Jumat, 29 Juni 2012

DENGAN UPAYA YANG SEDERHANA WUJUDKAN IMPIAN BESAR


DENGAN   UPAYA YANG  SEDERHANA  WUJUDKAN  IMPIAN  BESAR

SEBUAH DIALOGIS

MENGGALI DAN MELENJITKAN  POTENSI DIRI MELALUI AL-QUR’AN

  Kecerdasan Al-Qur’an (Qur’anic Quotient)  dapat kita definisikan adalah sebuah konsep kederdasan yang berdasarkan Al-Qur’an untuk meberikan pencerahan  sekaligus melengkapi kekurangan pada konsep-konsep kecerdasan yang telah ditemukan oleh manusia pada umumnya.   Barangkali ada tiga alasan mengapa kita perlu menggali potensi Qur’anic Quotient ini,  yakni: 

Ø   Pertama;   Masih  banyak  ditemukan kekurangan  dalam  konsep-konsep kecerdasan yang telah di kupas oleh para ilmuan Dunia Barat, terutama mereka tidak pernah mengaitkan antara kecerdasan tersebut  terhadap Sang  Pencipta Orang Cerdas dan Sang Pemilik Kecerdasan itu sendiri, yaitu Allah SWT.

Ø  Kedua ;  Keterpesonaan  dan  keterkaguman   sebagian  ummat  Islam  terhadap  konsep kecerdasan yang dikemukan oleh Ilmuwan Barat,  membuat mereka melupakan Al-Qur’an dan As-Sunnah,  pada hal itu hanyalah suatu hikmah yang hilang dari kaum Muslimin itu sendiri.

Ø  Ketiga ;  Untuk mengajak ummat Islam kembali  kepada konsep Al-Qur’an, terutama ilmuwan Islam  untuk kembali merumuskan konsep “Pengembangan Diri (Self Development)” berdasarkan ayat-ayat Al-Qur’an.

      Sepakatkah kita melanjutkan gagasan yang telah dikemukakan oleh Muhammad Iqbal  yang telah dituangkan dalam bukunya “The Reconstruction of Religious Thought  in Islam (Rekonstrtuksi Pemikiran Agama Dalam Islam)” ?   Yaitu  :
“bahwa kemajuan Islam bukan terletak pada meniru  atau tidaknya terhadap barat, tetapi sejauh mana ummat Islam menggali potensi dirinya sendiri melalui Al-Qur’an.  Karena Islam tidak berkiblat ke Barat atau ke Timur, tetapi kepada syari’at Allah, baik itu dalam keyakinan (‘aqidah), ritual (‘ibadah), maupun interaksi sosial (mu’amalah) sebagaimana  firman Allah  dalam QS. Al-Baqarah ayat 177.   Oleh karena itu, kita menganalisis ulang apa sebetulnya yang sedang dipikirkan oleh Eropa (baca : Barat atau Amerika Serikat) dan  sampai dimana kesimpulan-kesimpulan  yang telah dicapainya itu bisa membantu untuk mengadakan revisi, dan kalau perlu, melakukan rekonstruksi atas pemikiran agama dalam Islam (hal. 34).   Tugas yang dihadapi ummat Muslim modern adalah tak bertara.  Dia harus memikirkan kembali keseluruhan sistem Islam tanpa sepenuhnya memutuskan hubungan dengan masa lampau (hal. 166)”.

     Jadi ada dua hal yang perlu kita lakukan;  pertama: jangan “latah”—takliq buta; tanpa ilmu--  terhadap konsep dari dunia Barat maupun dari Dunia Timur, termasuk teman dekat anda sendiri, atau jangan pula menolak dengan membabi buta, tetapi tetap  mempelajari dan mencermati apakah  konsep-konsep yang telah dihasilkan oleh mereka shahih atau tidak (berdasarkan dalil-dalil agama).  Lalu kita coba kritisi, dimana mereka berhenti (hasil penelitian mereka mandek) dan dari sanalah kita mulai melangkah;  kedua : tetap mempelajari sistem Islam dan khazanah keilmuan Islam yang bersumber dari dalam  Al-Qur’an  dan As-Sunnah.

     Dalam kita melakukan dua hal diatas, kita harus mempehatikan “tujuan dan metoda”.  Artinya,  kita hendaknya tidak mempelajari konsep dari Dunia Barat  dan Dunia Islam,  hanya sebatas kajian Ilmiah saja, tetapi yang lebih penting dalam rangka mencari kebenaran.   Karena hal ini sangat menentukan hasil akhir dari proses belajar.  Sebab bagi yang berhenti pada batas kajian Ilmiah, maka ia hanya akan memperoleh kepuasan intelektual toq !  Sebaliknya bagi yang memang mencari kebenaran,  maka Allah  SWT akan memberikan Hidayah dan Karunia-Nya yang tak terhingga. Kata Allah: “Falahum ajrun ghairu mamnun” (Bagi mereka pahala yang tidak  putus-putusnya).  Jadi segala sesuatu tergantung pada Niat dan Tujuan kita.

 Demikian pula halnya dengan “Metoda”, bila kita terlebih dahulu mempelajari konsep-konsep dari Dunia Barat  tanpa didahului mempelajari dan memahami ajaran Islam, maka besar kemungkinan  yang terjadi malah kita sulit menemukan kenbenaran, dan malah kita semakin terjebak dalam kesesatan atau mungkin kita akan kebingungan sendiri.  Karena nggak tau jalan keluar mana yang seharusnya kita lalui,  yaaa ..  jangan sampai gila ajalah, karena stress.  Yang  paling ringan, ketika kita mau mempelajari Islam, maka paradigma (idealisme; rasionalisme; cara pandang)  Dunia Barat akan sangat mempengaruhi pemikiran kita—yaa .. umpama rokok, sisa-sisa candunya itu lho ! masih tetap lengket gitu--dalam memandang Islam sama seperti Dunia Barat memandang Agama  mereka sendiri.

Ahh .. kalau disebut–sebut sudah terlalu banyak contoh para  oknum Sarjana Muslim jebolan Universitas Barat  (Eropah dan Amerika Serikat) terkenal,  yang membawa konsep-konsep “Islam Liberalisme; Islam Kapitalisme; Islam Sosialisme;  Islam Materialisme; Islam Sekuler, mungkin juga Islam Marxisme”, minimal cara pandangnya, jangan tersinggung lho ! saya  enggak menyebut individu anda, kalau nggak merasa kenapa harus  tersinggung,  yaa... kan !

Sadarkah  anda,  sebagian besar Dunia Barat itu memandang  dan beranggapan agamanya itu dogma –cerita dongeng ngkali yaa--, sehingga mereka berkesimpulan agama yaa .. agama,  dan Ilmu Pengetahuan itu berada di sisi lain, bukan bagian dari agama.  Akibatnya apa ? ada saja mereka yang berpendapat agama itu kuno;  alias klasik; ketinggalan jaman gitu lho ..  bahkan mungkin  menganggap agama itu hanyalah setumpuk aturan dan cerita-cerita sejarah jaman dulu yang cukup sebagai bahan bacaan ringan saja,  sehingga bertentangan dengan konsep dan kemajuan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi saat ini dan barangkali juga ke depan yang seakan-akan telah mereka  kuasai dengan amat membanggakan.   Sehingga para ilmuwan mereka banyak yang kepeleset, meninggalkan agamanya karena dianggap tidak berguna atau paling kecil mengesamping (baca: mengabaikan) agama dalam pola kehidupan mereka sehari-hari.  

Disadari ataupun tidak  dampak tersebut  sudah banyak menular dikalangan generasi muda maupun generasi tua  Ummat Islam saat ini ... tidak percaya coba kita buka mata hati  kita dan pasang telinga kita  .... lihatlah dan saksikan dan jangan jangan–jangan kita pun atau mungkin anggota keluarga kita pun sudah ada yang terjangkit sicksense.  Bila telah sebagian besar umat islam dijangkiti oleh virus ilmu pengetahuan itu;  bisa saja suatu ketika kita berkesimpulan Islam ketinggalan zaman;  kuno;  nggak up to date; nggak trend. Akhirnya,  jangankan membawa kemajuan terhadap Islam, tapi malah justeru memicu konflik di tubuh ummat Islam itu sendiri.

Jadi akan sangat berbeda, jika  kita mempelajari Islam –Al-Qur’an dan As-Sunnah—terlebih dahulu (dengan catatan apanpun yang tejadi tetap berpegang teguh keyakinan akan –Al-Qur’an dan As-Sunnah—), baru kemudian kita mempejari konsep-konsep dari Dunia Barat, maka kita akan semakin yakin terhadap kebenaran Islam.  Karena saat kita mempelajari Islam kita dituntut untuk meyakini, mengamalkan, mendakwahkan, dan membelanya, sehingga ajaran Islam yang telah lengket dalam jiwa dan raga kita akan menajadi “filter” bagi kita dalam mepelajari ilmu apa saja yang telah dihasilkan oleh Dunia Barat.  Otamatis.

Salah satu ilmu—dari sekian banyak ilmu—yang patut kita pelajari dari Dunia Barat adalah konsep kecerdasan intelektual (intelegence quotient) atau konsep pengembangan diri (self development)  yang saat ini kita diskusikan.  Jika kita sepakat melakukan sebagaimana uraian yang telah disampaikan panjang lebar di atas, Insya Allah,  “Ketercerahan atau Kebercahayaan (renaisance/aufklarung)”  akan terjadi juga pada ummat Islam. Amin.

Inspirator :  Nazamuddin (Senior Satya Buana Bengkulu).
Bengkulu   :   29 Juni 2012.





Tidak ada komentar:

Posting Komentar