BAGAIMANA ANDA
MEMAMAMI
TENTANG KESADARAN
?
SEBUAH DIALOGIS
MENGGALI DAN MELENJITKAN POTENSI
DIRI
Bengkulu : Juni 2012.
Inspirator
: Nazamuddin (Anggota Senior
Satya Buana)
Sebelum kita lebih jauh membicarakan tentang kesadaran, barangkali kita
perlu mengetahui terlebih dahulu apakah sebenarnya “Kesadaran” itu ?
Dalam konteks pembicaraan tentang “kesadaran”, kita dihadapkan
dengan istilah “SADAR” dan “TERJAGA”. Istilah sadar terkait dengan istilah “Menyadari” dan “Memahami”
sesuatu yang terjadi pada dirinya atau
lingkungan sekitar dirinya. Sedangkan
kondisi “terjaga” adalah sekedar “melek”
atau “Tidak Tertidur atau Tidak Pingsan”. Bisa jadi, seseorang yang sedang terjaga
tidak menyadari dan tidak memahami segala sesuatu yang terjadi pada dirinya
atau lingkungan sekitarnya.
Misalnya, seseorang yang sedang
mabuk, orang yang sedang lupa, sedang melamun, sedang nanar, sesungguhnya dia terjaga, namun kondisi
kesadaran terhadap pemahaman diri dan lingkungannya menurun malah dapat hilang sama sekali. Dengan demikian, kita dapat memahami bahwa “kondisi
tersadar” dan “kondisi terjaga” adalah berbeda.
Di kalangan dunia medis dikenal derajat kesadaran seseorang dapat
diukur menurut skala “Glasgow (Glasgow Coma Scale)” yang bertujuan
untuk mengukur “Kesadaran (Conciousness)” seseorang berdasar reflek pada “mata,
ucapan, dan motorik atau gerakan”.
Seseorang dikatakan memiliki kesadaran penuh atau normal ketika reflek
matanya memiliki nilai 4, respons verbal atau ucapannya memperoleh nilai 5, dan respons motoriknya
bernilai 6. Kebalikannya, seseorang dikatakan telah “koma (mati
suri)” jika semua nilai reflek mata,
respons verbal, respons motorik adalah 1.
Untuk mengetahui respons kesadaran tersebut berikut ini disajikan tabel
pedoman menentukan tingkat kesadaran sebagai berikut.
Tabel Indikator Pengukuran
Derajat Kesadaran Glasgow Coma Scale
INDICATOR
KESADARAN
|
NILAI SCALA
|
REFLEK ATAU RESPONS
|
1
|
2
|
3
|
MATA
|
4
3
2
1
|
Membuka mata tanpa
stimulasi – dalam kondisi terjaga penuh
Bisa membuka mata jika dfistimulasi – ditepuk badannya
Bisa membuka mata hanya jika disakiti
Tidak bias membuka mata – no respons
|
VERBAL
|
5
4
3
2
1
|
Bisa menjawab sesuai dengan yang ditanyakan
Bisa menjawab dengan kalimat, tetapi
tidak jelas
Bisa menjawab dengan kata, tapi tidak
jelas
Hanya bisa menjawab dengan erangan
Diam – no respos
|
MOTORIK
|
5
4
3
2
1
|
Bisa bergerak sesuai dengan yang
diperintahkan
Bisa bergerak ketika diberi stimulasi
– melokalisir – menepis stimulasi yang menyakiti
Bisa bergerak ketika disakiti, tapi
tidak mampu menghindar, hanya mampu menekuk sendi
Bisa bergerak ketika disakiti, tapi
Cuma reflek gerak sederhana – meluruskan sendi
Diam –no respons
|
Glasgow telah mencoba
mengaitkan antara kesadaran seseorang dengan refleks fisik, jika fisiknya tidak merespons stimulasi
dengan baik, maka secara bertahap kesadaran orang tersebut dianggap
menurun, sampai pada suatu batas terendahnya
yaitu “koma” atau “mati suri”. Total nilai dari respons mata, verbal, dan
motorik diberi angka 15. Jika seseorang
mempunyai nilai respons komulatif (total) 15, hal ini menunjukkan seseorang
tersebut berada dalam kondisi “Sadar Penuh” atau “Terjaga Penuh”, namun jika nilai komulatifnya berada dibawah
angka 8, maka seseorang tersebut sudah dikategorikan berada dalam
kondisi “KOMA”. Namun orang yang
memiliki angka komulatif tertinggi dari tingkat kesadarannya dalam skala Glasgow, sebenarnya sekadar menggambarkan fungsi
kesadaran dalam arti “Terjaga”.
Dan hal itu hanya sebagian saja
gambaran tentang fungsi kesadaran
seseorang. Sebab, penilaian dengan indikator kesadaran “Glasgow”
belum mampu menggambarkan tentang
nilai-nilai luhur dari “kesadaran”
seseorang.
Sebagai contoh, apakah “Indikator
Pengukuran Derajat Kesadaran Glasgow Coma Scale” dapat mengukur bahwa orang
yang sedang “Terjaga” itu bahagia ataukah kecewa, sedang marah atau
senang, sedang tentram atau gelisah,
apakah sedang jatuh cinta atau sedang
dendam, apakah ia bisa membuat sebuah keputusan dengan bijaksana
atau secara curang dan lain sebagainya
? Jadi, teori yang telah ditemukan oleh “Glasgow” adalah sekadar
pengukuran nilai “Kuantitatif
Kesadaran”, sedang fungsi luhur yang ikut menentukan kesadaran bersifat “Kulitatif”. Biasanya pengukuran nilai luhur ini ditempuh
dengan metoda “Psikotest”.
Kesadaran yang bersifat kualitatif ini sangat terkait dengan fungsi
akal seseorang. Kualitas kesadaran yang
baik menunjukkan fungsi akal yang juga baik.
Sedangkan kualitas kesadaran yang jelek,
menggambarkan fungsi akal yang juga jelek. Dengan kata lain, secara umum fungsi
kesadaran sangat berimpit dengan fungsi akal.
Bahkan kita bisa mengatakan bahwa keduanya adalah identik sekali. Oleh sebab itu, kesadaran dan akal bisa menjadi parameter atas kualitas
jiwa seseorang.
Kualitas akal dan kesadaran yang baik, akan menggambarkan fungsi jiwa
yang baik pula, demikian juga sebaliknya bahwa kualitas akal dan kesadaran yang
jelek juga menggambakan fungsi jiwa yang jelek pula. Secara Ekstrim dapat kita sebut, jika akal
dan kesadaran seseorang rusak, maka jiwanya pun akan rusak, demikian pula sebaliknya.
Lalu, barangkali kita dapat memperoleh kesimpulan bahwa “Akal dan
Kesadaran” adalah fungsi utama dari Jiwa seseorang. Seseorang dikatakan ber-Jiwa sehat, jika akal
dan kesadarannya berfungsi secara sehat.
Dan Jiwa dikatakan tidak sehat atau tidak normal, jika akal dan
kesadaran seseorang sedang tidak sehat atau tidak normal.
Untuk memahaminya lebih mendetil,
kita akan membahasnya lebih lanjut.
Bahwa tingkat kualitas akal,
kesadaran dan jiwa seseorang tidaklah statis, melainkan
bertingkat-tingkat seiring dengan kualitas kesadarannya. Terdapat 4 tingkat kesadaran pada diri kita,
yang memberikan gambaran tentang kualitas Jiwa.
1. Kesadaran Inderawi
Perlu kita ingat
kembali bahwa yang dimaksud dengan “Kesadaran” bukan hanya sekedar melek atau terjaga, akan
tetapi “Kesadaran” itu adalah kemampuan seseorang “Memahami dan
Merasakan” suatu interaksi pada
dirinya atau dari lingkungannya.
Kesadaran inderawi adalah tingkat
kesadaran terendah dalam diri seseorang yang berfungsi ketika ia melakukan
interaksi tertentu dengan lingkungannya.
Karena kesadaran mewakili fungsi Jiwa,
maka tingkatan kesadaran inderawi juga menggambarkan kualitas Jiwa
yang terendah.
Seseorang dikatakan berada dalam kesadaran inderawinya, jika dia menyadari dan bisa memahami diri dan
lingkungan sekitarnya dengan bertumpu
pada fungsi panca inderanya. Seseorang akan bisa memahami apa-apa yang
dilihat dan disaksikannya, dan ia bisa mengerti segala sesuatu yang
didengarnya, ia bisa menikmati apa-apa yang dibaui oleh indera penciumannya,
yang dikecap oleh lidahnya, dan yang dirasakan oleh kulitnya.
Ketika seseorang berada dalam kondisi kesadaran inderawinya, maka ia
memperoleh nuansa-nuansa pemahaman terhadap segala yang sesuatu yang terjadi
sangat “Riil”. Sehingga,
kenyataan seperti ini seseorang cenderung dikatakan bersifat meterialistis,
karena seringkali kali kita terjebak karena terlalu bertumpu kepada kemampuan
inderawi secara berlebihan terhadap materi.
Kebanyakan dari kita hanya percaya kepada sesuatu realitas fisik, jika sesuatu itu dapat dijangkau oleh inderawi. Kita hanya bisa memahami sesuatu jika kita
telah menyaksikan dengan mata kepala sendiri,
atau telah mendengarnya langsung dari telinga kita, mencium dan meraba
dengan indera kita. Apabila sesuatu tidak terdeteksi oleh pancaindera, maka kita
berkesimpulan keberadaan sesuatu itu
tidak akan kita akui alias tidak ada.
Atau setidak-tidaknya, kita tidak merasa perlu untuk memikirkannya, dan kemudian kita cenderung mencuekkannya.
Orang yang demikian sebenarnya telah terjebak kedalam pola pikir
materialistik, bersifat kebendaan dan terkebelakang. Kenapa begitu ? Ya,
karena sistem kerja inderawi ternyata sangatlah terbatas. Kelihatannya, lucu juga kalau kita selalu
bergantung kepada suatu hal yang sangat terbatas kemampuannya dalam memahami
realitas. Tentu hasilnya juga akan
begitu terbatas dan bersifat
menipu. Semakin rendah kualitas
inderawi kita, maka semakin jelek juga
hasil pemahaman kita.
Contohnya, apa yang terjadi pada
organ orang yang buta warna. Kalau
seorang penderita buta warna bersikeras
bahwa realitas warna yang ada disekitarnya adalah seperti kepahamannya, berbeda dengan orang
normal, maka anda akan menertawakannya.
Sebab orang yang butawarna memang tidak paham bahwa alam sekitarnya
sebenarnya berwarna-warni. Jika orang
yang mengalami buta warna total, maka ia hanya bisa memahami warna di dunia ini
hanya dalam warna hitam-putih atau abu-abu saja. Sedangkan gradasi warna merah, jingga, kuning, sampai putih, bagi dia hanya terlihat
berupa warna abu-abu tua sampai abu-abu
muda, dan paling ekstrim adalah putih.
Atau sama sekali tidak berwarna atau hitam total.
Padahal bagi kita yang tidak buta warna, maka kita melihat bahwa dunia ini penuh
dengan warna-warni yang demikian indahnya.
Tidak seperti kefahaman lewat keterbatasan penglihatannya, sehingga orang yang buta warna terjebak pada
keterbatasannya sendiri. Dan orang buta
warna bersikeras, ngotot, bahwa alam sekitarnya adalah seperti yang dia
pahami.
Walaupun demikian, kalaulah kita mau introspeksi diri kita yang normal
penglihatanya, sesungguhnya penglihatan kita pun demikian terbatas, bahkan bagi orang yang memiliki penglihatan “paling
sempurna” sekalipun tetap saja punya
kelemahan. Sebab, sistem kerja
penglihatan kita ternyata demikian
menipu, tidak mampu menceritakan realitas sesungguhnya apa yang terjadi
disekitar kita. Dan penglihatan kita
hanya mampu menangkap sesuatu yang berisifat kasar dan yang mampu terjangkau
oleh indera mata. Bila kita mau
menyadarinya dengan sungguh-sunguh, semuanya
adalah permainan cahaya. Sebab, sebesar apapun benda yang ada
disekitar kita, bahkan melihat diri kita
sendiri tanpa bantuan cahaya kita tidak
kan mampu, betul nggak ? Kalau tidak
percaya, coba saja anda melihat
tubuh anda sendiri dalam
kegelapan total tanpa cahaya sama sekali,
pasti anda tidak akan mampu melihatnya,
jelaskan ! Otomatis.
Akan tetapi walaupun ada cahaya, anda juga belum tentu
mampu melihat. Kalau anda tidak
percaya coba anda lakukan melihat sesuatu benda dibalik cahaya yang amat sangat terang dan tajam, pasti mata anda tidak akan
mampu melihat benda tersebut walaupun ada cahaya. Nah
! ini suatu bukti lagi betapa
terbatasnya penglihatan kita. Apakah
anda masih mau membantah dan berdalih ?
dan ini kenyataan lho !
Sesungguhnya, antara kenyataan
dan apa yang kita lihat atau kita pahami terdapat dua hal yang saling
berbeda, sebab kita bukan melihat benda
sesungguhnya, kecuali sekedar bayang-bayang yang tertangkap oleh lensa mata
kita hasil rekayasa cahaya, kemudian diteruskan ke rentina mata, lalu
diteruskan ke otak sebagai pulsa-pulsa listrik semata. Artinya, pusat penglihatan yang berada di
dalam otak kita sebenarnya tidak pernah berinteraksi langsung dengan objek
benda atau materi yang kita lihat.
Sel-sel penglihatan di otak hanya berinteraksi dengan pulsa-pulsa listrik
yang berasal dari rentina. Jadi kalau
pulsa-pulsa listrik itu mengalami distorsi, maka pusat penglihatan itu bakal
salah dalam memahami penglihatan tersebut.
Jadi, kefahaman yang disimpulkan oleh sel penglihatan itu sangat
bergantung kepada kualitas jalur penglihatan mulai dari lensa
mata, rentina, saraf-saraf penglihatan sampai kepada sel-sel otak yang terkait
dengan proses melihat itu sendiri.
Perlu kita sadari, bahwa ketajaman lensa mata kita tidaklah
terlalu tinggi, misalnya, lensa mata
kita tidak mampu melihat benda-benda yang terlau kecil, seperti pori-pori benda
padat ; batu atau besi misalnya,
melihat virus, angin, bakteri, sel, molekul, atom, elektron, oksigen,
angin, udara, getaran gelombang, magnet,
energi listrik, dan apalagi partikel-partikel sub-atomik seperti proton, neutron dan quark (energi
vibrasi).
Sebaliknya lensa mata kita juga tidak mampu menangkap benda-benda yang
terlalu besar, seperti melihat
bumi, apa lagi melihat alam semesta,
siapapun manusianya pasti tidak mampu.
Otomatis. Jadi, penglihatan kita begitu terbatas sehingga
banyak hal yang tidak mampu kita pahami dengan hanya sekedar melihat. Jadi kita hanya bisa melihat yang
sedang-sedang saja.
Di lain pihak, justeru
penglihatan kita itu sesungguhnya telah menipu kita, dan tidak
mampu “menceritakan” kenyataan sesungguhnya yang terjadi. Misalnya, kita selalu menganggap ketika
melihat gunung berwarna biru berbentuk
bidang datar dan mulus di masing-masing sisinya, padahal kalau didekati ternyata berwarna
hijau dedaunan dan berlobang-lobang.
Ketika kita melihat ke angkasa
kita saksikan langit berwarna
biru seakan-akan ada batas, pada hal
langit tidak berbatas dan tidak berwarna biru.
Sewaktu kita melihat bintang-bintang di langit, terlihat begitu kecil
dan cahayanya berkelap kelip, bagaikan kunang-kunang, pada hal benda raksasa
tersebut luar biasa besarnya bahkan ada yang
besarnya 1.500 kali lebih besar
dari ukuran matahari yang selalu
kita lihat di siang hari, dan sinarnya
berpijar seperti matahari bahkan jauh lebih panas dari matahari kita. Cahaya bintang yang berekelap-kelip kita
lihat di malam hari, pasti menurut persangkaan anda adalah cahaya yang anda
lihat saat itu juga, padahal cahaya tersebut bisa jadi cahaya 100 tahun
; 1.000 tahun bahkan jutaan tahun
yang lalu, karena cahaya bintang yang sangat jauh itu---milyaran bahkan
triliunan mil jaraknya dari bumi kita---sampai kepada kita butuh waktu
perjalanan cahaya sampai ke penglihatan kita.
Aneh kan ? Kemudian, jika anda
pernah berjalan di padang pasir yang amat luas di siang hari, anda akan
menyaksikan fatamorgana padang pasir
dari kejauhan sekan-akan hamparan air, pada hal itu hanya sekedar uap air yang
terbentuk karena panas yang begitu tinggi menerpa padang pasir tersebut, sehingga menipu pandangan
kita. Aneh kan !
Begitu pula, indera yang lain
seperti penciuman, pendengaran, pengecap dan peraba, mereka tidak kalah dengan
tipuannya seperti mata kita.
Salah satu contoh lagi, jika anda yang sangat jarang berkunjung ke
rumah sakit, suatu ketika anda berkunjung kesana, maka anda akan merasakan bau
obat-obatan terasa sangat menyengat dan mengganggu penciuman atau kenyamanan anda. Namun, jika anda sudah berhari-hari apa lagi
bekerja di lingkungan rumah sakit, kontan saja penciuman anda berubah alias
anda biasa-biasa saja ketika membaui obat-obatan dan anda tidak merasa lagi bau
obat yang menyengat tersebut. Kenapa
bisa begitu ? Ya,
karena kepekaaan penciuman anda sudah berubah atau menurun dan beradaptasi alias berkompromi dengan
lingkungan tersebut. Kondisi seperti
sebenarnya dikatakan penciuman anda telah menipu kefahaman anda terhadap aroma
obat dirumah sakit, pada hal bau obat
yang menyengat tersebut tidak berubah dan begitulah adanya. Hanya sensitivitas penciuman anda saja yang berubah. Demikian pula kulit anda sebagai indra perasa
tidak kalah pula dengan tipuannya.
Contoh lain, bila anda
berulang-ulang kali membiasakan
mengosok-gosok tangan anda pada benda
kasar, dan ketika anda meraba permukaan benda yang halus maka anda tidak merasa
kehalusan benda tersebut, karena kepekaan anda menjadi berkurang. Jika anda mencelupkan tangan anda kedalam air
yang diberikan bongkahan es dalam
beberapa waktu, kemudian anda ganti
mencelupkan tangan anda kedalam air yang agak hangat, seakan-akan anda merasa air
tersebut lebih panas dari biasanya.
Kenapa kondisi yang demikian terjadi
? Ya, sekali lagi karena kulit
anda telah melakukan adaptasi dan berkompromi terhadap lingkungan
tersebut. Jadi, seakan-akan indra-indra
anda bersifat “plin-plan dan suka menipu” diri anda sendiri. Oleh karena itu terlalu percaya kepada
kemampuan panca indera dapat menyebabkan kekeliruan kefahaman kita terhadap
sebuah kenyataan yang sesungguhnya.
Oleh karena itu, kesadaran atau kefahaman anda yang dibentuk hanya
bersandarkan pada panca indera bakal menjebak kita kedalam kekeliruan yang
sangat mendasar. Kenyataan
mengatakan, panca indera saja tidak
cukup digunakan sebagai acuan untuk memahami realitas dari sebuah kebenaran
yang kita saksikan dalam keseharian hidup ini.
Sebab, ternyata realitas yang
terbentang di lingkungan kehidupan kita ternyata berbeda dengan yang tertangkap oleh mata,
telinga, kulit, hidung bahkan seluruh
panca indera kita.
Dengan demikian, ternyata Kesadaran Inderawi adalah kesadaran yang
paling rendah tingkatannya dan paling mudah tertipu maupun menipu kita sendiri. Hanya anak-anak yang masih kecil saja yang
bertumpu sepenuhnya kepada pemahaman panca inderanya untuk membangun kefahaman
terhadap realitas di sekitarnya. Orang
yang lebih dewasa pasti akan bertumpu pada kesadaran yang lebih tinggi dari
sekedar kesadaran inderawinya sesuai dengan perkembangan tingkat wawasan
lingkungan yang dihadapinya.
2. Kesadaran Rasional atau
Ilmiah
Bagi seseorang yang memang telah memiliki banyak pengalaman dalam
mengarungi kehidupan ini atau dengan kata lain telah malang melintang dan
banyak makan asam garam kehidupan
ini akan berusaha memahami realitas kehidupan ini dengan melakukan eksploerasi
labih jauh, dari pada sekedar mengambil pelajaran dari pengalaman orang-orang
lain. Bahkan, akan menyimpulkan dari
berbagai penelitian yang terkait dengan masalah tersebut.
Khasanah pengalaman manusia dalam menghadapi persoalan hidupnya itulah
yang kemudian disebut sebagai “Ilmu Pengetahuan”. Ia dikembangkan berdasarkan rasionalitas
persoalan yang berkembang dengan
kebutuhan kehidupan manusia. Maka
dari itu, orang yang telah memahami realitas
kehidupannya, ia sebenarnya telah mencapai kesadaran tingkat kedua yang disebut
dengan “Kesadaran Rasional atau Kesadaran Ilmiah”.
Pada tingkat kesadaran seperti ini, kita tidak lagi
bergantung sepenuhnya kepada hasil pengamatan panca indera, melainkan
mencoba membandingkan dengan hasil-hasil pengamatan dengan cara lain, sebagai
contoh melalui penggunaan alat-alat bantu yang lebih canggih seperti teleskope,
komputer, radar, atau satelit. Atau
menggunakan perhitungan dan analisis-analisis matematis atau
metode perhitungan dari keilmuan lainnya. Sebagai hasilnya kita akan mendapatkan sebuah
kesimpulan yang lebih “valid atau shahih” dan lebih mendekati kenyataan
dibandingkan hanya sekadar menggunakan kemampuan panca indera.
Sebagai contoh, jika kita menggunakan mata ketika mengamati sebatang
logam, maka kita akan mengambil sebuah
kesimpulan bahwa sebatang logam
tersebut adalah benda padat dan masif tidak
berlubang-lubang serta tidak tembus pandang. Namun apabila kita menggunakan sinar X atau
miskrskope elektron, ketika kita
mengamati sebatang logam kita akan menyaksikan sesuatu yang berbeda, bahwa sebatang
logam tersebut ternyata bukanlah benda yang “terlalu padat” melainkan
sebuah benda yang memiliki pori-pori
atau lubang-lubang serta keropos.
Contoh lain, kita tidak akan
mampu melihat sebuah benjolan tumor yang bersarang diotak dalam tengkorak kepala
dengan mata telanjang, akan tetapi kita akan dapat menyaksikan dengan jelas
jika menggunakan alat bantu yang disebut dengan USG. Kefahaman kita tentang posisi dan besarnya
tumor otak tersebut dengan menggunakan
alat bantu canggih tersebut jauh lebih tinggi dibandingkan dengan hanya menggunakan mata telanjang atau
menggunakan sinar rontgen.
Satu lagi contoh lain, ketika
kita berusaha memahami tentang langit,
tentu saja pemahaman kita akan menjadi jauh lebih baik apabila kita
mempelajari melalui Ilmu Astronomi dengan
menggunakan alat bantu berupa
perhitungan matematis dan teleskope ruang angkasa, dibandingkan cara pengamatan
kita yang hanya menggunakan mata telanjang untuk memahami bintang-bintang dan benda ruang angkasa yang berjumlah
triliunan tersebut.
Jadi singkat kata, dengan menggunakan pemahaman “ilmiah dan
rasional”, kita akan memperoleh pemahaman yang lebih utuh
tentang alam semesta dan lingkungan hidup ini.
Tiba-tiba kita akan menyadari betapa canggih dan hebatnya tentang
kejadian alam semesta tempat kita hidup.
Dan disini kita telah memperoleh “Kesadaran
Rasional dan Kesadaran Ilmiah”
terhadap realitas yang terhampar di sekitar kita. Pada tingkat kesadaran Ilmiah atau Rasional
ini lah kita akan menyaksikan alam lingkungan kita hidup ini amat luar biasa
besar dan luasnya, dibandingkan dengan ketika kita hanya mengunakan kesadaran
inderawi kita. Kita melihat dunia ini
menjadi berbeda, bukan hanya seperti
yang kita alami sewaktu kita menggunakan inderawi. Banyak hal yang terjadi tadinya tidak
terdeteksi kini bermunculan. Kita telah
bisa melihat-mendengar-mencium, dan sekaligus merasakan dunia dengan
menggunakan “akal”. Inilah yang
telah Allah gambarkan dalam berbagai ayat-Nya, yang menceritakan hamba-hamba
yang memiliki Ilmu pengetahuan mendalam,
seperti dalam :
QS. Al-Ankabuut (29) ayat 43 :
“Dan
perumpamaan-perumpamaan ini Kami buatkan untuk manusia ;
dan tiada
yang memahaminya kecuali orang-orang yang berilmu”.
Qs. Ali Imran (3)
ayat 190-191 :
“Sesungguhnya
dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam
dan siang terdapat tanda-tanda bagi
orang-orang yang berakal ‘(yaitu) orang
-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam
keadaan berbaring dan mereka memikirkan tantang penciptaan langit dan bumi
(seraya
berkata) : ‘ Ya tuhan kami, tiadalah
Engkau menciptakan ini
dengan sia
–sia. Maha Suci Engkau, maka peliharalah
kami
dari siksa
neraka”.
QS. Al-Ankabuut (29) ayat 49 :
“Sebenarnya, Al-Qur’an itu adalah ayat-ayat yang nyata di
dalam dada
orang-orang
yang diberi Ilmu. Dan tidak ada yang
mengingkari ayat-ayat Kami kecuali orang-orang yang dzalim”.
3. Kesadaran Spiritual.
Kesadaran tingkat ke tiga adalah “Kesadaran Spiritual”. Pada kesadaran tingkat ini kita mulai
menggeser tumpuan pemahamannya, dari
kesadaran rasionalitas yang berada pada
kesadaran tingkat kedua, menjadi bertumpu pada kefahaman yang lebih mendalam. Kita mulai melihat adanya realitas tertentu
yang tidak teramati oleh ilmu
pengetahuan empirik melalui pendekatan kesadaran rasional. Ternyata ada realitas di balik batas-batas
keasadaran panca indera dan kemampuan kesadaran rasionalitas kita. Oleh karena itu, kita pun mulai menyadari
terdapat keterbatasan pemahaman empirik
tertentu yang menjadi landasan Ilmu pengetahuan, karena telah muncul realitas tertentu yang ternyata tidak mampu
diungkapkan, karena realitas itu berada diatas kesadaran
rasionalitas kita.
Realitas dibalik batas-batas kesadaran panca indera dan kemampuan
rasionalitas sebagai akibat adanya
keterbatasan pemahaman secara empirik
tertentu yang menjadi landasan ilmu pengetahuan, membuat kita mulai
menggeser keadaran rasionalitas mengarah kepada tumpuan terhadap “Rasa”. Jika kita mulai mengarah kepada rasa
kekaguman yang mendalam terhadap realitas yang dulu tidak pernah
diduganya, maka tiba-tiba kita “melihat” dan “merasakan”
sesuatu Yang Maha Perkasa berada dibalik realitas yang sedang
dieksploerasi. Dan kemudian kita merasakan sedang berhadapan dengan tembok pembantas yang sangat kokoh yang
akan membentur rasionalitas dan menghadang pemikiran empirik kita.
Kita mulai berhadapan dengan “Sebuah Kekuatan dan Kekuasaaan Yang
Maha Dahsyat”, yaitu sebuah kekuatan dan kekuasaan “Maha Mengatur dan
Mengendalikan Alam Semesta” dengan “Kecerdasan Yang Maha Hebat dan Luar
Biasa”.
Tiba-tiba, banyak hal yang
bermunculan tidak memenuhi “hukum rasionalitas” dan tidak bisa
dibuktikan mengikuti metode-metode empirik yang selama ini dikenal, apalagi
melalui hukum kesadaran inderawi.
Sebagai contoh, ketika kita mencoba memahami realitas alam semesta,
pada tingkat kesadaran pertama---Inderawi--manusia berusaha
memahami benda-benda langit seperti matahari, bulan, dan sejumlah meteor
yang jatuh ke Bumi hanya dengan kemampuan
inderawi mata atau telinganya saja.
Antara lain, melalui kesadaran inderawi,
pada zaman dahulu orang telah
bisa menentukan arah perjalanan dengan berpedoman dengan menggunakan “Rasi
Bintang” yang dikenalnya. Kemudian
ia tahu tentang arah utara, barat, selatan dan timur, berdasarkan posisi bintang-bintang itu. Manfaat lainnya, mereka bisa menentukan
pergerakan waktu dalam skala yang sederhana,
berdasarkan posisi matahari dan bulan yang terlihat dari bumi dan lain
sebagainya.
Ternyata kesadaran inderawi
seperti diatas malah telah
menjebak kefahaman kita dalam memahami kenyataan berdasarkan apa telah
disaksikan mata dan didengar oleh telinga.
Sebagai contoh, zaman dulu kebanyakan manusia menganggap matahari
mengelilingi bumi, sebagaimana bulan
mengelilingi bumi. Mengapa
demikian ? Ya, begitulah memang kelihatannya seperti itu
terlihat dari permukaan planet bumi.
Padahal, setelah ditemukannya
oleh para ahli Astronomi dengan menggunakan teropong angkasa beberapa abad yang
lalu, terbukti matahari tidak mengelilingi bumi, tapi sebaliknya bumilah yang
mengelilingi matahari.
Kefahaman dan kesadaran bahwa bumi mengelilingi matahari itulah yang
lebih mendekati kenyataan. Dan, untuk
memperoleh kefahaman yang lebih kuat bahwa bumi mengelilingi matahari, manusia
tidak bisa hanya mengandalkan pancainderanya, melainkan dengan menggunakan
berbagai pengamatan tidak langsung yang melibatkan berbagai rumus
matematika. Manusia telah melakukan
pemahamannya dengan menggunakan fungsi akal yang lebih tinggi, lewat analisa,
perhitungan, dan imajinasi yang lebih
bersifat abstrak.
Kalau saja kita menutup diri terhadap kenyataan ilmiah maupun ajaran
Islam yang dengan sangat terang menjelaskan hal tersebut, memang kita cenderung
percaya setiap hari kita jelas-jelas
menyaksikan bahwa matahari bergerak mengelilingi bumi, pagi hari terbit di
Timur dan senja hari terbenam di Barat.
Ternyata kedalaman akal justeru membantahnya, dan menyatakan bahwa
justeru bumi berputar mengelilingi matahari.
Dan hasilnya memang demikian !
Lalu, ketika kita mencoba memahami hamparan permukaan bumi, di zaman
nenek moyang kita dulu meyakini bahwa bumi ini datar. Sebab, memang begitulah yang tampak oleh mata
kita. Tetapi, setelah Columbus melalui
perjalanannya mengelilingi bumi menggunakan kapal laut telah membuktikan bahwa
bumi ini memang bulat, ternyata kepahaman tersebut langsung berubah, walaupun
masih ada bantahan dari kalangan tertentu.
Dan lama kelamaan kefahaman menyatakan
bumi ini tidaklah datar melainkan
bulat semakin kuat. Kenyataan seperti
ini tidak dapat dibantah lagi, terlebih
lagi saat ini manusia telah dapat mengelilingi bumi dengan pesawat terbang dan
memantau dan memotret bumi dengan menggunakan satelit. Ternyata bumi memang bulat adanya, yang
sedang mengambang dan melesat diruang angkasa tanpa tali penambat bersama
benda-benda langit lainnya.
Sekali lagi manusia telah dihadapkan pada dua pemahaman yang sangat
bertolak belakang, ketika menggunakan tingkat kefahaman dan kesadaran yang
berbeda pula. Yang pertama menggunakan
tingkat kesadaran inderawi yaitu mata atau telinga, dan yang kedua menggunakan
tingkat kesadaran rasio secara empirik merupakan tingkat kesadaran yang lebih
tinggi dan hasilnya sangat radikal dan berbeda.
Dan kenyataan ini sekaligus membuktikan bahwa penggunaan rasio jauh
lebih unggul dibandingkan dengan kefahaman inderawi yang demikian
terbatas. Ada potensi “imajinasi’
dan “analisa” yang tidak dimiliki
oleh kesadaran tingkat pertama. Dengan
potensi imajinasi serta analisa itulah manusia memiliki “mata imajiner’
yang memiliki ketajaman dan sudut pandang yang lebih luas ketimbang mata
telanjang.
Lalu kita coba lanjutkan masuk kedalam kesadaran yang lebih tinggi,
yaitu “Kesadaran Spiritual” yang akan memberikan hasil kefahaman yang
lebih hebat dalam kita memahami kenyataan di alam semesta ini. Dalam hal mengamati alam semesta, manusia
yang menggunakan “Kesadaran Spiritual” bakal menemukan rahasia besar
yang selama ini tidak terlihat oleh orang-orang yang sekadar menggunakan “mata
imajinernya”. “Kesadaran rasional”
atau kita kenal juga dengan “Kesadaran Imajiner” sangat bermanfaat
melihat realitas yang bersifat fisik,
dalam skala yang lebih luas, yang
berada di luar jangkauan panca indera biasa.
Dengan “Kesadaran Spiritual” maka secara tiba-tiba seseorang
dapat menyaksikan atau melihat sesuatu yang berada dibalik
penglihatan matanya.
Namun, mata imajiner memiliki keterbatasan ketika digunakan untuk
menangkap “Makna” yang tersimpan
di dalamnya. Makna yang terkandung di
dalam pesan penciptaan, menjurus kepada adanya “Dzat yang Tiada Terkira”,
yang menampilkan “Kecerdasan Maha
Luar Biasa”. Dalam konteks
pemahaman alam semesta, kita telah melihat bahwa segala yang tercipta itu tidak
ada yang bersifat kebetulan atau terjadi dengan sendirinya, melainkan ada yang
menciptakannya dengan sengaja, melalui
sebuah rancangan yang Maha Sempurna.
Dalam sejarah Ilmu Pengetahuan mutahir, dua aliran “Kesadaran”
tersebut yang telah melakukan pertarungan panjang untuk memahami realitas. Kelompok pertama yang mewakili ilmuwan
materialis, sedangkan kelompok kedua
diwakili oleh ilmuwan-ilmuwan agama.
Kelompok pertama berpendapat bahwa alam semesta yang demikian dahsyat
dan luas tak berbatas ini telah
terbentuk dengan sendirinya atau terjadi bersifat kebetulan, tanpa adanya
keterlibatan Tuhan sebagai Sang
Pencipta. Kelompok ini dikenal dengan sebutan “Kelompok
Materialistis”, dengan menggunakan “Mata Imajinernya” mencoba
memahami alam semesta hanya dengan hukum sebab-akibat (Kausalitas). Dan mereka hanya memperoleh “Kenyataan”
tentang struktur alam semesta yang tertata dengan kesimbangan sempurna. Sedangkan kelompok ke dua, justeru “melihat”
adanya “Kecerdasan Maha Super” yang
terlibat secara aktif dalam munculnya segala realitas yang mempersona. Kelompok ini menggunakan “Mata
Spiritualnya” untuk memahami kenyataan alam semesta, selain mereka memahami
betapa sempurnanya penciptaan struktur alam semesta ini, mereka juga dapat merasakan hebatnya “Kecerdasan”
yang telah menciptakan dan sekaligus mengendalikan alam semesta yang demikian
luas dalam sebuah tatanan keseimbangan yang Maha Sempurna tiada cacat
sedikitpun.
Kemudian Allah telah menceritakan dalam firman-Nya melalui Al-Qur’an tentang seluruh penciptaan alam semesta dan
tentang diri manusia itu sendiri yang telah dibangun berdasarkan keseimbangan
yang sempurna. Coba kita renungi firman
Allah sebagai berikut:
QS. Al-Mulk
(67) ayat 3 :
“Yang telah
menciptakan tujuh langit berlapis-lapis, kamu sekali-kali tidak melihat pada
ciptaan Tuhan Yang Maha Pemurah sesuatu yang tidak seimbang. Maka lihatlah berulang-ulang adakah kamu
lihat
sesuatu yang tidak seimbang ?”
QS. Al-Infithaar (82) ayat 7 :
“Yang telah
menciptakan kamu lalu menyempurnakan kejadianmu
dan menjadikan (susunan tubuh)
mu seimbang”.
Terdapat dua perbedaan yang sangat menyolok terhadap pengetahuan dan
kesadaran yang diperoleh oleh kedua
kelompok tersebut diatas. Padahal,
mereka sama-sama ingin memahami kenyataan yang sama juga. Akan tetapi, ternyata “kenyataan” yang
mereka yakini berbeda. Dan perdebatan
demi perdebatan tersebut dari tahun ke
tahun berlangsung sengit bahkan sampai berpuluh tahun terakhir ini.
Kelompok yang menamakan dirinya “Materialistis” bersikukuh
dengan pendapat mereka bahwa alam semesta ini terjadi dengan sendirinya secara
evolutif. Berproses secara kebetulan
membentuk kehidupan. Alam memang
memiliki kecenderungan untuk berproses seperti yang kita lihat sekarang dalam
keseimbangan yang azali.
Pada hakekadnya, mereka tidak
mau dan tidak bersedia mengakui adanya “Sesuatu” dibalik sistem atau
mekanisme yang begitu “Aneh dan Maha Cerdas” itu. Bahwa semua proses berjalan demikian teratur
dan seimbang dengan tujuan yang sama yaitu membentuk dan mefasilitasi keberlangsungan kehidupan.
“Mata
Imajiner atau Kesadaran Rasional” ternyata tidak sanggup melihat semua
itu. Ia hanya mampu menangkap hal-hal
yang bersifat materialistik belaka.
Mengapa demikian. Sebab,
sesungguhnya, “Mata Imajiner atau Kesadaran Rasional” hanya sekedar perpanjangan fungsi dari mata
kepala, yang dilengkapi dengan analisa-nalisa empiris. Dilengkapi dengan bebagai peralatan
pembantu. Namun, substansinya masih sama
bahwa ia tetap melihat dengan mata fisiknya.
Maka, tentu saja, ia hanya mampu
menangkap hal-hal yang bersifat fisik
juga.
Padahal, makna yang terkandung di balik realitas tersebut bersifat non
fisik. Yakni, sebuah kefahaman yang sangat abstrak dan sangat cenderung dekat kepada “Rasa”. Dan wilayah pantauan ini adalah objek dari indera ke enam yang
terletak di “Hati (Qolbu)”.
Sebagaimana firman Allah SWT dalam:
QS. An-Nahl
(16) ayat 12 :
“Dan Dia
menundukkan malam dan siang, matahari
dan bulan untuk mu. Dan bintang-bintang
itu ditundukkan (untukmu) dengan
perintah-Nya. Sesungguhnya pada yang
demnikian itu benar-benar ada tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi kaum yang memahami (nya)----
(Kaum yang
berakal ; berilmu)”
QS. Al-Hajj (22)
ayat 46 :
“Maka
apakah mereka tidak berjalan di muka
bumi, lalu mereka
mempunyai
hati yang dengan itu mereka dapat memahami atau
mempunyai
telinga yang dengan itu mereka dapat mendengar ?
Karena
sesungguhnya bukanlah mata itu yang buta,
tetapi yang
buta, ialah hati yang di dalam dada”
QS. Al-Ankabut (28)
ayat 63 :
“Dan sesungguhnya jika kamu
menyanyakan kepada mereka : ‘Siapakah
yang menurunkan air dari langit lalu menghidupkan dengan air itu bumi sesudah
matinya ?’ Tentu mereka akan menjawab : ‘Allah’
katakanlah : ‘Segala puji bagi Allah’, tetapi kebanyakan mereka
tidak
memahami (nya)”.
Jadi pada tingkat kesadaran yang lebih tinggi manusia hanya bisa
memperoleh pemahaman makna itu ketika ia
menggunakan hatinya sebagai radar atau sensor.
Bukan lagi mata atau telinga fisik.
Berulangkali Allah telah menyampaikan dalam firman-Nya, bahwa untuk
memahami tentang makna haruslah menggunakan hati, yang berada di dalam dada. Pada kasus tertentu bukanlah mata di kepala
yang buta akan tetapi mata hatinya lah yang buta.
Inilah yang dikatakan tingkat “Kesadaran Spiritual”, yaitu
sebuah kesadaran yang dibangun berdasarkan penglihatan matahati atau mata
spiritual. Orang yang menggunakan mata
hatinya bakal dapat menyaksikan Allah di balik segala kenyataan fisik yang
dilihatnya. Atau dengan kalimat lain dikatakan, ia telah dapat merasakan kehadiran
Allah di seluruh benda dan kejadian yang berinterkasi dengannya.
Ketajaman “Mata Hati” atau dengan kata lain “Kesadaran
Spiritual” ini semakin sempurna jika seseorang mencapainya secara bertahap,
dimulai dari mengasah ketajaman “Kesadaran Inderawi”, “Kesadaran Rasional”
dan sampai kepada “Kesadaran
Spirirtual”. Sebab munculnya kesadaran pada tingkat yang lebih
tinggi itu biasanya selalu dipicu oleh
memuncaknya tingkat Kesadaran yang lebih rendah. Sebagai contoh, munculnya Kesadaran Rasional adalah ketika
pemahaman inderawi sudah mentok, tidak
mampu lagi memahami sesuatu. Ketika,
kemampuan lima indera sudah tidak mampu lagi misalnya mengungkap apa yang
terjadi di pusat matahari, maka disitulah terjadi stimulasi terhadap Kesadaran
Rasional untuk berkembang. Maka, manusia
lantas menggunakan potensi rasionalitasnya untuk mengungkapkan rahasia yang ada
dipusat matahari tersebut. Ternyata
dengan menggunakan tingkat kesadaran rasional, maka terungkaplah bahwa ternyata
dipusat matahari terdapat peroses pembangkitan energi panas yang luar biasa dahsyatnya, disebut
sebagai reaksi Termonuklir.
Demikian pula halnya, ketika mata fisik sudah tidak mampu lagi
mengungkap sebab-musabab terjadinya kesimbangan yang mengikat dan menggerakkan
benda-benda raksasa di alam semesta, maka Kesadaran Rasional terpicu untuk
mengambil alih peran Kesadaran Inderawi
yang terbatas tersebut. Kemudian
munculah kesimpulan-kesimpulan ilmiah yang menjelaskan terjadinya keseimbangan
gravitasi diseluruh penjuru langit. Lantas pada kondisi ini kita telah berada
dalam kondisi Kesadaran Rasional tentang
sebuah kenyataan.
Begitu pula halnya dengan
Tingkat Kesadaran Spiritual, ia baru akan muncul setelah terpicu oleh
ketidakmampuan Kesadaran Rasional dalam memahami dan mengungkapkan kenyataan
yang terhampar dihadapannya. Selama
seseorang masih merasa mampu
memahami segala kenyataan yang ada
dihadapannnya dengan tingkat Kesadaran yang lebih rendah, maka ia akan selalu menyombongkan diri
tentang segala kemampuan yang telah ia raih.
Dan pada saat yang bersamaan pula ia tidak akan pernah mencoba beranjak
dari tingkat kesadaran yang lebih rendah itu menuju ketingkat kesadaran yang
lebih tinggi, karena ia telah merasa
cukup puas dengan kemampuannya pada tingkat kesadaran rendah tersebut.
Ada kemungkinan ia akan apatis terhadap tingkat kesadaran yang lebih
tinggi atau malah menafikan segala sesuatu kenyataan yang ada di balik Tingkat
Kesadaran yang lebih tinggi.
Tingkat perkembangan ilmu pengetahuan empiris yang semakin memuncak pada abad-abad terakhir
ini, sebenarnya telah menstimulasi munculnya kebutuhan akan Tingkat Kesadaran
lebih tinggi, yaitu tingkat Kesadaran Spiritual. Karena kemampuan kesadaran imajiner manusia
telah mulai menemukan jalan buntu atau telah sampai pada batasnya dalam
memahami sesuatu yang tersembunyi dibalik kemampuan mata imajiner. Sebab, di balik batas kesadaran imajiner
tersebut, manusia mulai merasa tidak tahu apa-apa. Namun,
dibalik kesadaran imajiner tersebut secara samar-samar manusia mulai
menyaksikan atau merasakan ada sesuatu rahasia yang maha menakjubkan
tersembunyi. Yaitu sebuah rahasia besar
yang “Maha Menakutkan”, yang berada diluar jangkauan kemampuan
manusia.
Perkembangan Ilmu Pengetahuan yang bergerak ke segala arah kehidupan
telah menemukan sebuah kenyataan tentang ketidakterbatasan yang “mengerikan”. Baik segala sesuatu yang terkait dengan
pemahaman alam makro, alam mikro, maupun yang terkait dengan proses-proses
kehidupan lainnya. Pada skala
makrokosmos, misalnya, manusia kini dihadapkan pada “Sebuah Kebesaran yang
Misterius” yang tiada bandingannya.
Masa lalu, manusia hanya mengenal
dunia sekitar sebagai lingkungannya,
dimana ia menjalani proses kehidupan dalam koloninya. Mereka menganggap dunianya hanya sebesar wilayah
tempat tinggal dimana mereka menjalani kehidupan tersebut.
Seriring dengan perjalanan waktu,
manusia lantas mulai memahami wilayah-wilayah lainnya, pulau,
benua, samudera yang ditempatinya atau ditempati suku bangsa
lainnya. Semakin luas wilayah jelajah manusia, mereka mulai memperoleh pemahaman tentang
bumi ini adalah bulat berbentuk ellips.
Pada akhirnya, manusia mulai
memperoleh kefahaman bahwa bumi adalah hanya sebuah planet kecil dari sejumlah
triliunan benda-benda langit lainnya yang terhampar bertebaran,
mengambang dan melayang-layang tanpa tali pengikat
mengelilingi orbit masing-masing yang
mengisi penjuru jagat raya tanpa batas.
Kemudian, manusia mulai
memperoleh kesadaran lain tentang keberadaannya yang demikian kecil di antara
hamparan padang pasir semesta raya.
Dimana bumi tempat ia berpijak ini hanyalah bagaikan sebutir
“debu”. Dan di atas sebutir debu itulah
ia bersama sejumlah 5 milyar manusia lainnya hidup dengan segala keangkuhan dan
kesombongannya.
Lalu manusia yang telah
tersentak dari mimpi atas segala kecongkakan,
keangkuhan dan kesombongannya
mulai merasa ngeri sendiri
membayangkan betapa raksasanya
jagat raya ini dibandingkan
dengan segala kesombongannya.
Seiring dengan itu manusia mulai
menyadari, bahwa saat ini baru diketahui
hanya bumi saja satu-satunya planet yang dihuni oleh
kehidupan. Selebihnya, belum ditemukan
tanda-tanda adanya kehidupan sebagaimana
bentuk kehidupan seperti di bumi.
Yah... kalau direnungkan 5 milyar manusia bersama makhluk hidup
lainnya, hidup dalam kesendirian di
antara milyaran benda-benda angkasa raya ini,
yang sampai saat ini belum
diketahui batasnya.
Seluruh ilmuan astronomi yang ada di muka bumi, saat ini sedang terpukau takjub memandang ke
langit luas dengan peralatan yang serba canggih, memandang penuh dengan kengerian dan sekaligus terkagum-kagum, betapa
luar biasanya maha karya
sang pencipta jagat raya tiada tandingannya. Manusia merasa ngeri, karena ia merasa dirinya begitu kecil tak berarti dibandingkan dengan maha besar
dan luasnya alam semesta raya yang jumlahnya triliunan
tersebut, dan bumi tempat ia hidup
hanyalah salah satu saja benda langit kecil
yang ikut menari-nari dan
berterbangan di angkasa raya bersama benda-benda langit raksasa lainnya. Didalam benak manusia mulai mencoba
mengilustrasikan, jika salah satu saja
benda raksasa tersebut keluar dari garis orbitnya, kemudian
melesat dalam sebuah kecepatan sangat tinggi menabrak planet bumi tempat ia hidup, akibatnya amat
dahsyat, bumi akan meledak dan hancur berkeping-keping---jutaan lebih dahsyat
dari ledakan bom nuklir ciptaan manusia---,
maka tamatlah seluruh kehidupan 5 milyar manusia bersama makhluk hidup
lainnya yang ada dibumi ini.
Subhanallah.
Sebaliknya, manusia juga merasa
kagum menyaksikan pemandangan yang tiada taranya. Triliunan bintang (matarhari) bertebaran
di angkasa raya bagaikan pelita kecil yang berkelap-kelip bertebaran dan
di tata dengan demikian indahnya, di dalam kegelapan ruang angkasa. Disela-sela benda-benda raksasa, benda-benda angkasa lainya melesat dengan
kecepatan tinggi mengintari garis orbitnya masing-masing, yang selalu terjaga dan patuh akan aturan
hukum alam yang telah ditetapkan kepadanya selama milyaran tahun, jauh diluar batas peradaban manusia yang
hanya berumur cuma ribuan tahun saja.
Hati kita terasa tercekat setelah menyadari kenyataan ini.
Tiba-tiba manusia merasa tidak berdaya dan merasa tidak ada
apa-apanya, ketika berhadapan dengan
kedahsyatan alam semesta ini. Kita ini
kecil, bahkan jauh lebih kecil dari
yang biasa kita bayangkan selama ini .
Disinilah manusia mulai
terbentur pada suatu kenyataan, yang mencampakkan dirinya pada
ketidak-berdayaan Rasionalitasnya.
Manusia tidak mampu menjawab, dimana batas alam semesta raya ini,
dan jika memang ada batas, lalu kenyataan apa yang berada di luar batas
itu ?
Ia juga tidak bisa menjawab pertanyaan, bagaimanakah triliunan benda-benda langit itu semua bergerak,
melesat dan melayang tanpa mesin dan bahan bakar dengan kecepatan
spektakuler, bisa tertata terus bergerak
secara kontinyu dengan demikian rapinya, teratur dan indah dalam keseimbangan
yang maha sempurna.
Manusia juga tidak bisa menjawab pertanyaan, kapankah secara pasti alam
semesta ini terlahir, dengan cara
bagaimana, berasal dari mana, serta apa
pula yang akan terjadi nanti di
kemudian hari ? Dan masih begitu banyak
pertanyaan demi pertanyaan yang tidak bisa terjawab dengan memuaskan, sekalipun
oleh manusia yang paling geniuspun yang
ada di muka bumi ini. Semua ini
membuat pandangan kita menjadi nanar,
akal dan rasio kita menjadi lelah. Meskipun kita telah mencoba berulang-ulang
memahaminya, tetap saja kita terbentur.
Sebab kita hanya menggunakan kemampuan
kesadaran imajiner yang
terbatas tersebut. Hal ini telah
disindir Allah dalan Firman-Nya :
QS. Al-Mulk (67)
ayat : 3 – 4.
“Yang telah menciptakan tujuh langit berlapis-lapis, kamu sekali-kali tidak
melihat
pada ciptaan Tuhan Yang Maha Pemurah sesuatu yang
tidak
seimbang. Maka lihatlah berulang-ulang,
adakah
kamu lihat
sesuatu yang tidak seimbang ?”.
“Kemudian
pandanglah sekali lagi niscaya penglihatanmu akan kembali
kepadamu dengan
tidak menemukan sesuatu cacat
dan
penglihatanmu itupun dalam keadaan payah”.
Jika mata imajiner telah mencapai batas keamampuannya, maka untuk
memahami sebuah realitas yang tersembunyi dibalik kemampuan mata imajiner, sudah semestinya
kita harus menggunakan kemampuan tingkat Kesadaran Spiritual yang lebih mengandalkan hati (qalbu). Hal ini telah di sampaikan oleh Allah dalam ayat-ayat-Nya
sebagai berikut:
QS. Al-Hajj (22) ayat : 46.
“maka
apakah mereka tidak berjalan di muka bumi, lalu mereka mempunyai hati yang
dengan itu mereka dapat memahami atau mempunyai telinga yang dengan itu mereka
dapat mendengar ? Karena sesungguhnya bukanlah mata itu yang buta, tetapi yang
buta, ialah hati yang ada didalam dada”.
QS. Al-A’raaf (7) ayat : 54.
”Sesungguynya
Tuhan kamu ialah Allah yang telah menciptakan langit dan bumi
dalam
enam masa, lalu Dia bersemayam di atas
”Arsy. Dia menutupkan malam
kepada
siang yang mengikutinya dengan cepat,
dan (diciptakan-Nya pula)
matahari,
bulan dan bintang-bintang (masing-masing) tunduk kepada
perintah-Nya. Ingatlah, meciptakan dan memerintah
hanyalah hak Allah.
Maha Suci
Allah, Tuhan Semesta Alam”.
QS. An-Nahl ayat : 12.
”Dan Dia menundukkan malam dan siang, matahari dan bulan
untukmu.
Dan bintang-bintang itu ditundukkan dengan
perintah-Nya. Sesungguhnya pada yang
demikian itu benar-benar ada tanda-tanda (kekuasaan/kebesaran Allah) bagi kaum
yang memahami (berfikir/berilmu pengetahuan)”.
QS. Al-Baqarah (2) ayat : 255.
”Allah, tidak ada
Tuhan (yang berhak disembah) melainkan
Dia Yang maha Hidup kekal lagi terus menerus mengurus (makhluk-Nya); tidak mengantuk dan tidak tidur. Kepunyaan-Nya apa yang dilangit dan di
bumi. Tiada yang dapat memberi syafa’at
di sisi Allah tanpa izin-nya. Allah mengetahui apa-apa yang dihadapan
mereka
dan di belakang mereka,
dan mereka tidak mengetahui apa-apa dari ilmu
Allah melainkan apa yang dikehendaki-Nya. Kursi Allah meliputi langit
dan bumi. Dan
Allah tidak merasa berat memelihara keduanya,
dan Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar”.
QS. Al-An’aam (6)
ayat : 75.
”Dan
demikianlah Kami memperlihatkan kepada
Ibrahim tanda-tanda
keagungan
(Kami yang terdapat) di langit dan di bumi, dan (kami memperlihatkannya)
agar
Ibrahim itu termasuk orang-orang yang yakin”.
QS. Al-Jaatsiyah (45) ayat : 37.
”Dan
bagi-Nyalah keagungan di langit dan di bumi,
Dialah
Yang Maha
Perkasa lagi Maha Bijaksana”.
QS. Al-Hasyr (59)
ayat : 23.
”Dialah
Allah Yang tiada Tuhan (yang berhak
disembah) selain Dia, Raja,
Yang Maha Suci,
Yang Maha Sejahtera, Yang
Menganuriakan keamanan,
Yang Maha
Memelihara, Yang Maha Perkasa, Yang Maha Kuasa,
Yang
Memiliki segala keagungan, Maha Suci,
Allah dari
apa yang mereka persekutukan”.
QS. Al-Ankabuut (29)
ayat : 63.
”Dan
sesungguhnya jika kamu menanyakan kepada
mereka : ’Siapakah yang menurunkan air dari langit lalu
menghidupkan dengan air itu bumi sesudah matinya ?’ Tentu mereka akan menjawab: ’Allah’. Katakanlah:
’Segala puji bagi Allah’, tetapi kebanyakan mereka tidak memahami (nya)”.
Semua ayat-ayat di atas memberikan gambaran kepada kita bahwa alam
semesta ini bukanlah terjadi dengan sendirinya sebagaimana anggapan dari para
ilmuwan beraliran materialistis atau
atheis, melainkan ada penciptanya yaitu Allah Sang Maha Pencipta. Sebenarnya setiap manusia yang mau ”Jujur melalui Hati Nuraninya”,
pasti bisa merasakan dan mengaku dengan sepenuh hati bahwa tidak mungkin alam
semesta ini tercipta dengan sendirinya. Kalau mereka ditanya : siapa
pencipta alam semsta dengan segala isinya ?
Mereka pasti akan menmjawaba "Allah".
Namun, ternyata kebanyakan dari mereka malah mengingkarinya, dengan berbagai alasan, dalih, teori ilmu
pengetahuan dan malah kesombongannya.
Jadi sangat nyatalah disini bahwa tingkat Kesadaran Spiritual memang
sangat berkaitan erat dengan pengakuan hati nurani dan kejujuran sejati. Bukan hanya sekedar atas kepintaran atau
kecerdasan intlektual dan emosional belaka. Hati yang jujur adalah hati yang mencari kebenaran sejati, itulah kunci utamanya.
Sepintar apapun seseorang, kalau hatinya ”buta”, maka ia tidak akan mampu memahami bahwa alam semesta ini diciptakan oleh Sang Maha Pencipta, yaitu Allah. Sebab, mereka akan selalu mencari-cari alasan untuk menyatakan bahwa alam semesta ini ada dengan sendirinya. Pada hal sudah demikian nyata dan jelas dihadapan mereka terbentang kenyataan adanya tanda-tanda penciptaan itu, mereka pasti tahu itu. Tapi, sayang mereka tetap berpaling juga darinya. Hal ini persis seperti apa yang dikatakan oleh Allah dalam firman-Nya.
Namun kemudian, manusia mulai kecele, ketika sejalan dengan perkembangan waktu ditemukan kenyataan bahwa ternyata atom masih bisa di bagi lagi menjadi inti atom dan elektron-elektron. Inti atom bagaikan matahari dalam tatasurya kita, sedangkan planet-planetnya adalah elektron-eklektron. Ternyata semua benda di dalam semesta ini tersusun dari inti atom dan elektron-elektron itu.
Sampai disini manusia sebenarnya mulai menyadari dan merasakan adanya sebuah misteri di balik inti atom tersebut. Timbul pertanyaan baru, benarkah inti atom ini tidak bisa dibagi-bagi lagi. Setelah ditemukannya energi nuklir pada abad ke 20, maka temuan ini sekaligus membuktikan ternyata inti atom pun masih bisa dipecah lagi menjadi partikel-partikel yang lebih kecil lagi disebut degan sub atomik, yaitu proton dan neutron.
Lebih jauh, kemudian diketahui bahwa neutron pun masih bisa di bagi menjadi proton dan elektron, dan seterusnya kemudian diketahui bahwa partikel-partikel sub atomik itu terdiri dari ”Pilinan Energi” yang disebut dengan ”Quark”.
Jadi sampai sekarang, para pakar atomik masih terbengong-bengong dengan kenyataan ini. Bahwa, ternyata benda di alam semesta ini masih bisa dibagi-bagi dalam ukuran yang tak terbatas kecilnya. Dan ketika dipecah-pecah lagi semakin kecil, tiba-tiba sifat bendanya menjadi hilang berubah menjadi energi.
Kenyataan ini mulai tampak pada elektron. ”Elektron” adalah salah satu jenis partikel yang memiliki dua sifat yang membingungkan. Kadang-kadang tampak sebagai materi dan di lain waktu tampak sebagai bola energi. Hal ini tentu saja sangat membingungkan, sebab materi dan energi adalah dua eksistensi yang berlawanan. Bagaimana mungkin ada sesuatu yang bisa memiliki sifat berlawanan sekali gus. Karena Materi adalah bersifat kuantitas, sedangkan Energi bersifat kualitas. Saking bingungnya para pakar fisika mengklasifikasikan elektron memiliki sifat kualitas dan kuantitas sekaligus, sehingga akhirnya para pakar menyimpulkan elektron memiliki ”sifat dualisme”.
Dari realitas tersebut, dalam skala mikrokosmos pun manusia mengalami kebingungan yang sangat substansial. Sehingga kemampuan mata imajiner dan Kesadaran rasionalnya telah membentur dinding tebal misteri yang tak mampu mereka tembus. Ternyata tiba-tiba ada suatu batas yang berada dibalik batas itu sendiri, yang mereka tidak mampu memahaminya. Dan terpaksa mereka mengakui adanya suatu kecerdasan yang mengatur semua partikel dan energi.
Dan pada saat itulah sebenarnya ”Kesadaran Rasional” telah kalah dan memicu munculnya kesadaran baru, yaitu ”Kesadaran Spiritual”. Seseorang yang paham dan mengerti akan mengakui bahwa di balik semua kenyataan ini ada suatu ”Aktor Yang Maha Akbar” yang telah mengatur segalanya. DIA adalah dzat yang ”Suprarasional”, DZAT yang hanya bisa dipahami dengan ”HATI”, bukan hanya sekedar ”Rasio”, akan tetapi dengan menggunakan segenap potensi akal secara sempurna. Coba kita simak ayat berikut.
Sepintar apapun seseorang, kalau hatinya ”buta”, maka ia tidak akan mampu memahami bahwa alam semesta ini diciptakan oleh Sang Maha Pencipta, yaitu Allah. Sebab, mereka akan selalu mencari-cari alasan untuk menyatakan bahwa alam semesta ini ada dengan sendirinya. Pada hal sudah demikian nyata dan jelas dihadapan mereka terbentang kenyataan adanya tanda-tanda penciptaan itu, mereka pasti tahu itu. Tapi, sayang mereka tetap berpaling juga darinya. Hal ini persis seperti apa yang dikatakan oleh Allah dalam firman-Nya.
QS. Yusuf (12) ayat :
105.
”Dan banyak sekali tanda-tanda (kekuasaan Allah) di
langit dan di bumi yang mereka lalu
lalang, sedang
mereka berpaling dari
padanya”.
Ternyata bukan hanya dalam skala makrokosmos tanda-tanda kebesaran Allah itu digelar, bahkan dalam skala mikrokosmos pun para ilmuwan menemukan batas yang tak kalah ”mengerikan dan sekaligus menakjubkan”. Dibalik kengerian dan kekaguman itu manusia yang menyebut dirinya pakar mulai merasa tidak memahami apa-apa alias menjadi merasa bukan lagi pakar.
Masa lalu manusia mengatakan bahwa benda di alam semesta ini tersusun oleh bagian terkecil yang disebut atom. Kata atom memang berarti ”sesuatu yang tidak bisa di bagi lagi”. Atom berasal dari kata ”atomos” dalam bahasa Yunani, yang berarti ”tidak bisa dibagi”.
Ternyata bukan hanya dalam skala makrokosmos tanda-tanda kebesaran Allah itu digelar, bahkan dalam skala mikrokosmos pun para ilmuwan menemukan batas yang tak kalah ”mengerikan dan sekaligus menakjubkan”. Dibalik kengerian dan kekaguman itu manusia yang menyebut dirinya pakar mulai merasa tidak memahami apa-apa alias menjadi merasa bukan lagi pakar.
Masa lalu manusia mengatakan bahwa benda di alam semesta ini tersusun oleh bagian terkecil yang disebut atom. Kata atom memang berarti ”sesuatu yang tidak bisa di bagi lagi”. Atom berasal dari kata ”atomos” dalam bahasa Yunani, yang berarti ”tidak bisa dibagi”.
Namun kemudian, manusia mulai kecele, ketika sejalan dengan perkembangan waktu ditemukan kenyataan bahwa ternyata atom masih bisa di bagi lagi menjadi inti atom dan elektron-elektron. Inti atom bagaikan matahari dalam tatasurya kita, sedangkan planet-planetnya adalah elektron-eklektron. Ternyata semua benda di dalam semesta ini tersusun dari inti atom dan elektron-elektron itu.
Sampai disini manusia sebenarnya mulai menyadari dan merasakan adanya sebuah misteri di balik inti atom tersebut. Timbul pertanyaan baru, benarkah inti atom ini tidak bisa dibagi-bagi lagi. Setelah ditemukannya energi nuklir pada abad ke 20, maka temuan ini sekaligus membuktikan ternyata inti atom pun masih bisa dipecah lagi menjadi partikel-partikel yang lebih kecil lagi disebut degan sub atomik, yaitu proton dan neutron.
Lebih jauh, kemudian diketahui bahwa neutron pun masih bisa di bagi menjadi proton dan elektron, dan seterusnya kemudian diketahui bahwa partikel-partikel sub atomik itu terdiri dari ”Pilinan Energi” yang disebut dengan ”Quark”.
Jadi sampai sekarang, para pakar atomik masih terbengong-bengong dengan kenyataan ini. Bahwa, ternyata benda di alam semesta ini masih bisa dibagi-bagi dalam ukuran yang tak terbatas kecilnya. Dan ketika dipecah-pecah lagi semakin kecil, tiba-tiba sifat bendanya menjadi hilang berubah menjadi energi.
Kenyataan ini mulai tampak pada elektron. ”Elektron” adalah salah satu jenis partikel yang memiliki dua sifat yang membingungkan. Kadang-kadang tampak sebagai materi dan di lain waktu tampak sebagai bola energi. Hal ini tentu saja sangat membingungkan, sebab materi dan energi adalah dua eksistensi yang berlawanan. Bagaimana mungkin ada sesuatu yang bisa memiliki sifat berlawanan sekali gus. Karena Materi adalah bersifat kuantitas, sedangkan Energi bersifat kualitas. Saking bingungnya para pakar fisika mengklasifikasikan elektron memiliki sifat kualitas dan kuantitas sekaligus, sehingga akhirnya para pakar menyimpulkan elektron memiliki ”sifat dualisme”.
Dari realitas tersebut, dalam skala mikrokosmos pun manusia mengalami kebingungan yang sangat substansial. Sehingga kemampuan mata imajiner dan Kesadaran rasionalnya telah membentur dinding tebal misteri yang tak mampu mereka tembus. Ternyata tiba-tiba ada suatu batas yang berada dibalik batas itu sendiri, yang mereka tidak mampu memahaminya. Dan terpaksa mereka mengakui adanya suatu kecerdasan yang mengatur semua partikel dan energi.
Dan pada saat itulah sebenarnya ”Kesadaran Rasional” telah kalah dan memicu munculnya kesadaran baru, yaitu ”Kesadaran Spiritual”. Seseorang yang paham dan mengerti akan mengakui bahwa di balik semua kenyataan ini ada suatu ”Aktor Yang Maha Akbar” yang telah mengatur segalanya. DIA adalah dzat yang ”Suprarasional”, DZAT yang hanya bisa dipahami dengan ”HATI”, bukan hanya sekedar ”Rasio”, akan tetapi dengan menggunakan segenap potensi akal secara sempurna. Coba kita simak ayat berikut.
QS. An-Nisaa’ (4) ayat : 5.
”Dan jangalah kamu serahkan kepada orang-orang yang belum
sempurna akalnya, harta (mereka yang ada dalam kekuasaanmu) yang dijadikan
Allah sebagai pokok kehidupan. Berilah
mereka belanja dan pakaian (dari hasil
harta itu) dan ucapkanlah kepada mereka kata-kata yang baik”.
QS. Qashash (28)
ayat : 14.
”Dan setelah Musa cukup umur dan sempurna akalnya, Kami berikan kepanya hikmah (kenabian) dan
pengetahuan. Dan demikianlah Kami memberikan balasan kepada
orang-orang yang berbuat baik”.
Demikianlah, ada akal yang belum
sempurna, dan ada pula akal yang telah mencapai kesempurnaanya. Akal yang sudah sempurna adalah akal yang
telah mampu menangkap hikmah, tidaklah
sama sebagaimana akal yang belum sempurna. Seperti disampaikan dalam ayat di atas, Nabi
Musa memperoleh hikmah dan pengetahuan setelah akalnya sempurna di
usia dewasa.
Akal yang sempurna adalah akal yang telah mampu merangkaikan seluruh
komponen akal yang berkaitan dengan panca inderanya (Kesadaran Inderawi), berhubungan dengan khasanah keilmuwan empirik (Kesadaran Rasional), dan juga tersambung dengan hati sebagai sensor kefahaman Spiritual (Kesadaran Spiritual). Kefahaman ”Hati” lebih bersifat ”Holistik”, dan didalamnya terkandung makna-makna : mengobservasi dengan panca indera (yandzurun), berfikir
secara rasional (yatafakkarun), dan memahami (yafqahun). Dan inilah yang dikatakan
menggunakan akal secara
sempurna (ya’qilun).
Keterbatasan rasio manusia kelihatan sekali ketika ia
mencoba mengobsevasi proses-proses kehidupan secara menyeluruh. Ketika
pertanyaan yang muncul, dari manakah munculnya kehidupan ? bagaimana proses kehidupan itu terjadi ? Sebelum dan sesudah kehidupan itu apa yang terjadi dan bagaimana selanjutnya ? dan seterusnya.
Berikut ini terdapat kisah sebuah pengembaraan manusia
mencoba mengungkap sebuah rahasia kehidupan abstrak. Sudah lama sekali manusia ingin melihat
nyawa atau ruh, seperti apa bentuknya,
dari mana datangnya, terbuat dari bahan apa, dan kemana perginya nanti ? Tapi sampai saat ini sepanjang
perjalanan hidup manusia, pertanyaan itu
belum terjawab secara pasti. Sampai-sampai
ada cerita tentang seorang penguasa dzolim yang mencoba mengurung hidup-hidup
seorang manusia dalam sebuah almari kaca sampai mati, hanya sekedar ingin melihat keluarnya nyawa
dari badan manusia. Kayaknya mau jadi pakar nyawa ngkali yaa sekali gus
dapat hadiah Nobel. Tapi, tetap saja
tidak berhasil juga melihat nyawa. Bisa
jadi suatu saat nanti ada saja orang iseng
yang mencoba menampung nyawa
seseorang ketika seseorang tersebut dalam sakratul maut, dengan kantong plastik di atas kepalanya,
dengan harapan dapat melihat nyawa keluar atau memotretnya dengan camera infra
merah dan lain sebagainya. Disamping
itu para pakar filosof dari zaman dulu sampai sekarang berusaha terus memahami
keberadaan Jiwa dan Ruh sebagai penggerak kehidupan, juga tidak pernah meberikan hasil yang memuaskan.
Yah, sudah
berabad-abad lamanya manusia mencoba menguak tabir misteri terbesar dalam drama
kehidupan manusia itu sendiri. Tapi
sampai sekarang, tabir rahasia itu tetap tersimpan rapat dalam misteri kotak
hitam yang sangat misterius. Terutama
bagi mereka yang ingin memahaminya hanya dari pendekatan kacamata rasional
semata.
Sebagaimana pemahaman manusia terhadap alam
makrokosmos dan mikrokosmos, manusia
tetap terbentur dengan dinding
tebal yang sangat misterius, ketika ia
mencoba menguak tabir misteri kehidupan ini.
Problema utama yang sebenarnya
bukan terletak pada ”Bisa atau Tidak Bisa” misteri itu terkuak, melainkan
lebih kepada ”sudah benarkah cara dan alat bantu yang
digunakan untuk menguak tabir misteri
itu”.
Jika kita hanya sekedar menggunakan kemampuan Kesadaran
Rasional saja, maka sangat boleh jadi misteri tersebut tidak akan pernah
terkuak sampai akhir zaman. Sebab,
Kesadaran Rasional memang berfungsi hanya pada batas persoalan yang bersifat
empiris, yang bisa diulang-ulang secara kasat mata. Pada hal, misteri dibalik alam fisik ini adalah
wilayah yang tidak akan mampu sampai kapanpun dijangkau secara empiris.
Bagaimana mungkin kita bisa kita bisa membuktikan
keberadaan batas-batas alam semesta,
sementara usia peradaban manusia saja tidak cukup untuk membuktikannya
? Bukankah alam semesta ini sudah
berusia milyaran tahun, sementara
peradaban manusia baru berusia puluhan ribu tahun saja ?
Demikian pula halnya, mari kita coba membuat sebuah
ilustrasi, kalaulah alam semesta ini berbatas, maka diameter alam semesta ini
sangatlah besar, sehingga kita tidak akan pernah menjangkau wilayah yang di
duga berjarak miliaran tahun cahaya tersebut.
Coba anda hitung dengan menggunakan rumus matematis: 1 tahun adalah 365
hari, 1 hari sama dengan 24 jam, 1 jam sama dengan 60 menit dan 1 menit
sama dengan 60 detik, sedangkan kecepatan cahaya bergerak
186.000 mil/detik. Jika
diameter alam semesta ini kita umpamakan saja dari titik pangkal ke ujungnya
berjarak 1
milyar tahun perjalanan
cahaya (1.000.000.000 tahun cahaya), maka kita akan mendapat jarak dengan angka yang spektakuler yaitu : 1.000.000.000 X 365 X 24 X 60 X 60 X
186.000 mil
= 5.865.696.000.000.000.000.000
mil. Andai
kata saat ini manusia mampu bergerak dengan
laju tercepat lebih kurang 20.000 mil per jam, maka waktu yang dibutuhkan oleh manusia
menempuh jarak diameter alam semesta tersebut selama 33.480.000.000.000 tahun (33,48 triliun tahun).
Meskipun hanya lewat pandangan mata kita tidak akan pernah bisa
menjangkau wilayah yang berjarak demikian jauh itu. Apa lagi kita ingin memahami apa-apa yang
ada di luar batas alam semesta ini. Ada
sesuatu yang “Maha Besar” yang menghadang “kemampuan penglihatan” kita, lebih dari sekedar menggunakan mata imajiner
dan kemampuan rasionalitas.
Demikian pula sebaliknya, agaknya kita tidak akan mampu membuktikan batas-batas alam mikrokosmos
secara mendetil, karena keterbatasan kemampuan peralatan dan penglihatan
manusia. Semakin kecil suatu benda,
semakin sulit kita untuk memahaminya. Ternyata ada suatu ketidakpastian yang demikian besar ketika kita ingin sekedar
menentukan posisi suatu pertikel, sebagaimana telah dibuktikan oleh “Werner Heisenberg,” lewat teori Ketidak-pastiannya. Apa lagi kita ingin membuktikan
keberadaan benda yang paling kecil dibandingkan partikel, lalu ada
apa lagi dibalik sesuatu yang terkecil itu, agaknya masih merupakan
mimpi belaka.
Sebab, pada skala terkecil yang telah ditemukan oleh pengetahuan manusia saat ini, keberadan benda itu pun telah
memunculkan sebuah kerancuan yang sangat membingungkan, apakah
elektron itu dapat disebut sebagai materi atau energi. Dia berada di antara kuantitas dan
kualitas, antara nyata dan maya,
bahkan antara ada dan tiada.
Manusia pun dihadang oleh sebuah tembok misteri “Yang Maha Halus” dan penuh rahasia untuk mengekplorasi apa-apa yang ada di balik kehalusan
struktur materi dan energi tersebut.
Lalu akhirnya, bagaimana mungkin manusia ingin mengungkap
sumber-sumber kehidupan itu secara akurat dan pasti, karena “Kehidupan” itu sendiri muncul dari sesuatu yang bukan
disebut sebagai materi ataupun
energi. Sebab, baru sampai pada batas
pemahaman tentang partikel dan energi saja manusia sudah dihadapkan pada
sebuah kebingungan yang berkepanjangan.
Karena, ternyata kehidupan itu muncul
sebagai sebuah “Kehendak” yang bisa “mengatur dan mengarahkan” dirinya sendiri. Ia yang mengendalikan proses-proses material
dan energial yang mengiringi kehidupan itu,
bahkan di luar kesadaran si pelaksana kehidupan. Manusia bukanlah pemilik kehidupan, melainkan
hanya sekedar pelaksana kehidupan belaka.
Orang-orang yang
hanya berkutat pada pemikiran yang bersifat materi dan energi belaka tidak akan pernah menemukan essensi
kehidupan ini. Kita tidak pernah
tahu, misalnya kenapa jantung itu terus
berdetak sepanjang hayat. Dan kita juga
tidak pernah tahu kenapa udara selalu keluar masuk melalui hidung kita, kenapa
organ-organ paru-paru, liver, ginjal, sumsum tulang belakang, usus, otot, darah, sel beserta kromosom,
rantai genetika dan lain sebagainya bekerja seperti apa adanya.
Kita juga tidak tahu kenapa kita bisa berfikir, memahami,
menganalisa, dan menyimpulkan sesuatu.
Dan yang lebih misterius lagi kenapa kita memiliki “Kehendak” untuk hidup,
untuk berkreatifitas, untuk
menjalani kebaikan dan keburukan, dan
seterusnya. Dan dari manakah munculnya
kehendak itu ?
Disini, kembali
kita dihadang oleh sebuah kekuatan yang “Maha Hidup” dan “Maha Berkehendak” yang menjadi sumber dari kehidupan itu sendiri. Mata imajiner dan rasio kita kembali tidak
mampu menangkap “Sosok” di balik kehidupan ini. Kecuali apabila kita menggunakan
kemampuan “Mata Spiritual” dalam memahami misteri tersebut.
Mata Spiritual tidak hanya berkerja berdasarkan kecakapan
inderawi, tidak pula hanya mengandalkan ilmu pengetahuan empiris, akan tetapi
juga bersandar kepada kejujuran dan kerendahan hati, kehendak menuju pada
kebenaran sejati, serta keyakinan spiritual yang bersumber dari informasi yang bersifat ilahiah.
Bagaimana mungkin kita memperoleh informasi tentang kehidupan
setelah mati, jika kita tidak mempelajarinya dari ayat-ayat Suci Al-Qur’an yang
merupakan khabar berita yang telah
dikirim Allah dari “Luh Mahfudz” kepada ummat manusia melalui utusan-Nya Nabi Muhammad SAW ? Bagaimana kita memahami secara akurat tentang
struktur langit yang tujuh, kalau kita tidak berusaha menggalinya dari
firman-firman Allah ? Bagaimana mungkin
pula kita bisa memahami Jiwa dan Ruh, kalau lah kita tidak bersandar
kepada informasi yang telah disampaikan oleh sang Pencipta Ruh dan Jiwa itu sendiri ? Mustahil
kan ?
Begitulah memang cara kerjanya Kesadaran Spiritual. Bersumber dari informasi ilahiah, kemudian
dipahami oleh “Akal Sempurna” lewat mekanisme inderawi, ilmu
empirik-rasional, dan hati. Kesimpulan
dari semua itu akan menghasilkan sebuah “Kesadaran” yang demikian tajam, luas sekaligus
halus.
4.
Kesadaran Tauhid.
“Kesadaran
Tauhid” merupakan tingkat kesadaran yang
paling tinggi, merupakan sebuah tingkat
kesadaran tingkat lanjut dari proses
Kesadaran Spiritual.
Kesadaran ini bakal dapat dicapai oleh mereka yang telah menjalani Kesadaran
Spiritual dalam kurun waktu tertentu, bisa
bertahun-tahun bahkan sampai berpuluh–puluh tahun.
Kesadaran Tauhid ini mulai muncul
dicirikan oleh menyatunya segala kefahaman menjadi “Tauhidullah”, atau dengan kata lain
meng-Esakan Allah semata dalam proses kehidupan seseorang. Bukan hanya dalam bentuk persepsi semata,
melainkan telah menjalar kepada seluruh sikap dan prilaku kehidupan keseharian seseorang. Pada tingkat Kesadaran Tauhid inilah yang
bakal melahirkan kepasrahan yang mendalam kepada Sang Khalik, merupakan tingkat
tertinggi dalam beragama Islam atau disebut juga dengan Mukminun
yang Kaffah.
Dalam proses pencarian Kesadaran, seseorang yang mencari jati diri kehidupan
ini bakal selalu “mentok”. Ujung-ujungnya adalah rasa “Ngeri” atau “Terpesona” atau campuran keduanya, dalam memandang Kebesaran dan Keagungan
Allah, dalam puncak Kesadaran
Spiritualnya. Ia kini merasa kecil dan
tak berdaya, karena merasa
berhadapan dengan sebuah Kekuatan
yang tak terkira. Baik Kemaha-agungan-Nya, Kemaha-besaran-Nya,
Kemaha-sempurna-Nya, Kemaha-halusan-Nya, Kemaha-perkasaan-Nya dan ke-Maha yang
lainnya.
Seseorang
yang mencapai kondisi ini adalah
orang yang telah bertemu dengan Tuhannya dalam pencarian yang tiada henti. Lantas, muncul sebuah pengakuan bahwa diri
manusia itu sangatlah kecil dan
lemah, sedangkan Tuhannya Maha
Kuat, Besar dan Perkasa.
Manusia itu bodoh dan
naif, sedangkan Tuhannya sangat pintar dan tahu segala-galanya. Manusia itu kasar dan ceroboh, sedangkan Tuhannya Sangat Halus dan
Teliti. Manusia penuh dengan segala
kekurangan dan keterbatasannya, sedangkan Tuhannya Maha Sempurna.
Kesadaran
Spiritual inilah yang telah menghantarkan manusia kepada Sang Pencipta yang Maha Agung dan Mulia.
Maka, setelah itu manusia bakal berproses lebih jauh berintraksi dengan
Dzat Ketuhanan itu, nah dari sinilah
mulai munculnya Kesadaran Tauhid.
Kesadaran
Tauhid dimulai dengan munculnya sebuah surprise, bahwa kemana pun kita menghadap,
selalu ketemu dengan Allah. Sebagaimana
Allah telah berfirman seperti berikut ini.
QS. Al-Baqarah (2)
ayat : 115.
”Dan
kepunyaan Allah lah timur dan barat,
maka ke manapun kamu menghadap di situlah wajah Allah. Sesungguhnya Allah Maha Luas lagi Maha
Mengetahui”.
QS. Al-Baqarah (2) ayat :
140.
”Allah,
tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia Yang Hidup kekal lagi terus menerus mengurus (makhluk-Nya); tidak mengantuk dan tidak tidur. Kepunyaan-Nya apa yang di langit dan di
bumi. Tiada yang dapat memberi syafa’at
di sisi Allah tanpa izin-Nya. Allah
mengetahui apa-apa yang di hadapan mereka dan di belakang mereka, dan mereka tidak mengetahui apa-apa dari ilmu Allah melainkan apa yang di
kehendaki-Nya. Kursi Allah meliputi
langit dan bumi. Dan Allah tidak merasa
berat memelihara keduanya, dan Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar”.
QS. Asy-Syu’ara
(26) ayat : 28.
”Musa
berkata : Tuhan yang menguasai timur dan
barat dan apa yang ada di antara keduanya:
(itulah Tuhanmu) jika kamu mempergunakan akal”.
QS. An-Nisaa’
(4) ayat : 126.
”Kepunyaan
Allah-lah apa yang di langit dan apa yang di bumi, dan adalah Allah maha
Meliputi segala sesuatu”.
QS.
Bani Israil (17) ayat :
60.
”Dan (ingatlah), ketika Kami wahyukan kepada mu ’Sesungguhnya Tuhanmu meliputi segala
manusia’. Dan Kami tidak menjadikan
mimpi yang telah Kami perlihatkan kepadamu, melainkan sebagai ujian bagi
manusia dan (begitu pula) pohon kayu yang terkutuk dalam Al-Qur’an. Dan Kami menakut-nakuti mereka, tetapi yang
demikian itu hanyalah manambah besar kedurhakaan mereka”.
QS. Ath-Thalaq
(65) ayat: 12.
”Allah-lah
yang menciptakan tujuh lapis langit dan seperti itu pula bumi. Perintah Allah berlaku padanya, agar kamu
mengetahui bahwasannya Allah Mah Kuasa atas segala sesuatu, dan sesunguhnya
Allah, ilmu-Nya benar-benar meliputi
segala sesuatu”.
QS. Al-Baqarah (2) ayat :
186.
”Dan apabila hamba-hamba-Ku
bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah), bahwasannya Aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang
berdo’a apabila ia memohon kepada-Ku,
maka hendaklah mereka itu memenuhi (segala perintah Ku dan hendaklah mereka beriman kepada-Ku, agar
mereka selalu berada dalam kebenaran”.
Dan masih banyak ayat–ayat yang menggambarkan betapa
Allah meliputi segala sesuatu. Kemanapun
kita menghadap disitulah kita melihat Allah.
Dengan benda apa pun kita melakukan interaksi, sebenarnya di situ juga
ada Allah. Sedang menghadapi problema
apa pun kita, sebenarnya kita juga
sedang berhadapan dengan Allah.
Ya, Allah hadir
dimana-mana, pada setiap yang kita lihat, di segala yang kita dengar, dalam
segala persoalan–persoalan apa saja yang sedang kita pikirkan dan di segala
sesuatu yang kita lakukan. Bahkan Allah
juga hadir di sekujur tubuh kita. Mulai
dari denyut jantung, setiap tarikan
nafas, setiap geliat otot-otot,
percikan sinyal-sinyal
listrik dalam sel-sel syaraf dan otak,
bahkan pada seluruh aktifitas kehidupan kita. Dengan demikian Allah hadir disetiap penjuru
kehidupan kita, inilah makna dari ayat
yang menyatakan bahwa Allah melingkupi segala sesuatu di alam ini.
Seseorang yang telah mencapai tingkat Kesadaran Tauhid,
tiba-tiba ia menjadi begitu jernih melihat kehadiran Allah dalam setiap detak
kehidupannya. Ketika ia sedang
sendirian, tiba-tiba ia merasakan Allah
tetap hadir pada setiap tarikan dan desah nafasnya. Ia seakan-akan bisa ”melihat” betapa oksigen yang dihirupnya dari hidung meresap ke dalam paru-parunya,
ditangkap oleh gelembung-gelembung alvioli, kemudian diedarkan ke miliaran sel-sel dalam
tubuhnya melalui mekanisme peredaran darah,
sungguh sangat mengagumkan.
Ia melihat betapa Allah hadir dan selalu aktif dalam
mengendalikan seluruh mekanisme distribusi oksigen itu. Ia bahkan bisa merasakan, betapa ngerinya
jika Allah tidak hadir atau tidak peduli dalam proses pengangkutan oksigen
tersebut. Maka proses tersebut akan
menjadi amburadul tidak terkendali.
Jaringan alvioli di dalam paru-paru tidak mampu menangkap gelembung
oksigen. Dan kemudian darah tidak mampu
mengangkut oksigen sesuai dengan kebutuhan.
Maka, dalam waktu beberapa menit
kemudian, sel-sel di dalam tubuh
kita akan mengalami kematian massal dengan sangat dramatis.
Miliaran sel tidak memperoleh pasokan oksigen sesuai
kebutuhan, termasuk otak. Secara beruntun orang yang gagal memperoleh
oksigen tersebut bakal mengalami kondisi seperti tercekik, badannya membiru,
lantas kemudian kehilangan kesadarannya, pingsan dan kemudian mengalami
kerusakan berbagai organ tubuh. Pada
akhirnya orang tersebut menemui kematiannya.
Kalaulah manusia
itu mau menyadarinya dengan sungguh-sungguh,
betapa dominannya kekuasaan Allah berperan dalam proses
kehidupannya. Dalam waktu yang bersamaan, Allah sedang mempertontonkan berbagai sifat
Ketuhanan-Nya, Kekuasaaan-Nya, Ketelitian-Nya, Kehalusan-Nya, Kepintaran-Nya, Kehendak-Nya
dan sekaligus Kasih Sayang terhadap makhluknya,
bercampur dalam sebuah proses mengendalikan pasokan oksigen ke dalam
tubuh makhluk hidupnya.
Allah telah menjaganya tanpa henti, tidak mengantuk, tidak tidur
dan tidak pernah merasa capek mengurus semua makhluk bahkan semua ciptaannya
mulai dari lapisan langit ke satu sampai ke langit ketujuh bahkan sampai ke
Sidhrathal Munthaha. Persis seperti apa
yang telah di firmankan-Nya dalam ayat-ayat-Nya :
”Allah, tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia Yang Maha Hidup kekal lagi terus- menerus mengurus (makhluk-Nya); tidak mengantuk dan tidak tidur. Kepunyaan-Nya apa yang di langit dan di bumi”
(QS. Al-Baqarah (2) ayat :
140 ).
Allah setiap saat selalu sibuk dalam urusan-Nya, dalam ayat lain juga Allah juga
menegaskan, bahwa DIA selalu dalam
kesibukan. Persis seperti ayat berikut
ini.
QS.
Ar-Rahman (55) ayat : 29.
”Semua yang ada di langit
dan di bumi selalu meminta kepada-Nya.
Setiap waktu Dia dalam kesibukan”.
Dapat kita bayangkan seandainya Allah berhenti sesaat
saja dalam mengurus proses kehidupan atau pergerakan makhluk-Nya, maka triliunan materi pengisi langit ini akan bergerak simpang siur dan akan
terjadi tabrakan yang sangat mengerikan
dan makhluk hidup akan mengalami problema yang sangat serius dalam
seluruh proses metabolisme hidupnya.
Sungguh benar, Allah bukan hanya hadir di dalam nafas kita, sebab dalam waktu
yang bersamaan Ia juga sedang “sibuk” mengatur denyut jantung miliaran makhluk hidup lainnya. Bukan hanya manusia yang berjumlah lebih kurang 5 milyaran itu, tetapi juga jantung milyaran makhluk lainnya seperti
monyet, harimau, gajah, sapi, kerbau, ayam, burung, ikan-ikan dan lain
sebagainya, semuanya dalam kondisi yang
berbeda-beda. Ada yang
memerlukan jantungnya berdenyut kencang, karena sedang aktif beraktivitas seperti berlari, marah dan
emosi, tetapi ada juga yang sedang-sedang saja karena sedang santai-santai
saja, rileks, tertidur atau beristirahat.
Semuanya sedang dikontrol dengan
sangat teliti, cermat dan kasuistik.
Dapatkah anda saat ini membayangkan betapa tinggi tingkat kerumitan dan
kesulitannya ? Sungguh Allah tidak
merasa sedikitpun kerumitan dan kesulitannya, semua sangat mudah bagi-Nya.
Sebenarnya, jika kita mau merenungi dan mencermati dengan
sangat dalam, maka kita akan mersa
bergidik sendiri betapa dahsyat dan
perkasanya Allah sang Penguasa dan Pencipta
alam semesta ini. Coba anda renungi, dalam waktu bersamaan, tanpa ada jeda waktu barang seper sejuta detik pun, Ia sedang mengatur gerak kehidupan miliran
pepohonan, ada yang sedang berbunga, berbuah, bertunas, bercabang, layu, rontok
dan roboh dan lain sebagainya.
Dilain pihak,
Allah juga sedang mengerakkan angin dengan kecepatan tertentu, mendorong
awan ke wilayah yang dapat memprosesnya menjadi butiran-butiran air agar bisa
turun menjadi hujan di daerah yang membutuhkan hujan, mengatur suhu agar sesuai
dengan kebutuhan makhluk hidup, mengatur gelombang laut agar bisa dilayari oleh
kapal-kapal, mengatur gunung-gunung agar
tidak selalu bergolak, mengatur pergerakan kerak bumi sampai kepada pusaran
inti bumi, mengatur petir, membagi cahaya mata hari sesuai dengan
kebutuhan dan lain sebagainya. Hujan
tidak diturunkan-Nya sekali gus seperti air bah, melainkan diturunkan dalam
bentuk butiran-butiran halus dengan kecepatan yang terukur, sehingga ketika
jatuh ke bumi tidak membahayakan makhluk
yang disiraminya. Coba kita
bayangkan, jika air hujan diturunkan Allah dalam bentuk air bah yang jumlahnya
ribuan ton, maka akibatnya sangat dahsyat, atau turun dalam bentuk butiran
dengan kecepatan yang sangat tinggi karena tak ada atmosfer yang
menghalanginya, maka apa saja yang ditimpanya akan bolong-bolong ditembus oleh
butiran air tersebut. Semuanya telah
diatur oleh Allah dengan perhitungan matematis yang maha canggih,
baik jumlah air hujan yang turun
maupun cara dan kecepatannya, sungguh Ilmu Allah Maha Tinggi.
Mari kita cermati ayat berikut.
QS. Zukhruf (43) : 11
“Dan
yang menurunkan air dari langit menurut kadar (yang diperlukan) lalu Kami hidupkan dengan air itu negeri yang
mati, seperti itulah kamu akan
dikeluarkan (dari dalam kubur)”.
Dalam waktu yang bersamaan itu Allah sedang mengatur dan
mengendalikan sekaligfus mengawasi triliunan kejadian di muka bumi ini mulai
dari yang paling kasar sampai ke yang paling halus, pada saat yang bersamaan pula ia juga sedang
mengatur dan mengendalikan sekaligus mengawasi 4 - 5 milyar
“genome” yang bertanggung jawab terhadap berbagai
reaksi biokimia terkait dengan sifat-sifat khas kehidupan seorang manusia.
Untuk urusan genome ini
saja, bila kita hitung maka kita akan
memperoleh angka rekasi biokimia yang sangat spektakuler, anggap saja jumlah
manusia di muka bumi ini persis 5 milyar.
Maka dalam waktu yang bersamaan Allah sedang mengatur, mengendalikan dan
mengawasi 5
miliyar x 5 miliyar =
25 juta-triliun reaksi biokimia di dalam seluruh tubuh manusia yang hidup di
muka bumi ini.
Sumuanya dalam keadaan kritis, sebab jika terjadi sedikit saja penyimpangan
suatu reaksi biokimia saja dalam tubuh manusia,
maka akan terjadi penyimpangan kesehatan pada diri manusia
tersebut. Jadi sehat tidaknya manusia
itu ada dalam genggaman Allah, meleset
saja salah satu reaksi itu mengakibatkan
ketidak-seimbangan reaksi-reaksi kimia tubuh dan akan berakibat vatal.
Pada hal kita tahu, bukan manusia saja yang hidup di muka
bumi ini, masih banyak hewan dan tumbuhan yang
jumlahnya juga milyaran, bahkan
mungkin jauh lebih banyak dari jumlah manusia.
Dan semuanya berkembang dengan sebuah desain yang sangat khas. Tidak ada yang sama antara hewan dengan hewan lainnya, antara tanaman dengan tanaman lainnya.
Bila kita asumsikan terdapat 10 milyar hewan dan 10
milyar tumbuhan yang hidup di muka bumi ini, baik di daratan, lautan
maupun di udara, maka akan terdapat 20 milyar
x 5 milyar atau 100 juta-triliun reaksi biokimia yang harus dikendalikan, di atur dan di awasi oleh Allah dengan tingkat
kesulitan beraneka ragam, melalui
sebuah ketelitian dan kecermatan yang
luar biasa pula dalam waktu yang bersamaan.
Dapat kah anda menyadari,
bahwa untuk urusan reaksi biokimia makhluk hidup saja Allah sudah
demikian “disibukkan”,
karena harus mengendalikan,
mengatur dan mengawasi sekitar 125 juta-triliun peristiwa kimia yang dikerjakan dalam waktu bersamaan, katakalah pada saat anda sedang
membaca buku ini.
Masih sangat banyak peristiwa lain yang harus dikendalikan, diatur dan diawasi
Allah, seperti hal-hal yang berkaitan
dengan koordinasi antar jaringan,
organ dan tubuh makhluk hidup.
Apa yang dapat anda bayangkan dengan memahami cara organisasi pengaturan dan pengendalian
miliaran reaksi biokimia yang terjadi
didalam sel-sel, yang kemudian
terkoordinasi membentuk miliran jaringan, organ dan tubuh dari bermiliyar-miliyar
makhluk hidup itu !? Jika anda tidak
berusaha untuk menjadi tahu atau berusaha untuk mempelajari dan merenunginya,
tentu saja anda tidak akan pernah mengerti atau memamahami hal itu, pasti !? Tanyakalah sekali lagi kepada diri anda, masih pantaskah anda berlaku congkak,
sombong, angkuh, merasa hebat sendiri, tidak berterima kasih, tidak bersyukur,
tidak merasa tunduk baik secara terang-terangan maupun terselubung kepada Sang Maha Perkasa selama
anda menjalani kehidupan diatas bumi milik-Nya ini !? Wallahu’alambissawab.
Sungguh demikian dahsyatnya ! Dan semua itu telah berjalan selama lebih
kurang 5 milyar tahun usia planet bumi. Semua telah dan sedang terkontrol dengan sangat teliti dalam skala
yang sangat raksasa. Kamudian, bisa kah anda bayangkan ketika kita
membicarakan dalam skala makrokosmos atau alam semesta raya ini ? !
Terdapat bermiliyar-mulyar benda-benda angkasa yang juga
membutuhkan pengaturan dan perhatian Allah dalam urutan waktu yang tiada pernah
berhenti. Jika “Mleng” seper
sekian detik saja hancurlah alam semesta ini
beserta isinya, karena melenceng
sedikit saja pergerakan alam semesta ini maka akibatnya amat dahsyat.
Puncak dari segala sesuatu yang telah kita bahas ini
adalah : “Munculnya sebuah kefahaman bagi yang
menyadarinya, bahwa semua peristiwa kritis itu hanya dikendalikan oleh Sosok yang
Maha Tunggal” saja. Sebab, jika tidak, atau ada
sosok aktor lainnya yang sama-sama berkuasa di alam semesta ini, maka seluruh koordinasi itu akan menjadi
kacau balau, persis seperti yang telah
difirmankan Allah dalam ayat-Nya berkut ini.
QS. Al-Anbiyaa’
(21) : 22.
“Sekiranya
di langit dan di bumi ada tuhan-tuhan selain Allah, tentulah kedunya itu telah rusak binasa.
Maka Maha Suci Allah yang mempunyai ”Arsy”
dari pada
apa yang mereka sifatkan”.
Dengan alasan yang sangat logis tersebut di atas kiranya
Allah telah memberikan argumentasi kepada manusia, tidak mungkin ada beberapa
Tuhan sebagai penguasa alam semesta
ini. Jika tidak mengikuti satu aturan
saja, maka dapat dipastikan alam semesta
ini akan mengalami kehancuran.
Sebab, hukum alam yang
mengaturnya tidak berada dalam satu
garis komando sehingga tidak bisa disinkronkan antara satu perintah dengan
perintah lainnya.
Semua ilmuwan astronomi --termasuk Einstein-- mengakui bahwa di alam semesta ini hanya berlaku satu hukum
saja. Dan itu berarti hanya ada satu Tuhan saja yang
menciptakan dan mengendalikan segala sesuatu di alam semesta ini, yaitu Allah Azza Wajalla. Coba kita perhatikan ayat berikut ini.
QS. Ar-Ra’d
(13) ayat : 16.
“Katakanlah:
‘Siapakah Tuhan langit dan bumi ?’
Jawabnya:
‘Allah’. Katakanlah:
‘Maka patutkah kamu mengambil
pelindung-pelindungmu dari selain Allah,
padahal mereka tidak menguasai kemanfaatan
dan tidak (pula)
kemudharatan bagi diri mereka sendiri
?’. Katakanlah:
‘Adakah sama
orang buta dan yang dapat melihat,
atau samakah gelap gulita dan terang
benderang;
apakah mereka menjadikan beberapa sekutu bagi
Allah
yang dapat menciptakan seperti ciptaan-Nya
sehingga kedua ciptaan itu serupa
menurut pandangan mereka ?’.
Katakanlah :
‘ Allah adalah pencipta
segala
sesuatu dan Dia-lah Tuhan yang Maha Esa lagi Maha Perkasa’ “
Bahkan, didalam
ayat tersebut Allah telah mengembangkan
logika itu lebih luas, yaitu apakah ada
Tuhan lain yang bisa menciptakan makhluk seperti yang telah Ia ciptakan ? Tentu jawabnya, pasti tidak akan pernah ada sampai
kapanpun. Oleh karena itu, tidak ada
pilihan lain untuk bertuhan, kecuali
kepada Allah sang Pencipta Alam Semesta.
Sampai disinilah puncak pencarian seseorang terhadap
hakikad kehidupan ini. Tanpa bisa
dibantah lagi, ia telah mencapai
kesimpulan final bahwa alam semesta ini beserta seluruh isinya memang diciptakan dengan sengaja dan sang Pencipta itu bernama
Allah SWT, seperti telah di
ceritakan dalam ayat-ayat-Nya tersebut di atas.
Maka, berikrarlah segenap jiwa dan raga kita mengakui akan eksistensi Allah, bukan hanya semata dalam kiblat shalatnya, tetapi ia merasakan bahkan
menyaksikan kehadiran Allah diseluruh
penjuru kehidupannya. Sejak ia bangun
tidur, kemudian beraktifitas dalam kehidupan, sampai ia tertidur kembali, ia
tidak pernah bisa lepas dari kebaradaan Allah sebagai pusat kontrol
kehidupannya.
Dan pada saat ini seseorang dikatakan telah mencapai
puncak kesadaran tertinggi, yaitu
Kesadaran Tauhid. Hidup ini baginya
hanya bermakna satu saja, yaitu “Laa ilaaha illallah—Tidak
ada Tuhan (meniadakan apa saja diseluruh penjuru alam semesta ini) kecuali Allah (yang ada hanya Allah)”. Dia
bersaksi diri-Nya dan segenap makhluk di alam semesta ini berada di dalam “Genggaman Kekuasaan-Nya”.
Sekarang manusia itu telah
mencapai sebuah puncak keyakinan tak berbatas dan tidak akan tergoyahkan oleh sesuatu apapun,
hanya ada satu kata seruan Yaa.. Allah, ... Yaa.. Allah, ... Yaa.. Allah.
DAFTAR NAMA BUKU-BUKU PENTING
1. Dessey, Lerry .
Sembuh Tanpa Dokter . 2007 . Jakarta . Serambi Penterjemeh : Leinovar
Bahvein
2.
Mustamir . Sembuh dan Sehat dengan Mukjizat
AL-Qur’an . 2007 . Yogyakarta : Lingkaran
3.
Mukarami, Kazuo,. The Devine Message of DNA : Tuhan dalam Gen
Kita . 2007 . Jakarta : Mizan
4. Kompas . Fenomena Fisika di Balik Tenaga Prana .
25 juni 2005, http : // www.fisikanet. lipi.go.id / utama cgi ? artikel
&& 1 (akses 20 Februari 2008)
5.
Giriwijaya , Y.S. Santosa. Listrik dan Tubuh Manusia dan Tenaga Dalam . 9
Oktober 2007 . http : //elfugell.multiply.com./Journal/item/40/Listrik_ Dalam_Tubuh_Manusia_
dan_Tenaga _Dalam . (akses 20 Februari 2008).
6.
Puspawijaya , Diani . Bagaimana Fikiran Mempengaruhi
Kesehatan Kita . 6 September 2006 . http : //fkuii.org /tiki-read article . php?
article_Id = 9 (akses 20 Februari 2008) .
7. Handjojo . Meridian . http : // hang feng shue .
com/HTMLS/ Pengobatan 35.htm (akses 2 Maret 2008) .
8.
Chopra,Deepok . 1989 .Quantum Healing . New York
: Bantam . Books .
9.
Ahmad Humedi . 2005 . Diatas Langit Ada Langit .
Bandung . MQS Publishing.
10. Armstrong
, Thomas , Phd . 2002 . 7 Kinds of Smart , Menemukan dan Meningkatkan
Kecerdasan Anda Berdasarkan Teori Multiple Intellegencie . Jakarta : PT .
Gramedia Pustaka Utama .
11. Dedhi
Suharto , Ak. 2006 . Qur’anic Intellegence (Quotient . Jakarta : FBA . Press
12. Dryden
, Gordon . dan Dr. Jeannette Vos. 2003 .
Revolusi Cara Belajar . Bandung , Kaifa
13. Losier
, Machael. J . 2007 . Mengungkap Rahasia
Kehidupan . Jakarta : Ufuk
Publishing House.
14. Lucas
, Bill . 2004. Optimalkan Otak Anda. Jakarta : PT Bhuana Ilmu Populer
15. Muhammad
Wahyuni Nofis . 2006 , 9 Jalan Untuk Cerdas Emosional dan Cerdas Spiritual .
Jakarta : Hikmah
16. Zohar
, Danah . dan Ian Marshall . 2006 . Spiritual Capital . Bandung : PT . Mizan
Pustaka : terjemahan Jalaludin Rachmat
17. J .
Iskandar . Juni 2003 . Panduan Praktis Pencegahan dan Pengobatan Stroke .
Jakarta . PT . Bhuana Ilmu Populer .
18. Cooper
, Robert , K . Ayman sawaf . Executive EQ 1998 . Jakarta . Gramedia Pustaka
Utama
19. Goleman
, Daniel 1996 . Emotional Intelegence . Jakarta Penerbit PT . Gramedia Pustaka
Utama
20. Badri. R. Malik.
Tafakur dalam Prospektif Psikologi islam. Terjemahan Usman Shyihab Husnan
, Penerbit PT . Remaja Press Karya , Bandung 1996
21. Musawi
Sayid Mujtaba . Meraih Kesempurnaan Spiritual , terjemahan Ahsin Muhammad . Penerbit Pustaka Hidayat , Bandung
, 1997 .
22. Ozanice
, Naomi . Meditasi untuk Pemuda . Penerbit Dahara Prize . Semarang , 2000
23. Schimmel
Anne Marie. Dimensi Mistik dalam Islam ,
Terjemahan Supardi Djaka Parmono dkk . Penerbit Pustaka Fidaus , Jakarta 1986
24. Drs.
Madyo Wirasangko , MM , dan Ir. Trianggoro , Senam Egonomis
dan Pijat Getar Saraf . Kawan Pustaka : Depok 2006
25. Fu
Chun Jiang. Insisasi Obat-obatan Tradisional
China. Elex Media Kamputindo .
Jakarta , 2005
26. Drs.
Ahmad Thobroni , MAg . Terapi dengan
AL_Qur’an & Madu. Restu Illahi. Jakarta 2007
27. Iskandar
Ali , SE. Pijat , Telinga & Ramuan untuk Mengatasi
Aneka Penyakit . Agromedia Pustaka Jakarta 2003 .
28. KH .
Basyarie Mafa : Penyembuhan dengan Do’a, Rahasia Penyembuhan Para Kyai .
Galery : Surabaya
2004.
29. Krisna
, Anand . Matsawi . Seni Memberdaya Diri
1. Meditasi dan Neo Zen Reiki.
30. Krisna
, Anand . Matsnawi . Seni Memberdaya Diri 2. Meditasi untuk Peningkatan Kesadaran
31. Lari
Sayyid Mujtaba Musawi , Meraih
Kesempurnaan Spiritual . Pustaka Hidayah , Bandung
32. Muthahhari
, Murtadha. Fitrah. PT. Lentera Bastitama . Jakarta . Februari 2001
33. Zohar
, Danah dan Ian Marshal . SQ ,Memanfaatkan
Kecerdasan Spiritual dalam
Berfikir Integralistik dan Holistik untuk Memaknai Kehidupan , Mizan, Bandung , Juni 2001
34. Badri
, Malik 1996. Tafakur . Perspestif Psikologi ( terjemah ) Bandung , Remaja Basda
Karya. Ofset
35. Effendi
, Irmansyah 2001. Kesadaran Jiwa . Jakarta . Gramedika
36. Karta
Atmadja , Susanso , 2001 Para Pisikologi
(Para Pisikologi ; Perergi ; dan
Paranormal) , Jalatu Pustaka Harapan.
37. Subandi, et. al. 2002. Psikotrapi (kumpulan
Artikel ) Yogyakarta. Unit Publikasi Fakultas Psikologi UGM .
38. Gunawan
, Adi W. dan Ariessandi Sutyoso , 2006 Manage Your Mind for Succes (New ed)
Jakarta . Gramedika Pustaka Utama.