Sabtu, 30 Juni 2012

BAGAIMANAKAH KITA MEMAHAMI AKAL?


             BAGAIMANAKAH  KITA MEMAHAMI AKAL?
SEBUAH DIALOGIS
MENGGALI DAN MELENJITKAN  POTENSI DIRI
Bengkulu  :  Juni 2012.
Inspirator  :  Nazamuddin (Anggota Senior Satya Buana)



Untuk lebih  memberikan pemahaman yang lebih fokus tentang  “akal dan kesadaran”, maka kita perlu terlebih dahulu memberikan pengertian atau batasan apakah sebenarnya “akal dan kesadaran” itu ?  Kalau kita resapi, rasakan dan cermati dalam diri kita masing-masing, barangkali kita akan sepakat mengatakan yang dikatakan dengan “Akal” itu adalah “Seluruh Potensi Kecerdasan Intlektual yang dimiliki  oleh seseorang”. Tak perduli,  baik suku bangsanya  apa, usianya berapa, latar belakang sosial, budaya maupun kehidupan  ekonomi,  jenis kelamin dan lain sebagainya.  Bahwa “akal” seseorang ditunjukkan oleh seluruh potensi kecerdasan yang dia miliki.  Semakin cerdas seseorang, maka semakin tinggi potensi akalnya.  Dan semakin tidak cerdas atau bodoh seseorang, maka semakin rendah pula potensi akalnya. 

Saat ini,  persepsi kebanyakan manusia  tentang kecerdasan seseorang bukan hanya terkait dengan “Kecerdasan Intelektual”,  melainkan juga melibatkan “Kecerdasan Emosional, dan Kecerdasan Spiritual”.  Jadi, bagaimana cara seseorang dapat menyelesaikan persoalan yang dihadapinya,  bisa menunjukkan seberapa kuat akalnya.  Atau dengan kata lain, kekuatan akalnya akan menunjukkan seberapa besar “Potensi Kecerdasan” yang  di miliki. 

Potensi kecerdasan manusia meliputi :  kemampuan memahami, kemampuan manganalisa, kemampuan berbuat (mengeksekusi).  Dalam proses itu,  yang terlibat bukan hanya Kecerdasan Intelektual,  melainkan juga Kecerdasan Emosional dan Kecerdasan Spiritual.  Pada dua point pertama ---“Kemampuan Memahami dan Menganalisa”---barangkali sangat dipengaruhi oleh faktor “Kecerdasan Intelektual”.   Seseorang bisa saja memahami sesuatu permasalahan dengan baik, jika kecerdasan intelektual cukup baik.  Jika tidak, seseorang akan memngalami penyimpangan, kekeliruan  atau kesalahan (error ; bias) pemahaman dari yang semestinya terhadap apa yang  telah ditangkap oleh indrawinya.

Dalam Firman-Nya Allah SWT, mengatakan Malaikat Jibril sebagai penyampai wahyu Allah kepada Rasulullah, memiliki akal yang kuat dan kecerdasan yang sangat tinggi.  Jika tidak,  maka apa yang telah diperintahkan Allah untuk disampaikan kepada manusia bakal mengalami distorsi pemahaman, sehingga yang menerimapun akan mengalami hal sama bahkan bisa lebih keliru.  Hal ini dapat kita cermati dalam firman-Nya  dalam QS. An-Najm (53)  ayat  6 :

“Yang mempunyai akal yang cerdas ;  dan (Jibril itu)  menampakkan diri dengan rupa yang asli”.

Begitulah potensi akal dan kecerdasan intelektual berperan pada pemahaman permasalahan.  Selanjutnya, “Kecerdasan Emosional dan Kecerdasan Spiritual”,  akan sangat menentukan pada langkah berikutnya—point ke tiga dan ke empat---yaitu proses pengambilan keputusan dan menjalankannya sesuai dengan yang telah diprogramkan oleh “Kecerdasan Intelektual”.

Sebuah keputusan yang  baik bukan hanya ditentukan oleh hasil dari kemampuan “Kecerdasan Intelektual”,  melainkan juga oleh kematangan “Emosional dan Spiritual”  seseorang.  Meskipun, seseorang itu pintar banget,  kalau tidak diikuti dengan  kematangan secara emosional dan spiritual, maka keputusan yang  telah dihasilkan oleh kecerdasan akalnya akan berpotensi menyulut masalah pada saat melaksanakan  keputusan tersebut.

Sebagai contoh,  sebuah keputusan yang diambil dalam  kondisi emosional tinggi,  hasilnya cenderung akan merugikan baik diri sendiri maupun pihak-pihak lainnya.  Atau sebuah keputusan yang diambil oleh seseorang dalam kondisi mengalami beban “stress”   berat,  kondisi tergesa-gesa, hanya berorientasi atas kepentingan pribadi  dan lain sebagainya,  maka cenderung menghasilkan keputusan yang merugikan berbagai pihak dan cenderung   tidak adil.

Apalagi, untuk mengeksekusi keputusan tersebut, dan kemudian menjalankannya.  Betul-betul tidak cukup hanya kecerdasan intelektual, karena, biasanya kita lantas berhubungan dengan berbagai  variabel di luar dan spiritual diri kita.  Disitulah dibutuhkan kecerdasan emosional dan spiritual yang tinggi.  Jika tidak, maka interaksi yang terjadi bakal berpotensi menyulut persoalan yang berkelanjutan.  Hal ini disebabkan oleh kurang bijaksana kita dalam menjalankan keputusan tersebut. 

Dari uraian tersebut, barangkali kita mulai dapat menarik kesimpulan,  bahwa yang disebut dengan “Akal” adalah “seluruh potensi kecerdasan yang dimilki  seseorang.  Baik yang melibatkan kecerdasan intelektual,  kecerdasan emosional, dan kecerdasan spirtiual”. Selain itu,  kita menangkap sebuah kefahaman bahwa potensi kecerdasan bisa berubah-ubah  kualitasnya---bisa semakin cerdas atau sebaliknya menjadi semakin bodoh.  Dan masing-masing orang berbeda-beda  potensi kecerdasannya.  Semuanya berjalan seiring dengan proses pembelajaran dan pengalaman yang dia alami selama proses kehidupannya.











Tidak ada komentar:

Posting Komentar