Minggu, 01 Juli 2012

KECERDASAN AKAL BUKANLAH SEGALA-GALANYA


KECERDASAN  AKAL  BUKANLAH 
SEGALA-GALANYA
SEBUAH DIALOGIS
MENGGALI DAN MELENJITKAN  POTENSI DIRI
Bengkulu  :  Juni 2012.
Inspirator  :  Nazamuddin (Anggota Senior Satya Buana)


         Jadi, menurut  pendapat berbagai pakar  pada otak inilah pusat potensi intelektual  sekaligus Kecerdasan Intelektual (IQ)”.   Dengan demikian yang dimaksud dengan IQ adalah kemampuan kita dalam melakukan aktivitas akal, baik dalam menerima, menyimpan, mengolah, maupun mengeluarkan informasi, lalu  yang termasuk kedalam kategori IQ adalah membaca, menghafal, menulis, menganalisa  dan berhitung”.

              Menurut Muhamamad Zuhri: 

Bahwa IQ berhubungan dengan mengelola ala (alkauniyah), sehingga  IQ sangat erat hubungannya dengan kemampuan kita dalam mengembangkan panca indra dan akal.  Lewat ke duanya kita mampu melakukan pengamatan terhadap segala sesuatu yang ada di alam semesta,  kemudian di serap,  di atur, di olah—baik melalui otak maupun  tulisan–sehingga menjadi sebuah  informasi; data; fakta, yang sangat dibutuhkan untuk berbagai penelitian ilmiah.  Dari hasil penelitian ilmiah inilah muncul berbagai disiplin Ilmu Pengetahuan”.

            Namun demikian  patut disadari, bahwa ilmu pengetahuan manusia ke absahannya sangatlah  terbatas, sebagaimana terbatasnya kemampuan pancaindra dan akal.  Sebab, pancaindra dan akal hanya mampu  dalam menangkap sesuatu yang bersifat materi--itu pun belum tentu benar mutlak--sehingga ada kemungkinan terjadi kesalahan  dalam menyerap dan menangkap setiap informasi yang  di alaminya.

            Dengan demikian,  jika kita ingin memperoleh Ilmu Pengetahuan yang pasti, yakin dan sahih;  tidak akan diperoleh hanya lewat pancaindra dan akal toq  !  melainkan harus melalui “Wahyu, Ilham, Hidayah, Qaromah” dari Allah Sang Pemilik Segala Ilmu. Otomatis.

 Oleh karena itu, menurut Dr. M. Utsman Najtidalam  buku  Al-Hadits   Al-Nabawiada dua   cara untuk memperoleh Ilmu Pengetahuan,  yaitu:

Pertama;   melalui  pancaindra  dan  akal.   Cara  ini  bisa ditempuh oleh manusia dalam memperoleh pengetahuan seperti yang dilakukan oleh para ilmuwan dalam penelitian ilmiah mereka.  Pengetahuan ini diperoleh dengan dimulai dari pengamatan terhadap hal-hal  yang bersifat bisa ditangkap oleh pancaindra dan berakhir dengan membentuk konsepsi dan struktur akal yang lebih kompleks. 

Kedua;     melalui wahyu, ilham dan mimpi yang benar.  Dengan cara ini manusia memperoleh pengetahuan model khusus yang dikirim Allah yang berisi beberapa realitas, hal-hal ghaib, dan perkara-perkara yang telah dan akan terjadi atau  perintah untuk mengerjakan sesuatu.
           Para ilmuwan di kalangan dunia Barat lebih banyak mendapat  pengetahuan dari cara pertama, sehingga mereka sangat mengagungkan hasil penemuan lewat  pancaindra dan akal,  akibatnya mereka menolak kehadiran wahyu (cara ke dua)  dan mereka menganggap “wahyu atau dogma”  itu bukan lagi wahyu dari Allah, tetapi dari para pemuka agama, sehingga mereka mulai mempertentangkan antara ilmu pengetahuan dengan wahyu atau agama.

            Kemudian akal dianggap sebagai kunci kesuksesan, ketika Alfred Binet dan Theodore Simondua orang pakar Psichologi Prancismengembang tes modern pertama tahun 1905.  Kemudian Lewis M. Terman dan Maud A. Merrilldua orang pakar Psichologi Amerika  Serikatkemudian mengadaptasi karya ilmuwan  Prancis menjadi  sebagai Tes Stanford Binet, sebuah alat untuk mengukur tingkat IQ seseorang, kemudian  jadilah IQ dianggap sebagai dewa kehebatan yang agung.  Akhirnya yang terjadi adalah;  karena IQ berkaitan dengan cara mengelola alam—dengan mengabaikan perasaan—maka  “manusia tak ubahnya seperti robot atau mesin komputer yang hanya bisa bertindak dan berbuat  tetapi tidak berperasaan atau  tidak manusiawi alias tidak memiliki hati nurani”.
    
            Kemajuan  spektakuler dunia barat yang begitu canggih dihasilkan  melalui karya   IQ secara dhahir (fasilitas, sarana, peralatan, telekomunikasi, informasi dll), namun kropos secara bathiniah (Spiritual), menyebabkan terjadinya berbagai kegelisahan di berbagai belahan dunia, lalu pada dekade akhir-akhir ini  muncullah istilah  EQ dan SQ.

            Namun, saat ini apa gerangan yang terjadi di kalangan dunia Timur yang kebanyakan Muslim ?  Mereka lebih banyak mendapatkan   pengetahuan dari cara ke dua.  Mereka sangat mengagungkan wahyu dan mempelajarinya, tetapi mengabaikan ilmu pengetahuan empiris--hasil penemuan lewat olah pancaindra dan akal (IQ)agak terabaikan,  bahkan ada sebagian  kalangan Muslim menolak kehadiran cara pertama.  Karena mereka menganggap kekuatan pancaindra dan akal saja akan banyak mendatangkan mudhorat dari manfaatnya.  Akibatnya umat Muslim “hanya puas pada batas pandai melantunkan ayat-ayat suci Al-Qur’an dengan suara merdu, lalu dipertandingkan dan hasilnya adalah sebuah prestise kebanggaan (Throphy), menyampaikan dalil-dalil  ayat Al-Qur’an dalam bentuk Verbal teoritis dan sebagian diantaranya hanya mampu menjustifikasi atau melegalisasi  bahwa apa-apa yang telah ditemukan oleh dunia Barat  ada di dalam Al-Qur’an”. 

            Sayangnya Umat Islam  tidak berupaya menjadikan Al-Qur’an sebagai pendorong untuk melahirkan karya-kaya ilmiah yang nyata,  bukan hanya terbatas dalam bentuk konsepsual atau kerangka teoritis.  Para pemuka agama pun  kebanyakan hanya mampu mengalih bahasakan; penyampaian informasi ayat dalam tektual dan  verbal,  atau hanya sebatas pemahaman teoritis (konsep-kosep, formulasi-formulasi) dari ayat-ayat Al-Qur’an, namun belum mampu mengahasilkan karya nyata yang tersembunyi di balik ayat-ayat Allah tersebut. 

           Akhirnya umat Islam selalu tertinggal, kalah canggih baik dalam segi fasilitas, sarana, prasaran, peralatan, telekomunikasi, informasi dll, dan didzolimi dimana-mana.  Pada hal sumber dari segala Ilmu Pengetahuan yang paling canggih sepanjang zaman ada dan tersedia di tangan umat Islam, yaitu Al-Qur’an dan Hadist Nabi.  Dan patut untuk menjadi catatan umat Islam,  bahwa karya-karya  yang dihasilkan oleh ilmuwan Barat beberapa abad yang lalu sampai saat ini, hampir semuanya  adalah merupakan estapet ilmu pengetahuan  yang  telah dihasilkan oleh para pemikir Islam terdahulu, yang mereka jiplak atau mungkin juga mereka rampok saat terjadinya Perang Salib I dan II.

           Tokoh-tokoh Ilmuwan Muslim terkenal pada zaman kejayaan Islam tersebut antara lain Ibnu Al-Haitsam dengan nama asli Abu Ali Al-Hasan Ibnu Al-Haitsam  Al-Basri Al-Mishri (lahir 965 M) lebih dikenal dengan nama Alhazen, Avenetan, atau Avennethan adalah seorang pencetus Teory Ilmiah”.   Muhammad bin Musa Al-Khawarizmi  seorang tokoh Matematika penemu Angka Nol”, lalu lahirlah angka-angka lain seperti angka 1, 2, 3, -1, -2, -3 dan seterusnya.   Al-Battani dengan nama  lainnya Albategni atau Albategnius  pencetus istilah Sinus,  Kosinus, Tangen dan Kotangen dalam    Matematika, atau Azimut, Zenit dan Nadir dalam Ilmu Astronomi.   Ibnu Sina  (981 – 1037 M)  dikenal juga dengan nama Avecienna sebagai Bapak Ilmu Kedokteran.  Abu Bakar Muhammad Ibnu Zakariya Al-Razi (865 – 925 M) dan Jabir Hayyan Al-Kufi (738 – 813 M) sebagai penemu Ilmu Kimia Kontemporer.  Ibnu Majid yang menemukan “kompas modern”.   Ibnu Khaldun (lahir 27 Mei 1332 M) sebagai peletak pertama Ilmu Filsafat, Politik,  Sejarah dan Sosiologi. Ibnu Batutah (1304 – 1377 M) menemukan bidang Navigasi  dan menjelajah dunia dari Rusia hingga Samudera Pasai.  Ibnu Rusyd dikenal dengan nama lainnya Averroes (1126 – 1198 M) sebagai tokoh Filsafat, Sosiologi, Politik dan Sejarah.

            Saat ini umat Islam dalam merespon hasil karya ilmiah dunia Barat setidak-tidaknya dapat dibagi menjadi empat golongan, yakni:

1.      Ada golongan yang silau dan menelan mentah-mentah semua peradaban yang dihasilkan dunia Barat.

2.      Menolak secara membabi buta peradaban dunia Barat.

3.      Pilih-pilih sesuai dengan selera hawa nafsu.

4.      Menerima dan atau menolak secara kritis berdasarkan ilmu dan kebenaran.

            IQ  menurut Al-Qur’an adalah “gabungan pembelajaran atau pembacaan antara wahyu dengan hasil pembacaan pancaindra dan akal, keduanya tidak bertentangan, akan tetapi saling melengkapi”.  Berbeda dengan makna IQ diantara dua kondisidunia Barat dan Dunia Islam--seperti dijelaskan di atas.  Rasulullah mengajarkan kepada kita bahwa  Wahyu adalah untuk menguji kebenaran hasil penemuan ilmiah (hasil pembelajaran terhadap alam semesta)—melegitimasi kebenaran dan meluruskan kesalahan--, sedangkan ilmu pengetahuan  berguna untuk membuktikan bahwa wahyu itu benar dari Allah, karena wahyu (Kitab Suci)  adalah perkataan Allah,  sedangkan ilmu pengetahuan (alam semesta)  adalah perbuatan-Nya”.

Seperti kita ketahui bahwa wahyu pertama turun adalah Surah Al-‘Alaq.  Kata Iqra’ dalam surah ini  adalah kata seru (fi’il amr/interjection) dengan arti “Bacalah”. Kata ini berasal dari kata “qiraah” dengan arti: membaca (tilawah); penalaran, penelitian, riset, observasi; analisis (muthala’ah); mengumpulkan (al-jam’u), dll yang intinya bermuara pada pembelajaran (at-ta’lim), sehingga dalam surah ini kata belajar (at-ta’lim) di ulang sampai tiga kali.  

Dalam surah ini juga Allah tidak menyebutkan objek dari qiraah (bacaan), akan tetapi Imam Baidhawy dalam kitab tafsirnya  “Tafsir al-Baidhawy  (Darul Kutub Ilmiah,   1999)”,  mengisyaratkan bahwa yang dibaca itu adalah Al-Qur’an, namun tidak sedikit para ulama yang berpendapat bahwa objek dari qiraah tersebut bukan hanya Al-Qur’an, akan tetapi juga alam semesta,  terutama tentang manusia itu sendiri, sebagaimana terulang dua kali dalam surah ini.   Menurut Prof. Dr. Quraisy Shihab dalam Agus Nggermanto  (Pustaka Hidayah,  l977) dalam tafsirnya mengatakan perintah Iqra’ mencakup tela’ahan terhadap  alam raya, masyarakat, diri manusia  sendiri  serta bacaan tertulis baik kitab suci maupun bukan kitab suci.

           Selain  berbicara tentang “membaca”  sebagai sarana mengumpulkan ilmu, surah Al-Alaq’ juga membicarakan tentang “menulis”, hal ini terungkap dari adanya kata “Al-Qalm”  dalam surah ini, yang berarti “Pena” (alat tulis).  Membaca dan menulis adalah dua kata yang tidak dapat dipisahkan dari proses belajar dan mengajar.

            Dalam sebuah “atsar” (perkataan sahabat) :  “Ikatlah ilmu dengan tulisan (Qaidu al-‘ilmu bi al-kitabah)”  dan   perkataan :  Barang siapa yang mengamalkan apa yang telah ia pelajari, Allah akan mewariskan ilmu yang belum ia ketahui  (HR. Abu Nu’aim).

            Menurut  para ahli Psichologi seperti Bobbi  DePorter dan Mike Hernacki,   menyatakan bahwa aktivitas membaca sangat erat hubungannya dengan komunikasi verbal atau  tulisan,  bermanfaat  untuk menyeimbangkan otak kanan dan otak kiri”.   Dan menulis adalah salah satu sarana untuk menyembuhkan diri dari berbagai penyakit psichologis dan melenjitkan potensi diri. 

Jauh sebelumnya Allah telah membicarakan akitivitas menulis dan membaca kepada Nabi  Muhammad SAW melalui  Surah Al-‘Alaq.   Menurut Dave Meier menyatakan:  “Penelitian mengenai otak dan kaitannya dengan pembelajaran telah mengungkapkan fakta sangat mengejutkan.  Jika sesuatu dipelajari dengan sungguh-sungguh, struktur internal sistem syaraf  kimiawi (atau elektris) seseorangpun akan berubah.  Sesuatu yang baru tercipta dalam diri seseorang—jaringan syaraf baru,  jalur elektris baru, asosiasi baru, dan hubungan baru.”



Tidak ada komentar:

Posting Komentar