bermanfaat untuk “menyeimbangkan otak kanan dan otak kiri”. Dan menulis
adalah salah satu sarana untuk menyembuhkan diri dari berbagai penyakit
psichologis dan melenjitkan potensi diri.
Jauh sebelumnya Allah telah membicarakan akitivitas
menulis dan membaca kepada Nabi Muhammad SAW
melalui Surah Al-‘Alaq. Menurut Dave Meier menyatakan: “Penelitian mengenai otak dan
kaitannya dengan pembelajaran telah mengungkapkan fakta sangat
mengejutkan. Jika sesuatu dipelajari
dengan sungguh-sungguh, struktur internal sistem syaraf kimiawi (atau elektris) seseorangpun akan
berubah. Sesuatu yang baru tercipta
dalam diri seseorang—jaringan syaraf baru,
jalur elektris baru, asosiasi baru, dan hubungan baru.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar