CIRI-CIRI ORANG YANG MEMILIKI KECERDASAN QUR’ANI
(INTELLEGENCE QUR’ANIC)
SEBUAH
DIALOGIS
MENGGALI DAN MELENJITKAN POTENSI DIRI MELALUI AL-QUR’AN
Secara
garis besarnya ciri-ciri orang yang
telah meraih Qur’anic Quotient berdasarkan kajian tentang Ulil Albab yang
tercantum dalam 16 ayat dalam
Al-Qur’an, dapat disimpulkan paling
tidak terdapat 15 kriteria atau karakter Ulil Albab yang dapat dibagi kedalam
kelompok IQ, EQ dan SQ,
sebagaimana berikut ini :
A.
Kecerdasan Intelektual (IQ).
1.
Menyimak perkataan dan mengikuti yang baik (QS. AZ-Zummar (39) ayat 18).
2.
Mengetahui dan dapat membedakan antara yang benar dengan yang salah (QS.Ar-Ra’ad (13) ayat 19).
3.
Memiliki ilmu yang mendalam (QS. Ali
Imaran (3) ayat 7).
4.
Mendapatkan hikmah (QS. Al-Baqarah
(2) ayat 269).
5.
Senantiasa memikirkan ciptaan Allah (QS.
Ali Imran (3) ayat 19 dan Az-Zummar (39) ayat 21).
B. Kecerdasan Emosional (EQ).
1.
Memenuhi janji dan tidak merusaknya
(QS. Ar-Ra’ad (13) ayat 20).
2.
Silaturrahmi sesuai dengan perintah Allah (QS. Ar-Ra’ad (13) ayat 21).
3.
Takut kepada Allah, adzab-Nya, dan hisab yang buruk (QS. Ar-Ra’ad (13) ayat 21).
4.
Sabar karena mencari ridha
Allah (QS. Ar-Ra’ad (13) ayat 22).
5.
Gemar mendermakan harta (QS.
Ar-Ra’ad (13) ayat 22).
C. Kecerdasan Spiritual
(SQ).
1.
Beriman dan Bertaqwa (QS. Al-Baqarah (2) ayat 179-197; Al-Maidah
(5) ayat 100 dan Ath-Thalaq (65) ayat 10).
2.
Banyak berdzikir kepada Allah, dimanapun,
kapanpun (QS. Ali Imran (3) ayat 191).
3.
Senantiasa berdo’a kepada Allah dan mengharapkan rahmat-Nya (QS. Ali Imran (3) ayat 191-194).
4.
Berpegang teguh dengan Al-Qur’an (QS. Shad (38) ayat 29).
5.
Mendirikan shalat dan banyak beribadah pada malam hari (QS.Ar-Ra’ad (13) ayat 22 dan
AZ-Zummar (39) ayat 9).
Merujuk kepada
pendapat DR. Wahbah Az-Zuhaily dalam “Kitab At-Tafsir al-Munir fi al-‘Aqidah
wa as-Syari’ah wa al-Manhaj (Darul Fikri,
1998)”, meriwayatkan perkataan Ibnu
Abbas--sahabat Nabi yang mendapat
gelar ”Kiyai Umat” dari Khalid
Muhammad Khalid penulis “Kitab Rijalu Haula Rasul (Darul
Maqatham, 1994)”—mengatakan : “Al-Fatihah adalah inti dari Al-Qur’an. Dan Basmalah
–bismillahirrahmanirrahim—adalah inti dari surah Al-Fatihah”. Dan semasa masih kecil Rasulullah pernah
menepuk-nepuk punggung beliau sambil berdo’a : “Ya
Allah, berikanlah ilmu agama yang mendalam dan ajarkan kepadanya ta’wil
(Al-Qur’an)”.
Dari dua belas nama Al-Fatihah, yang disepakati para
ulama ada tiga nama yang menguatkan pendapat Ibnu Abbas, yaitu : Fatihah
Al-Kitab; Ummu Al-Kitab dan Ummu Al-Qur’an, jadi Al-Fatihah sebagai pembuka dan induk dari
Al-Qur’an. Maka dari itu, jika Al-Qur’an
merupakan prinsip hidup kita, sedangkan Al-Fatihah adalah inti Al-Qur-an, maka
sudah jelas didalam Al-Fatihah terdapat prinsip hidup, termasuk diantaranya
prinsip untuk menggali dan melenjitkan potensi diri manusia hidup. Tinggal tergantung kata hati masing-masing,
mau mencari prinsip hidup atau tidak ?
Sebab di dalam “ulumi Al-Qur’an
(ilmu-ilmu Al-Qur’an)”
terdapat “manthuq (arti yang tersurat)” dan “mafhum (arti yang tersirat)”, yang perlu kita pelajari dan digali.
Pada waktu
kita menunaikan shalat sehari-semalam, minimal kita membaca surah Al-Fatihah
sebanyak 17 kali. Namun, pernahkan kita mencoba memikirkan,
paling tidak merenungkan apa sih ! makna
bacaan tersebut –baik tersirat maupun yang tersurat. Kalau begitu,
baik bagi yang sudah maupun bagi yang belum memahami atau merenungkannya, kita mencoba menggali makna yang tersimpan di
dalam Surah Al-Fatihah berdasarkan “7
Prinsip Melenjitkan Potensi Diori melalui Kecerdasan Al-Qur-an”.
Pertama : Awali Segala Sesuatu dengan Ucapan Basmalah.
Rasulullah pernah bersabda : “Sesungguhnya
(hasil) setiap amal perbuatan tergantung dengan niat” (HR. Imam Bukhari). Artinya buah yang akan kita panen setelah
melenjitkan potensi diri nanti, sangatlah tergantung pada benih yang kita
tanam, benihnya itu adalah “Niat”.
Ayat pertama--Bismillahirrahmanirrahim
(Dengan Nama Allah Yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang)— dari surah
Al-Fatihah, telah memberikan pelajaran
pertama kepada kita, apapun yang akan
kita lakukan mulailah dengan Niat
“Atas Nama Allah; Karena-Nya; dan
Untuk-Nya semata”.
Semakin Ikhlas niat ini kita pasangkan dalam jiwa kita,
maka akan semakin bermakna setiap aktivitas yang kita lakukan.
Namun sebaliknya, jika niat ini hanya sekedar basa basi, atau katakanlah
setengah terpaksa tanpa penghayatan yang
mendalam, maka apapun yang kita lakukan
akan kehilangan makna atau hasilnya basa
basi juga. Nah ! disinilah letak
perbedaan konsep-konsep kecerdasan yang dianut oleh Dunia Barat, dengan konsep kecerdasan di dalam Al-Qur’an (Qur’anic Quotient). Karena Kecerdasan berdasarkan Al-Qur’an (Qur’anic Quotient)
berpusat pada Allah (Allah-Center),
sedangkan pusat kecerdasan dari ilmu lain berpusat pada diri manusia (Antropo-centre).
Langkah-langkah praktis penerapan prinsip satu adalah: Carilah waktu dan
tempat yang kondisif; tenang; nyaman; rileks untuk melakukan “Majlis Iman” sebagaimana yang
ditempuh--oleh sahabat Nabi Ibnu Rawahah--,
yaitu merenungi diri sejenak. Atau
disebut juga dengan “Melaksanakan
Komunikasi Internal Diri”, yaitu menyingkirkan seluruh wujud di luar diri,
dan kemudian, secara aktif, bertanya
tentang keberadaan diri.
Terlebih dahulu kosongkan
akal; pikiran; rasionalitas atau logika otak, kemudian
coba tanyakan tentang “Niat Kita”
kepada Bathin (qolbu; hati nurani; jiwa) kita,
apakah tujuan kita menggali dan melenjitkan potensi diri ? Dengarkan semua jawaban yang muncul dari hati nurani. Apapun jawabannya “copy dalam file” yang sudah terprogram dalam “drive
qalbu”. Lalu lanjutkan
pertanyaannya, Apakah kita melakukan
semua ini karena Allah ? Jika jawaban “Ya”, ulangi kembali, jika jawaban tetap “Ya” maka “Save”
jawaban itu di dalam hati. Maka
mulailah melangkah dengan mengucapkan “Bismillahirrahmanirrahim”. Namun sebaliknya jika jawabannya “Tidak”,
berarti masih ada keraguan, akibat ada kebocoran informasi dari logika, ulangi perenungan awal dan ulangi terus
sampai sampai ada jawaban “Ya” dari hati nuraninya.
Kedua : Terimalah Diri Kita Apa Adanya.
Ciri-ciri utama orang yang menyandang gelar Ulil Amri dan Qur’anic Quotient adalah beriman ke pada Allah sesuai
dengan ajaran Al-Qur’an dan Sunah
Rasul-Nya. Jadi ketika kita melihat diri
kita, seharusnya kita melihatnya malalui
kaca mata iman. Menurut sabda Rasulullah yang dimaksud dengan “iman” itu adalah “setengahnya
berada pada syukur dan separonya lagi ada pada sabar”. Itulah sebabnya, kita harus bersyukur ketika
kita memperoleh nikmat sesuai dengan apa yang kita inginkan dari Allah.
Sebaliknya kita harus bersabar atas setiap musibah yang menimpa kita,
yaitu apa saja yang tidak sesuai dengan yang kita inginkan.
Selanjutnya kita harus mampu membedakan mana yang bisa
kita ubah dan mana yang tidak bisa kita ubah dalam diri kita,
contohnya pikiran, perasaan, kebiasaan kita dan seterusnya adalah sesuatu yang
bisa kita ubah. Sedangkan sesuatu yang
tidak bisa kita ubah adalah hari, jam, tanggal, tahun, asal kelahiran kita; ras, suku bangsa; jenis
kelamin; orang tua kita; pengalaman
hidup kita sebelumnya; dan seterusnya.
Ubahlah segala sesuatu yang bisa kita ubah, sebaliknya terimalah dengan
ikhlas segala sesuatu yang memang tidak
bisa kita ubah, jangan disesali.
Terimalah keadaan kita apa adanya dan yang penting,
bukan masa lalu yang kita ubah atau lepaskan lah keterkungkungan kita
terhadap semua masa lalu, dan rubahlah pikiran kita, perasaan, dan sikap kita
terhadap masa lalu. Yang penting kita yakini, bahwa Allah tetap akan
memberikan kesempatan kepada kita merubah segala sesuatu yang dapat kita ubah
dan menerima apa saja yang tidak bisa kita ubah, kemudian ucapkanlah “Al-hamdulillahi rabbil ‘alamin” (Segala
puji bagi Allah, Tuhan semesta alam”, atas semua nikmat yang telah Ia berikan
kepada kita.
Nabi telah bersabda :
“Sungguh sangat mengagumkan orang
yang beriman. Segala urusannya adalah
baik baginya. Dan itu terjadi, kecuali
hanya pada orang yang beriman. Jika ia
mendapatkan nikmat, ia bersyukur. Maka itu merupakan kabaikan bagi
dirinya. Apabila ditimpa musibah, ia
bersabar. Maka itu merupakan kebaikan
bagi dirinya. (HR. Muslim dan Ahmad)”.
Langkah praktis prinsip dua ini adalah: Lakukan lagi “Majlis
Iman” Ibnu Rawahah : merenung sejenak
gunakan “kesadaran diri (yaqdzah/self
awarness)” untuk melihat apa yang telah terjadi (pengalaman hidup) dan
apa yang sedang terjadi (kondisi hidup saat ini) pada diri anda. Lalu aktifkan “suara hati nurani
(bashirah/conscience)” dalam diri anda. Kemudian catatlah mana yang bisa anda ubah
dan mana yang tidak bisa. Dari data diri
anda tersebut “gunakanlah (use it)” apa yang anda bisa ubah sebagai
bahan pelajaran untuk merubah diri atau melenjitkan potensi diri, dan
bersyukurlah. Sedangkan yang tidak bisa
anda rubah, maka abaikan saja “(lose it)”, dan bersabarlah !.
Ketiga : Berikanlah Segala Sesuatu yang Terbaik.
Nabi pernah bersabda
: “Tidak pernah akan rugi orang yang
beristikharah dan tidaklah menyesal orang bermusyawarah” (HR. Imam Malik). Istikharah adalah mendiskusikan suatu
perseolan kepada Allah. Sedangkan Musyawarah adalah mendiskusikan masalah
kepada manusia. Keduanya bertujuan ingin
mencari solusi terbaik dari persoalan yang sedang dihadapi. Agar kita memperoleh hasil yang
terbaik, sebelum kita memohon
petunjuk kepada Allah dan meminta
pendapat kepada sesama manusia, maka
berilah yang terbaik terlebih dahulu kepada Allah dan manusia dengan cara
menyambung tali kasih sayang kepada-Nya (hablum
minallah) dan kepada sesama manusia (hablum minannas).
Langkah praktis prinsip ke tiga adalah :
Pertama ; bila selama ini kita termasuk orang yang
lalai melaksanakan kewajiban kepada Allah, terutama shalat lima waktu, maka
cepat-cepatlah bertobat dan perbaikilah,
kemudian lakukan sahalat istikharah dua rakaat terutama terhadap
persoalan yang membingungkan.
Bertanyalah dan mintalah kepada Allah, dengarlah baik-baik jawabannya melalui bisikan qalbu anda yang
paling dalam.
Kedua ; setelah kita
minta fatwa dari hati nurani dan Allah, berdiskusilah kepada orang yang paling
anda percayai, dan tentunya memiliki
pemahaman yang tinggi, ceritakan keinginan anda unntuk melenjitkan potensi diri dan buatlah rencana untuk menjalin hubungn
lebih erat kepada Allah dan sesama manusia.
Ketiga : Lihat
Impian Masa Depan.
Menurut Sabda Rasulullah
: “Barang siapa menjadikan akhirat
sebagai impian, Allah akan menjadikan kekayaan dan rasa cukup dalam
hatinya, mengumpulkan yang tercerai
berai darinya dan dunia mendatanginya dalam keadaan hina. Dan barang siapa menjadikan dunia sebagai
impiannya Allah akan menjadikan kefakiran dihadapannya, mencerai-beraikan urusannya
dan dunia tidak datang kepadanya, kecuali yang telah disempitkan
kepadanya”.
“Maliki yaumi ad-din” (Yang menguasai Hari Pembalasan). Inilah prinsip yang lebih dahsyat dari
prinsip “Mulai dengan Akhir dalam
Pikiran”—Merujuk Pada Tujuan Akhir--
dalam pernyataan Stephen R. Covey .
Allah akan mengajak kita membayangkan “yaumi ad-din” (hari pembalasan), semakin jelas hari
pembalasan itu, maka hidup kita akan semakin baik.
Ke empat: Langkah
praktis menuju prinsip ke empat adalah :
Gunakan imaginasi anda
(fikrah/imagination) untuk
memvisualisasikan (menggambarkan dalam pikiran) saat di alam akhirat ; alam kubur; detik-detik menjelang kematian dan beberapa tahun yang akan datang
(5, 10 , 40 tahun dstnya), sebagai berikut :
* Apa
jawaban yang anda
peroleh saat
memvisualisasikan akhirat,
bertanyalah kepada diri anda.
* Apa jawaban
yang anda peroleh saat memvisualisasikan diri anda sedang berada di alam
kubur, bertanyalah kepada diri anda.
* Apa
jawaban yang anda peroleh saat memvisualisasikan diri anda sedang menghadapi
sakratul maut, bertanyalah kepada diri anda.
* Apa
jawaban yang anda
peroleh saat bertanya kepada diri
anda sebagai hamba Allah.
* Apa jawaban
yang anda peroleh saat bertanya kepada diri anda
sebagai seorang pribadi.
* Apa jawaban yang anda peroleh
saat bertanya kepada diri anda sebagai seorang
anak.
* Apa jawaban yang anda peroleh saat
bertanya kepada diri anda
sebagai seorang orang tua.
* Apa jawaban yang anda peroleh
saat bertanya kepada
diri anda sebagai seorang karyawan atau pegawai.
* Apa
jawaban yang anda peroleh saat bertanya
kepada diri anda sebagai
seorang anggota masyarakat.
Kelima : Temukanlah Potensi dan Peluang Dalam
Diri.
Menurut Sabda Rasulullah : “Mukmin
yang kuat lebih baik dan lebih Allah cintai dari pada Mukmin yang lemah. Walaupun keduanya tetap memiliki
kebaikan–potensi. Seriuslah terhadap
sesuatu yang bermanfaat bagimu dan minta bantuan kepada Allah, serta jangan
bersikap lemah. Jika ada sesuatu yang
menimpamu, jangan bilang, “Andaikan aku melakukan ini, pasti akan begini,
andaikan aku melakukan begitu, pasti akan begitu “. Tetapi katakanlah, “Inilah takdir Allah, apa yang Dia kehendaki pasti tejadi,
sebab kata “berandai-andai”--kalau begini, kalau begitu—akan membuka tindakan setan”
(HR. Muslim).
Pernah nabi bertemu dengan seorang pengemis meinta-minta
kepada nabi, tapi nabi tidak memberikannya. Dan Nabi kemudian bertanya kepada
pengemis tersebut : Apa yang
Kamu miliki ? Pertanyaan seperti ini mengandung makna bahwa
kita dituntut untuk hidup mandiri
(independensi) seperti yang dikatan oleh Stephen
R. Covey. Jadi kunci utama untuk
melakukan kemandirian itu adalah dengan
menggantungkan diri sepenuhnya hanya kepada Allah semata, tidak kepada makhluk yang lain.
Ungkapan dalam surah Al-Fatihah
ayat 5—“Iyyaka na’budu wa iyyaka nasta’in” (Hanya Engkaulah yang kami sembah
dan hanya kepada Engkaulah kami mohon
pertolongan)-- adalah merupakan
sebuah penguatan terhadap diri agar kita
hidup mandiri tidak bergantung kepada makhluk-Nya.
Jika surah Al-Fatihah ini kita hayati betul, maka akan
muncul sifat tawadhu’ (QS.
Al-Furqan (25) ayat 63).
Orang Tawadhu’ adalah orang
yang melihat dirinya secara objektif,
apa adanya tanpa imbuhan, tidak menutupi baik kelebihan maupun kekurangannya. Orang tawadhu’
adalah orang yang bersyukur atas kelebihannya dengan cara memberikannya apa
yang ia miliki untuk membantu orang lain
dan bersabar atas kekurangan dirinya dengan cara belajar dari siapa saja.
Langkah praktis prinsip lima adalah: mungkin anda
pernah mempelajari konsep Problem
Solving SWOT (Strength, Weakness, Opportunity dan Treatment). Kemudian luangkan waktu anda untuk mengajukan
pertanyaan Rasulullah kepada diri anda “Apa yang anda miliki ?” Arahkan
pertanyaan ini ke “dalam diri “ anda.
Perhatikan kelebihan (strength) dan kekurangan (weakness) yang anda miliki. Kemudian arahkan pertanyaan yang sama di “luar”
diri anda—keluarga, sekolah, lingkungan dll. Perhatikan kesempatan (opportunity) dan rintangan
(treatment). Buatlah empat
kolom di atas kertas dan tulis jawaban anda sesuai dengan kategori kekuatan
kelemahan, peluang dan tantangan
Keenam : Rumuskalah Cara Meraih Impian.
Sabda Rasulullah “Iman itu bukan sekedar angan-angan kosong, bukan buah
bibir, tapi tertancap
dalam hati dan
dibuktikan dengan tindakan”
(HR. Ad Dailami). Hadis ini
lebih menegaskan kepada kita bahwa sebuah impian itu harus ada tindakan nyata
untuk meraihnya. Iman itu keyakinan
yaitu keyakinan bertemu dengan Allah.
Keyakinan yang disertai oleh tindakan, inilah yang disebut dengan “harapan”. Menurut
seorang psikholog C.R. Snyder “harapan” adalah “yakin bahwa kamu mempunyai kemauan maupun
cara unrtuk mencapai sasaran kamu apa pun sasaran kamu itu”.
Biasanya manakala terjadi kesenjangan antara impian
dengan tindakan akan melahirkan ketidakpercayaan diri, kemalasan,
keputus-asaan, kehilangan arah hidup (disorientasi),
dan akhirnya, keterpecahan pribadi (split
personality). Sebaliknya sekecil apa
pun tindakan yang kita targetkan dan itu
dapat kita raih, maka akan mendatang rasa percaya diri, semangat, harapan,
hidup bermakna dan itegritas.
Dalam berbuat, kita butuh Juknis dan Juklak. Petunjuk dalam bahasa Al-Qur’annya adalah “hidayah”. Disinilah surah Al-Fatihah ayat 6 :”ihdinash shirath al-mustaqim” (Tunjukilah kami
jalan yang lurus) menemukan makna, untuk meraih impian surga, kita butuh petunjuk “jalan lurus” atau Islam. Kata “shirath” (jalan) sinonim (muradif) dari
kata “sabil” (jalan), selalu dalam bentuk tunggal (mufrad) dan selalu berkaitan
dengan al-haqq (kebenaran). Sedangkan jalan menuju al-bathil (kesesatan)
memakai kata plural (jama’), yaitu “as-subul”
(sebagai contoh, baca QS. Al-An’am (6) ayat 153). Ini mmbuktikan bahwa jalan kebenaran
itu hanya satu, yaitu Islam, sedangkan jalan kesesetan itu sangat
banyak dan tidak terhtung jumlahnya.
Maka sangat keliru, orang meyakini pluralisme
agama; menganggap semua agama benar
dan sebagai jalan menuju syurgha.
Langkah praktis prinsip ke enam
adalah : Gabungkan langkah praktis prinsip
lima dan enam dalam bentuk naskah hidup
yang tertulis di atas kertas.
Dari semua yang telah divisualisasikan pada prinsip lima, simpulkan
dalam bentuk sebuah kalimat yang pendek, jelas dan menggugah. Inilah yang disebut dengan “Visi”.
Kemudian terjemahkan visi ini
dalam tujuan hidup secara global, atau
sering kita sebut dengan “Misi”. Buat pernyataan misi pribadi. Terjemahkan
visi dan misi itu dalam bentuk target
hidup, baik secara pribadi maupun sosial.
Dari sana, buatlah cetak biru “(blue
print)” hidup yang mengambarkan keinginan kita dalam kurun waktu teretentu.
Ketujuh : Belajarlah
Dari Pengalaman Masa Lalu
Rasulullah pernah bersabda “Bukanlah orang cerdas, kecuali pernah tergelincir . Bukan
pula yang bijak, kecuali berpengalaman” (HR. Imam At-Timidzi). Ini adalah sebuah isyarat bahwa sabda
Rasulullah tersebut sejalan dengan metoda belajar “trial and error”—berani mencoba, meskipun akan salah—dalam
menjalani hidup ini. Mencoba walaupun
gagal lebih baik dari gagal untuk mencoba.
Karena dari kegagalan tersebut akan diperoleh pengalaman. Seperti Thomas
Alfa Edison telah 1.000 kali
gagal dalam percobaannya, lalu ia berkata : “Saya
tidak gagal, tapi saya telah menemukan 1.000 cara yang salah”.
Dari prinsip 1 sampai 6 terfokus pada diri sendiri. Dalam Surah Al-Fatihah ayat terakhir “Shirathalladzina an’amta ‘alaihim, ghairil maghdhubi ‘alaihim wa
ladhdhallin” (Yaitu jalan orang-orang
yang telah Engkau berikan nikmat kepada mereka; bukan (jalan) mereka yang dimurkai dan bukan (pula jalan)
mereka yang sesat).
Dalam ayat terakhir surah Al-Fatihah, Allah menceritakan
tentang jalan orang mendapat nikmat Allah, yaitu jalan para Nabi, Asd-shiddiqin, asy-syuahada, dan
ash-shalihin (baca QS. An-Nisa (4)
ayat 69, inilah jalan keimanan.
Kemudian Allah menceritakan jalan orang-orang yang mendapat, murka dan tersesat. Berdasarkan keterangan Ibnu Katsir, Rasulullah menegaskan bahwa yang dimaksud dengan “al-maghdubi” (yang dimukai Allah) adalah yang
mengetahui kebenaran, tapi tidak mau mengamalkannya. Dan “adhadhallin”
orang yang mengamalkan sesuatu tanpa mengetahui kebenarannya.
Langkah praktis prinsip ketujuh adalah: pelajarilah pengalaman hidup orang yang
sukses dan orang yang gagal, baik dalam urusan duniawi maupun ukhrawi. Pelajarilah dahulu perjalan sejarah (Tarikh)
Nabi Muhammad SAW. Karena belaiau adalah
contoh profil manusia sukses di dunia dan di akhirat. Setelah kita benar-benar memahami seluruh
kehidupan nabi, baru kita mempelajari kisah-kisah yang ada di dalam Al-Qur’an,
baik kisah para Nabi dan Rasul maupun
kisah para musuh Allah. Setelah
itu para tokoh-tokoh dunia, baik zaman dulu maupun zaman kini. Buatlah sinopsis biografi tokoh yang sedang
anda pelajari, kemudian pelajari sebab-sebab kesusksesan dan kegagalan mereka,
baik itu berhubungan dengan diri mereka sendiri, keluarga, masyarakat dan
seterusnya.
Itulah 7 prinsip
untuk melenjitkan potensi diri dengan
Kecerdasan Qur’ani, dengan mengutip Hadis, sebab “role
model”—contoh, panutan, atau idola—dalam melaksanakan kecerdasan Qur’ani adalah Nabi Muhammad dan beliau adalah laksana
Al-Qur’an berjalan. Sebagai kesimpulan
dari uraian ini
adalah :
Pertama : Kecerdasan Qurani bersumber dari Al-Qur’an dan Hadist
sebagai
penjelas Al-Qur’an atau dari siapa saja yang
tidak bertentangan
dengan ke duanya.
Kedua : Tokoh kecerdasan Qur’ani adalah Nabi Muahammad SAW.
Ketiga : Tujuan utama kecerdasan
Qur’ani adalah melenjitkan
potensi diri agar mampu melanjutkan perjuangan Nabi
dan
rasul-Nya atau menjadi pewaris dari para
nabi (warisatul
anbiya’).
Keempat : Ciri
utama Kecerdasan Qur’ani adalah cerdas spiritual dalam
berhubungan dengan Allah sebagai ‘abid (taat
Ibadah), cerdas
emosional dalam berhubungan dengan manusia
sebagai da’i
(menyeru manusia ke jalan Allah) dan cerdas intelektual
dalam
berhubungan dengan alam semesta
sebagai khalifah
(memak murkan bumi).
Demikian uraian singkat yang dapat kami sampaikan,
dan kami yakin uraian yang sangat sederhana ini belum mampu memuaskan anda. Percayalah tidak ada kepuasan mutlak diatas muka bumi ini karena semua kepuasan
bersifat serba relative, dan kepuasan
mutlak hanya ada disisi Allah SWT.
Kita hanya mencoba melakukan pendekatan-pendekatan terhadap sebuah pemahaman.
Namun paling tidak kita telah
mencoba menayangkan sebagian kecil saja pemahaman dasar
tentang penjelasan utuh tentang Diri Manusia berdasarkan keterangan yang
tercantum dalam Ayat-ayat Allah baik
yang berdimensi fisik maupun metafisik.
Mudahan-mudahan bermanfaat dalam
memperkaya pemahaman dan pengetahuan kita, maaf dan terima kasih.
Bengkulu, 29 Juni
2012.
Inspirator :
Nazamuddin (Senior Satya Buana Bengkulu).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar