Jumat, 29 Juni 2012

CIRI-CIRI ORANG YANG MEMILIKI KECERDASAN QUR’ANI (INTELLEGENCE QUR’ANIC)


CIRI-CIRI ORANG YANG MEMILIKI  KECERDASAN QUR’ANI
(INTELLEGENCE QUR’ANIC)
SEBUAH DIALOGIS
MENGGALI DAN MELENJITKAN  POTENSI DIRI MELALUI AL-QUR’AN


        Secara garis besarnya  ciri-ciri orang yang telah meraih Qur’anic Quotient  berdasarkan kajian tentang Ulil Albab yang tercantum dalam 16 ayat dalam Al-Qur’an,  dapat disimpulkan paling tidak terdapat 15 kriteria atau karakter Ulil Albab yang dapat dibagi kedalam kelompok  IQ,  EQ  dan  SQ, sebagaimana berikut ini : 
 
A.   Kecerdasan Intelektual (IQ).

1.   Menyimak perkataan dan mengikuti yang baik (QS. AZ-Zummar (39) ayat 18).
2.   Mengetahui dan dapat membedakan antara yang benar dengan yang salah (QS.Ar-Ra’ad (13) ayat 19).
3.   Memiliki ilmu yang mendalam (QS. Ali Imaran (3) ayat 7).
4.   Mendapatkan hikmah (QS. Al-Baqarah (2) ayat 269).
5.   Senantiasa  memikirkan ciptaan Allah (QS.  Ali Imran (3) ayat 19 dan Az-Zummar (39) ayat 21).

B.  Kecerdasan  Emosional (EQ).

1.   Memenuhi janji dan tidak merusaknya  (QS.  Ar-Ra’ad (13) ayat 20).
2.   Silaturrahmi sesuai dengan perintah Allah (QS.  Ar-Ra’ad (13) ayat 21).
3.   Takut kepada Allah, adzab-Nya, dan hisab yang buruk (QS.  Ar-Ra’ad (13) ayat 21).
4.    Sabar karena mencari ridha Allah  (QS.  Ar-Ra’ad (13) ayat 22).
5.    Gemar mendermakan harta (QS.  Ar-Ra’ad (13) ayat 22).

C.  Kecerdasan  Spiritual  (SQ). 

1.   Beriman dan Bertaqwa  (QS. Al-Baqarah (2) ayat 179-197; Al-Maidah (5) ayat 100 dan Ath-Thalaq (65) ayat 10).
2.    Banyak  berdzikir kepada Allah, dimanapun, kapanpun  (QS. Ali Imran (3) ayat 191).
3.   Senantiasa berdo’a kepada Allah dan mengharapkan rahmat-Nya (QS. Ali Imran (3) ayat 191-194).
4.   Berpegang teguh dengan Al-Qur’an  (QS. Shad (38) ayat 29).
5.   Mendirikan shalat dan banyak beribadah pada malam hari (QS.Ar-Ra’ad (13) ayat 22 dan  AZ-Zummar (39) ayat 9).

Merujuk  kepada pendapat  DR. Wahbah Az-Zuhaily  dalam “Kitab At-Tafsir al-Munir fi al-‘Aqidah wa  as-Syari’ah wa al-Manhaj  (Darul Fikri,  1998)”, meriwayatkan perkataan Ibnu Abbas--sahabat Nabi  yang mendapat gelar ”Kiyai Umat” dari Khalid  Muhammad Khalid  penulis “Kitab Rijalu Haula Rasul (Darul Maqatham,   1994)”—mengatakan : “Al-Fatihah adalah inti dari Al-Qur’an.   Dan Basmalah –bismillahirrahmanirrahim—adalah inti dari surah Al-Fatihah”.  Dan semasa masih kecil Rasulullah pernah menepuk-nepuk  punggung beliau  sambil berdo’a :  “Ya Allah, berikanlah ilmu agama yang mendalam dan ajarkan kepadanya ta’wil (Al-Qur’an)”. 

Dari dua belas nama Al-Fatihah, yang disepakati para ulama ada tiga nama yang menguatkan pendapat Ibnu Abbas, yaitu : Fatihah Al-Kitab; Ummu Al-Kitab dan Ummu Al-Qur’an, jadi Al-Fatihah  sebagai pembuka dan induk dari Al-Qur’an.  Maka dari itu, jika Al-Qur’an merupakan prinsip hidup kita, sedangkan Al-Fatihah adalah inti Al-Qur-an, maka sudah jelas didalam Al-Fatihah terdapat prinsip hidup, termasuk diantaranya prinsip untuk menggali dan melenjitkan potensi diri manusia hidup.  Tinggal tergantung kata hati masing-masing, mau mencari prinsip hidup atau tidak ?  Sebab di dalam “ulumi Al-Qur’an (ilmu-ilmu Al-Qur’an)”   terdapat  “manthuq (arti yang tersurat)” dan “mafhum (arti yang tersirat)”,   yang perlu kita pelajari dan digali.

         Pada waktu kita menunaikan shalat sehari-semalam, minimal kita membaca surah Al-Fatihah sebanyak 17 kali.  Namun, pernahkan kita mencoba memikirkan, paling tidak merenungkan apa sih !  makna bacaan tersebut –baik tersirat maupun yang tersurat.  Kalau begitu,  baik bagi yang sudah maupun bagi yang belum memahami atau merenungkannya,  kita mencoba menggali makna yang tersimpan di dalam Surah Al-Fatihah berdasarkan “7
Prinsip Melenjitkan Potensi Diori melalui  Kecerdasan Al-Qur-an”.

Pertama    :  Awali Segala Sesuatu dengan Ucapan Basmalah.

Rasulullah pernah bersabda :  “Sesungguhnya (hasil) setiap amal perbuatan tergantung dengan niat” (HR. Imam Bukhari).  Artinya buah yang akan kita panen setelah melenjitkan potensi diri nanti, sangatlah tergantung pada benih yang kita tanam,  benihnya itu adalah “Niat”.  Ayat pertama--Bismillahirrahmanirrahim (Dengan Nama Allah Yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang)— dari surah Al-Fatihah,  telah memberikan pelajaran pertama kepada kita, apapun yang akan  kita lakukan  mulailah dengan Niat “Atas Nama Allah; Karena-Nya; dan Untuk-Nya semata”.  

Semakin Ikhlas niat ini kita pasangkan dalam jiwa kita, maka akan semakin bermakna setiap aktivitas yang  kita lakukan.  Namun sebaliknya, jika niat ini hanya sekedar basa basi, atau katakanlah setengah terpaksa  tanpa penghayatan yang mendalam,  maka apapun yang kita lakukan akan kehilangan makna  atau hasilnya basa basi juga.  Nah ! disinilah letak perbedaan konsep-konsep kecerdasan yang dianut oleh Dunia Barat,  dengan konsep kecerdasan di dalam Al-Qur’an (Qur’anic Quotient).  Karena Kecerdasan  berdasarkan Al-Qur’an  (Qur’anic Quotient) berpusat pada Allah (Allah-Center), sedangkan pusat kecerdasan dari ilmu lain berpusat pada diri manusia (Antropo-centre). 

Langkah-langkah praktis penerapan prinsip satu adalah:  Carilah waktu dan tempat yang kondisif; tenang; nyaman; rileks untuk melakukan “Majlis Iman” sebagaimana yang ditempuh--oleh sahabat Nabi Ibnu Rawahah--, yaitu merenungi diri sejenak.  Atau disebut juga dengan “Melaksanakan Komunikasi Internal Diri”, yaitu menyingkirkan seluruh wujud di luar diri, dan kemudian, secara aktif,  bertanya tentang keberadaan diri.

Terlebih dahulu kosongkan akal;  pikiran; rasionalitas atau   logika otak,  kemudian  coba tanyakan tentang “Niat Kita” kepada Bathin (qolbu; hati nurani; jiwa)  kita,  apakah tujuan kita menggali dan melenjitkan potensi diri ?  Dengarkan semua  jawaban yang muncul dari hati nurani.  Apapun jawabannya “copy dalam file” yang sudah terprogram  dalam “drive qalbu”.  Lalu lanjutkan pertanyaannya,  Apakah kita melakukan semua ini karena Allah ?  Jika jawaban “Ya”, ulangi kembali,  jika jawaban tetap “Ya” maka  “Save”  jawaban itu di dalam hati.  Maka mulailah melangkah dengan mengucapkan “Bismillahirrahmanirrahim”.  Namun sebaliknya jika jawabannya  “Tidak”, berarti masih ada keraguan, akibat ada kebocoran informasi dari logika,  ulangi perenungan awal dan ulangi terus sampai  sampai ada jawaban “Ya” dari hati nuraninya. 

Kedua       :   Terimalah Diri Kita Apa  Adanya.

Ciri-ciri utama orang yang menyandang gelar Ulil Amri dan Qur’anic Quotient  adalah beriman ke pada Allah sesuai dengan  ajaran Al-Qur’an dan Sunah Rasul-Nya.  Jadi ketika kita melihat diri kita, seharusnya kita melihatnya  malalui kaca mata iman.  Menurut  sabda Rasulullah yang dimaksud dengan “iman” itu  adalah “setengahnya berada pada syukur dan separonya lagi ada pada sabar”.  Itulah sebabnya, kita harus bersyukur ketika kita memperoleh nikmat sesuai dengan apa yang kita inginkan dari  Allah.  Sebaliknya kita harus bersabar atas setiap musibah yang menimpa kita, yaitu apa saja yang tidak sesuai dengan yang kita inginkan.

Selanjutnya kita harus mampu membedakan mana yang bisa kita ubah dan mana  yang  tidak bisa kita ubah dalam diri kita, contohnya pikiran, perasaan, kebiasaan kita dan seterusnya adalah sesuatu yang bisa kita ubah.  Sedangkan sesuatu yang tidak bisa kita ubah adalah hari, jam, tanggal, tahun, asal  kelahiran kita; ras, suku bangsa; jenis kelamin;  orang tua kita;  pengalaman  hidup kita sebelumnya; dan seterusnya.  Ubahlah segala sesuatu yang bisa kita ubah, sebaliknya terimalah dengan ikhlas segala sesuatu  yang memang tidak bisa kita ubah, jangan disesali.

Terimalah keadaan kita apa adanya dan  yang penting,  bukan masa lalu yang kita ubah atau lepaskan lah keterkungkungan kita terhadap semua masa lalu, dan rubahlah pikiran kita, perasaan, dan sikap kita terhadap masa lalu.  Yang penting  kita yakini, bahwa Allah tetap akan memberikan kesempatan kepada kita merubah segala sesuatu yang dapat kita ubah dan menerima apa saja yang tidak bisa kita ubah, kemudian ucapkanlah “Al-hamdulillahi rabbil ‘alamin” (Segala puji bagi Allah,  Tuhan semesta alam”,  atas semua nikmat yang telah Ia berikan kepada kita.  

Nabi telah bersabda :  “Sungguh sangat mengagumkan orang yang beriman.  Segala urusannya adalah baik baginya.  Dan itu terjadi, kecuali hanya pada orang yang beriman.  Jika ia mendapatkan nikmat, ia bersyukur. Maka itu merupakan kabaikan bagi dirinya.  Apabila ditimpa musibah, ia bersabar.  Maka itu merupakan kebaikan bagi dirinya.  (HR.  Muslim dan Ahmad)”.

Langkah praktis prinsip dua ini adalah: Lakukan lagi “Majlis Iman” Ibnu Rawahah :  merenung sejenak gunakan “kesadaran diri (yaqdzah/self awarness)”  untuk melihat  apa yang telah terjadi (pengalaman hidup) dan apa yang sedang terjadi (kondisi hidup saat ini) pada diri anda.  Lalu aktifkan “suara hati nurani  (bashirah/conscience)” dalam diri anda.  Kemudian catatlah mana yang bisa anda ubah dan mana yang tidak bisa.  Dari data diri anda tersebut “gunakanlah  (use it)” apa yang anda bisa ubah sebagai bahan pelajaran untuk merubah diri atau melenjitkan potensi diri, dan bersyukurlah.  Sedangkan yang tidak bisa anda rubah, maka abaikan saja  “(lose it)”, dan bersabarlah !.

Ketiga       :    Berikanlah Segala Sesuatu yang Terbaik.

Nabi pernah bersabda :  “Tidak pernah akan rugi orang yang beristikharah dan tidaklah menyesal orang bermusyawarah” (HR. Imam Malik).   Istikharah adalah mendiskusikan suatu perseolan kepada Allah.  Sedangkan Musyawarah adalah mendiskusikan masalah kepada manusia.  Keduanya bertujuan ingin mencari solusi terbaik dari persoalan yang sedang dihadapi.    Agar kita memperoleh hasil yang terbaik,  sebelum kita memohon petunjuk  kepada Allah dan meminta pendapat kepada sesama manusia,  maka berilah yang terbaik terlebih dahulu kepada Allah dan manusia dengan cara menyambung tali kasih sayang kepada-Nya (hablum minallah) dan kepada sesama manusia  (hablum minannas). 

Langkah praktis prinsip ke tiga adalah

 Pertama    ;   bila selama ini kita termasuk orang yang lalai melaksanakan kewajiban kepada Allah, terutama shalat lima waktu, maka cepat-cepatlah bertobat dan perbaikilah,   kemudian lakukan sahalat istikharah dua rakaat terutama terhadap persoalan yang membingungkan.  Bertanyalah dan mintalah kepada Allah, dengarlah baik-baik  jawabannya melalui bisikan qalbu anda yang paling dalam. 

 Kedua   ;  setelah kita minta fatwa dari hati nurani dan Allah, berdiskusilah kepada orang yang paling anda percayai, dan tentunya memiliki  pemahaman yang tinggi, ceritakan keinginan  anda unntuk melenjitkan potensi diri  dan buatlah rencana untuk menjalin hubungn lebih erat kepada Allah dan sesama manusia.

Ketiga   :    Lihat  Impian  Masa  Depan.

Menurut Sabda Rasulullah  :  “Barang siapa menjadikan  akhirat sebagai impian, Allah akan menjadikan kekayaan dan rasa cukup dalam hatinya,  mengumpulkan yang tercerai berai darinya dan dunia mendatanginya dalam keadaan hina.  Dan barang siapa menjadikan dunia sebagai impiannya Allah akan menjadikan kefakiran dihadapannya, mencerai-beraikan  urusannya  dan dunia tidak datang kepadanya, kecuali yang telah disempitkan kepadanya”.

“Maliki yaumi ad-din” (Yang menguasai Hari Pembalasan).  Inilah prinsip yang lebih dahsyat dari prinsip “Mulai dengan Akhir dalam Pikiran”—Merujuk Pada Tujuan Akhir--  dalam pernyataan Stephen R. Covey .  Allah akan mengajak kita membayangkan “yaumi ad-din”  (hari pembalasan), semakin jelas hari pembalasan itu, maka hidup kita akan semakin baik.   

Ke empat:  Langkah praktis menuju prinsip ke empat adalah :

Gunakan imaginasi anda  (fikrah/imagination) untuk memvisualisasikan (menggambarkan dalam pikiran) saat di alam akhirat ;  alam kubur; detik-detik menjelang  kematian dan beberapa tahun yang akan datang (5, 10 , 40 tahun dstnya), sebagai berikut : 

 * Apa  jawaban  yang  anda  peroleh saat  memvisualisasikan  akhirat, bertanyalah   kepada diri anda.

 *  Apa jawaban yang anda peroleh saat memvisualisasikan diri anda sedang berada di alam kubur,  bertanyalah kepada diri anda.

 *  Apa jawaban yang anda peroleh saat memvisualisasikan diri anda sedang menghadapi sakratul maut, bertanyalah kepada diri anda.
 
 *  Apa  jawaban  yang  anda  peroleh  saat bertanya kepada diri anda   sebagai hamba Allah.
   
 *  Apa  jawaban  yang   anda  peroleh saat bertanya kepada diri anda sebagai  seorang pribadi.

 *  Apa   jawaban   yang anda  peroleh  saat  bertanya  kepada diri anda sebagai  seorang  anak.

 *  Apa jawaban yang anda  peroleh saat  bertanya kepada diri  anda sebagai  seorang  orang tua.

 *  Apa   jawaban yang anda  peroleh  saat  bertanya  kepada  diri anda sebagai  seorang  karyawan atau pegawai.

 *  Apa   jawaban yang anda peroleh  saat  bertanya  kepada  diri  anda sebagai  seorang  anggota masyarakat.

Kelima      :    Temukanlah Potensi dan Peluang  Dalam  Diri.

Menurut Sabda Rasulullah :  “Mukmin yang kuat lebih baik dan lebih Allah cintai dari pada Mukmin yang lemah.  Walaupun keduanya tetap memiliki kebaikan–potensi.  Seriuslah terhadap sesuatu yang bermanfaat bagimu dan minta bantuan kepada Allah, serta jangan bersikap lemah.  Jika ada sesuatu yang menimpamu, jangan bilang, “Andaikan aku melakukan ini, pasti akan begini, andaikan aku melakukan begitu, pasti akan begitu “.   Tetapi katakanlah,  “Inilah takdir  Allah, apa yang Dia kehendaki pasti tejadi, sebab kata “berandai-andai”--kalau begini, kalau begitu—akan membuka tindakan setan” (HR. Muslim).

Pernah nabi bertemu dengan seorang pengemis meinta-minta kepada nabi, tapi nabi tidak memberikannya. Dan Nabi kemudian bertanya kepada pengemis tersebut :  Apa  yang  Kamu  miliki ?  Pertanyaan seperti ini mengandung makna bahwa kita dituntut  untuk hidup mandiri (independensi) seperti yang dikatan oleh Stephen R. Covey.   Jadi kunci utama untuk melakukan kemandirian itu adalah  dengan menggantungkan diri sepenuhnya hanya kepada Allah semata,   tidak kepada makhluk yang lain.

Ungkapan dalam surah Al-Fatihah ayat 5—“Iyyaka na’budu wa iyyaka nasta’in” (Hanya Engkaulah yang kami sembah dan  hanya kepada Engkaulah kami mohon pertolongan)--  adalah merupakan sebuah penguatan  terhadap diri agar kita hidup mandiri tidak bergantung kepada makhluk-Nya.

Jika surah Al-Fatihah ini kita hayati betul, maka akan muncul sifat tawadhu’  (QS.  Al-Furqan (25) ayat 63).  Orang Tawadhu’ adalah orang yang melihat dirinya secara objektif,  apa adanya tanpa imbuhan, tidak menutupi baik kelebihan maupun kekurangannya.  Orang tawadhu’ adalah orang yang bersyukur atas kelebihannya dengan cara memberikannya apa yang ia miliki  untuk membantu orang lain dan bersabar atas kekurangan dirinya dengan cara belajar  dari siapa saja.

Langkah praktis prinsip lima adalah:  mungkin anda pernah mempelajari konsep Problem Solving  SWOT (Strength,  Weakness, Opportunity dan Treatment).  Kemudian luangkan waktu anda untuk mengajukan pertanyaan Rasulullah  kepada diri anda “Apa yang anda miliki ?” Arahkan pertanyaan ini  ke “dalam diri “ anda.  Perhatikan  kelebihan (strength) dan kekurangan (weakness)  yang anda miliki.  Kemudian arahkan pertanyaan yang sama di  “luar”  diri anda—keluarga, sekolah, lingkungan dll.  Perhatikan kesempatan (opportunity) dan rintangan  (treatment).  Buatlah empat kolom di atas kertas dan tulis jawaban anda sesuai dengan kategori kekuatan kelemahan, peluang dan tantangan

Keenam    :     Rumuskalah Cara Meraih Impian.

Sabda Rasulullah “Iman  itu bukan sekedar angan-angan kosong, bukan buah bibir,   tapi  tertancap  dalam  hati  dan  dibuktikan  dengan  tindakan”  (HR. Ad Dailami).  Hadis ini lebih menegaskan kepada kita bahwa sebuah impian itu harus ada tindakan nyata untuk meraihnya.   Iman itu keyakinan yaitu keyakinan bertemu dengan Allah.  Keyakinan yang disertai oleh tindakan, inilah yang disebut dengan “harapan”.  Menurut  seorang  psikholog  C.R.  Snyder “harapan” adalah “yakin bahwa kamu mempunyai kemauan maupun cara unrtuk mencapai sasaran kamu apa pun sasaran kamu itu”.
                    
Biasanya manakala terjadi kesenjangan antara impian dengan tindakan akan melahirkan ketidakpercayaan diri, kemalasan, keputus-asaan, kehilangan arah hidup (disorientasi), dan akhirnya, keterpecahan pribadi (split personality).  Sebaliknya sekecil apa pun tindakan yang kita targetkan  dan itu dapat kita raih, maka akan mendatang rasa percaya diri, semangat, harapan, hidup bermakna dan itegritas.

Dalam berbuat, kita butuh Juknis dan Juklak.  Petunjuk dalam bahasa Al-Qur’annya adalah “hidayah”.  Disinilah surah Al-Fatihah ayat 6 :”ihdinash shirath al-mustaqim” (Tunjukilah kami jalan yang lurus) menemukan makna, untuk meraih impian surga,  kita butuh petunjuk  “jalan  lurus” atau Islam. Kata  “shirath”  (jalan) sinonim  (muradif)  dari  kata “sabil” (jalan),  selalu dalam bentuk tunggal (mufrad) dan selalu berkaitan dengan  al-haqq (kebenaran).  Sedangkan jalan menuju al-bathil  (kesesatan) memakai kata plural  (jama’), yaitu “as-subul” (sebagai  contoh, baca QS. Al-An’am (6) ayat 153).   Ini mmbuktikan bahwa jalan kebenaran itu  hanya satu, yaitu  Islam, sedangkan jalan kesesetan  itu sangat  banyak dan tidak terhtung jumlahnya.   Maka sangat keliru, orang meyakini pluralisme agama; menganggap semua agama  benar dan sebagai jalan menuju syurgha.

Langkah  praktis prinsip ke enam adalah :  Gabungkan langkah praktis prinsip lima dan enam dalam bentuk naskah hidup  yang tertulis di atas kertas.  Dari semua yang telah divisualisasikan pada prinsip lima, simpulkan dalam bentuk sebuah kalimat yang pendek, jelas dan menggugah.  Inilah yang disebut dengan “Visi”.  Kemudian terjemahkan visi  ini dalam tujuan hidup  secara global, atau sering kita sebut dengan “Misi”.  Buat pernyataan misi pribadi. Terjemahkan visi dan  misi itu dalam bentuk target hidup, baik secara pribadi maupun sosial.  Dari sana, buatlah cetak biru “(blue print)” hidup yang mengambarkan keinginan kita dalam kurun waktu teretentu.


Ketujuh    :     Belajarlah  Dari Pengalaman  Masa Lalu

Rasulullah pernah bersabda “Bukanlah orang cerdas, kecuali pernah tergelincir .   Bukan  pula yang bijak, kecuali berpengalaman” (HR. Imam At-Timidzi).   Ini adalah sebuah isyarat bahwa sabda Rasulullah tersebut sejalan dengan metoda belajar “trial and error”—berani mencoba, meskipun akan salah—dalam menjalani hidup ini.  Mencoba walaupun gagal lebih baik dari gagal untuk mencoba.  Karena dari kegagalan tersebut akan diperoleh pengalaman.  Seperti Thomas Alfa Edison telah 1.000 kali gagal dalam percobaannya, lalu ia berkata : “Saya tidak gagal, tapi saya telah menemukan 1.000 cara yang salah”.

Dari prinsip 1 sampai 6 terfokus pada diri sendiri.  Dalam Surah Al-Fatihah  ayat terakhir “Shirathalladzina an’amta ‘alaihim, ghairil maghdhubi ‘alaihim wa ladhdhallin” (Yaitu jalan  orang-orang yang telah Engkau berikan nikmat kepada mereka; bukan (jalan)  mereka yang dimurkai dan bukan (pula jalan) mereka yang sesat).

Dalam ayat terakhir surah Al-Fatihah, Allah  menceritakan  tentang  jalan orang mendapat nikmat  Allah, yaitu jalan para Nabi, Asd-shiddiqin, asy-syuahada, dan ash-shalihin (baca QS. An-Nisa (4) ayat 69, inilah jalan keimanan.  Kemudian Allah menceritakan jalan orang-orang yang mendapat,  murka dan tersesat.  Berdasarkan keterangan Ibnu Katsir, Rasulullah menegaskan bahwa yang dimaksud dengan “al-maghdubi”  (yang dimukai Allah) adalah yang mengetahui kebenaran, tapi tidak mau mengamalkannya.  Dan “adhadhallin” orang yang mengamalkan sesuatu tanpa mengetahui kebenarannya. 

 Langkah praktis prinsip ketujuh adalah:  pelajarilah pengalaman hidup orang yang sukses dan orang yang gagal, baik dalam urusan duniawi maupun ukhrawi.  Pelajarilah dahulu perjalan sejarah (Tarikh) Nabi Muhammad SAW.  Karena belaiau adalah contoh profil manusia sukses di dunia dan di akhirat.  Setelah kita benar-benar memahami seluruh kehidupan nabi, baru kita mempelajari kisah-kisah yang ada di dalam Al-Qur’an, baik kisah para Nabi dan Rasul maupun  kisah para musuh Allah.  Setelah itu para tokoh-tokoh dunia, baik zaman dulu maupun zaman kini.  Buatlah sinopsis biografi tokoh yang sedang anda pelajari, kemudian pelajari sebab-sebab kesusksesan dan kegagalan mereka, baik itu berhubungan dengan diri mereka sendiri, keluarga, masyarakat dan seterusnya.

Itulah 7 prinsip untuk melenjitkan potensi diri  dengan Kecerdasan Qur’ani, dengan mengutip Hadis, sebab  “role model”—contoh, panutan, atau idola—dalam melaksanakan kecerdasan  Qur’ani adalah  Nabi Muhammad dan beliau adalah laksana Al-Qur’an berjalan.  Sebagai kesimpulan dari  uraian  ini  adalah :

Pertama    :  Kecerdasan  Qurani bersumber dari Al-Qur’an dan  Hadist  sebagai 
                    penjelas Al-Qur’an  atau dari siapa saja yang tidak bertentangan 
                    dengan   ke duanya.

Kedua        : Tokoh kecerdasan Qur’ani adalah    Nabi Muahammad SAW.

Ketiga        : Tujuan    utama    kecerdasan   Qur’ani  adalah  melenjitkan    
                    potensi   diri  agar mampu melanjutkan perjuangan Nabi  dan 
                    rasul-Nya atau menjadi pewaris dari para nabi  (warisatul anbiya’).

Keempat  :   Ciri utama Kecerdasan Qur’ani adalah cerdas spiritual dalam 
                    berhubungan dengan Allah sebagai ‘abid (taat Ibadah), cerdas 
                        emosional dalam berhubungan dengan manusia sebagai da’i 
                        (menyeru manusia ke jalan Allah) dan cerdas intelektual dalam 
                        berhubungan dengan alam semesta  sebagai khalifah         
                   (memak murkan bumi).

Demikian uraian  singkat yang dapat kami sampaikan, dan kami yakin uraian yang sangat sederhana ini belum mampu  memuaskan anda.   Percayalah tidak ada kepuasan mutlak  diatas muka bumi ini karena semua kepuasan bersifat serba relative, dan kepuasan  mutlak hanya ada disisi Allah SWT.   Kita hanya mencoba melakukan pendekatan-pendekatan terhadap sebuah  pemahaman.  Namun paling tidak kita  telah mencoba menayangkan sebagian kecil saja  pemahaman dasar tentang penjelasan utuh tentang Diri Manusia berdasarkan keterangan yang tercantum dalam Ayat-ayat Allah  baik yang berdimensi fisik maupun metafisik.  Mudahan-mudahan bermanfaat  dalam memperkaya pemahaman dan pengetahuan kita,  maaf  dan terima kasih. 

Bengkulu,  29  Juni  2012.
Inspirator :   Nazamuddin (Senior Satya Buana Bengkulu).  



Tidak ada komentar:

Posting Komentar