BAGAIMANAKAH KITA MEMAHAMI AKAL?
SEBUAH DIALOGIS
MENGGALI DAN MELENJITKAN POTENSI
DIRI
Bengkulu : Juni 2012.
Inspirator
: Nazamuddin (Anggota Senior
Satya Buana)
Untuk lebih memberikan pemahaman
yang lebih fokus tentang “akal dan
kesadaran”, maka kita perlu terlebih dahulu memberikan pengertian atau
batasan apakah sebenarnya “akal dan kesadaran” itu ? Kalau kita resapi, rasakan dan cermati dalam
diri kita masing-masing, barangkali kita akan sepakat mengatakan yang dikatakan
dengan “Akal” itu adalah “Seluruh Potensi Kecerdasan Intlektual yang
dimiliki oleh seseorang”. Tak
perduli, baik suku bangsanya apa, usianya berapa, latar belakang sosial,
budaya maupun kehidupan ekonomi, jenis kelamin dan lain sebagainya. Bahwa “akal” seseorang ditunjukkan
oleh seluruh potensi kecerdasan yang dia miliki. Semakin cerdas seseorang, maka semakin tinggi
potensi akalnya. Dan semakin tidak
cerdas atau bodoh seseorang, maka semakin rendah pula potensi akalnya.
Saat ini, persepsi kebanyakan
manusia tentang kecerdasan seseorang
bukan hanya terkait dengan “Kecerdasan Intelektual”, melainkan juga melibatkan “Kecerdasan
Emosional, dan Kecerdasan Spiritual”.
Jadi, bagaimana cara seseorang dapat menyelesaikan persoalan yang
dihadapinya, bisa menunjukkan seberapa
kuat akalnya. Atau dengan kata lain,
kekuatan akalnya akan menunjukkan seberapa besar “Potensi Kecerdasan”
yang di miliki.
Potensi kecerdasan manusia meliputi :
kemampuan memahami, kemampuan manganalisa, kemampuan berbuat
(mengeksekusi). Dalam proses
itu, yang terlibat bukan hanya Kecerdasan
Intelektual, melainkan juga Kecerdasan
Emosional dan Kecerdasan Spiritual.
Pada dua point pertama ---“Kemampuan Memahami dan Menganalisa”---barangkali
sangat dipengaruhi oleh faktor “Kecerdasan Intelektual”. Seseorang bisa saja memahami sesuatu
permasalahan dengan baik, jika kecerdasan intelektual cukup baik. Jika tidak, seseorang akan memngalami
penyimpangan, kekeliruan atau kesalahan (error
; bias) pemahaman dari yang semestinya terhadap apa yang telah ditangkap oleh indrawinya.
Dalam Firman-Nya Allah SWT, mengatakan Malaikat Jibril
sebagai penyampai wahyu Allah kepada Rasulullah, memiliki akal yang kuat dan
kecerdasan yang sangat tinggi. Jika
tidak, maka apa yang telah diperintahkan
Allah untuk disampaikan kepada manusia bakal mengalami distorsi pemahaman,
sehingga yang menerimapun akan mengalami hal sama bahkan bisa lebih
keliru. Hal ini dapat kita cermati dalam
firman-Nya dalam QS. An-Najm
(53) ayat 6 :
“Yang
mempunyai akal yang cerdas ; dan (Jibril
itu) menampakkan diri dengan rupa yang
asli”.
Begitulah potensi akal dan kecerdasan intelektual berperan pada
pemahaman permasalahan. Selanjutnya, “Kecerdasan
Emosional dan Kecerdasan Spiritual”,
akan sangat menentukan pada langkah berikutnya—point ke tiga dan ke
empat---yaitu proses pengambilan keputusan dan menjalankannya sesuai dengan
yang telah diprogramkan oleh “Kecerdasan Intelektual”.
Sebuah keputusan yang baik bukan
hanya ditentukan oleh hasil dari kemampuan “Kecerdasan Intelektual”, melainkan juga oleh kematangan “Emosional
dan Spiritual” seseorang. Meskipun, seseorang itu pintar banget, kalau tidak diikuti dengan kematangan secara emosional dan spiritual,
maka keputusan yang telah dihasilkan
oleh kecerdasan akalnya akan berpotensi menyulut masalah pada saat
melaksanakan keputusan tersebut.
Sebagai contoh, sebuah keputusan
yang diambil dalam kondisi emosional
tinggi, hasilnya cenderung akan
merugikan baik diri sendiri maupun pihak-pihak lainnya. Atau sebuah keputusan yang diambil oleh
seseorang dalam kondisi mengalami beban “stress” berat,
kondisi tergesa-gesa, hanya berorientasi atas kepentingan pribadi dan lain sebagainya, maka cenderung menghasilkan keputusan yang
merugikan berbagai pihak dan cenderung
tidak adil.
Apalagi, untuk mengeksekusi keputusan tersebut, dan kemudian
menjalankannya. Betul-betul tidak cukup
hanya kecerdasan intelektual, karena, biasanya kita lantas berhubungan dengan
berbagai variabel di luar dan spiritual
diri kita. Disitulah dibutuhkan
kecerdasan emosional dan spiritual yang tinggi.
Jika tidak, maka interaksi yang terjadi bakal berpotensi menyulut
persoalan yang berkelanjutan. Hal ini
disebabkan oleh kurang bijaksana kita dalam menjalankan keputusan
tersebut.
Dari uraian tersebut, barangkali kita mulai dapat menarik
kesimpulan, bahwa yang disebut dengan “Akal”
adalah “seluruh potensi kecerdasan yang dimilki seseorang.
Baik yang melibatkan kecerdasan intelektual, kecerdasan emosional, dan kecerdasan
spirtiual”. Selain itu, kita
menangkap sebuah kefahaman bahwa potensi kecerdasan bisa berubah-ubah kualitasnya---bisa semakin cerdas atau
sebaliknya menjadi semakin bodoh. Dan
masing-masing orang berbeda-beda potensi
kecerdasannya. Semuanya berjalan seiring
dengan proses pembelajaran dan pengalaman yang dia alami selama proses
kehidupannya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar