Sabtu, 30 Juni 2012

SINYAL SARAF DAN GUDANG INGATAN


                 SINYAL SARAF DAN GUDANG INGATAN
SEBUAH DIALOGIS
MENGGALI DAN MELENJITKAN  POTENSI DIRI
Bengkulu  :  Juni 2012.
Inspirator  :  Nazamuddin (Anggota Senior Satya Buana)



Satu kekurangan “alarm saraf otak” adalah bahwa pesan mendesak yang ditanggapi “Amygdala” kadang-kadang keliru,  terutama dalam kehidupan sosial manusia yang selalu berubah, tidak serupa dengan pengalaman masa lampau.  Sebagai gudang ingatan emosional, “Amygdala” menarik pengalaman, lalu membandingkan antara apa yang sedang terjadi sekarang ini dengan  yang terjadi pada masa yang lalu.  Nah, cara membandingkannya inilah yang bersifat “asosiatif”, yaitu hanya mencocokkan.  Bila salah satu unsur kunci situasi mirip dengan masa lalu, ‘amygdala’ akan menyebutkannya “cocok”.  Itulah sebabnya sirkuit ini bersifat semborono : tidak terlampau cepat mengambil sebuah kesimpulan,  sebelum ada konfirmasi yang jelas.  Secara gegabah sirkuit ini memerintahkan kita bereaksi atas keadaan sekarang dengan cara–cara yang telah dipakai pada masa lalu, dengan pola pikir, emosi, reaksi yang dipelajari sebagai respons terhadap peristiwa-peristiwa yang barangkali hanya samar-samar kemiripannnya, tetapi cukup serupa untuk mengingatkan “Amygdala’’ atas hal tersebut dan dianggap cocok.




Ketidaktelitian “otak emosional” dalam menanggapi momen-momen semacam itu semakin ditambah oleh kenyataan bahwa banyak ingatan emosi yang kuat berasal dari tahun-tahun pertama kehidupan kita, dengan pola hubungan antar bayi dan orang yang mengasuhnya.  Hal ini terutama berlaku bagi peristiwa-peristiwa “traumatis khusus”, seperti kekerasan, tekanan, ancaman-ancaman, perhatian berlebihan (pemanjaan), pemukulan, penganiayaan, pelecehan atau penyia-nyiaan, terutama selama periode awal kehidupan, dimana struktur–struktur otak lainnya terutama “hyppocampus---yang sangat penting bagi ingatan “naratif”---dan “neokorteks”---tepat kedudukan pemikiran rasional---belum berkembang sempurna.  Dalam ingatan,  “amygdala” dan “hyppocampus”  bekerja bersama-sama ;  masing-masing menyimpan dan memunculkan kembali informasi khusus miliknya sendiri-sendiri. 

Bila  “Hyppocampus’’ memunculkan kembali informasi, “Amygdala” menentukan apakah informasi itu mempunyai nilai emosi tertentu.  “Amygdala” berkembang sangat cepat dalam otak bayi ;  hampir-hampir sepenuhnya telah terbentuk pada saat kelahiran. Berbagai intraksi pada tahun-tahun pertama awal kehidupan manusia, menjadi dasar serangkaian pembelajaran emosi berdasarkan pada kebiasaan dan gangguan yang ada dalam hubungan antara bayi dan pengasuhnya.  Pembelajaran emosi ini demikian kuat pengaruhnya, namun begitu sulit dipahami dari sudut pandang kehidupan orang dewasa, karena menurut  LeDoux, pembelajaran tersebut disimpan dalam “Amygdala” sebagai “cetak biru” (blue print)  yang mentah dan tanpa  keterangan apapun dalam kehidupan emosi.  Karena ingatan emosi ini paling awal terbentuk,  sedangkan bayi belum mempunyai perbendaharaan kata dalam kehidupannya, maka tidak ada rangkaian pikiran “terartikulasi” yang cocok dengan respons yang menguasai kita.   Dengan demikian, salah satu alasan mengapa kita dapat begitu  dibingungkan oleh ledakan emosi tersebut seringkali berasal dari masa-masa lalu, di awal kehidupan kita, ketika segala sesuatunya begitu membingungkan dan  kita belum mempunyai pembendaharaan kata untuk memahami peristiwa-peristiwa yang terjadi.  Barangkali kita mempunyai perasaan kacau balau tersebut,  tetapi tidak memiliki kata-kata bagi ingatan yang membentuknya. 

Oleh sebab itu, dalam membesarkan dan mendidik bayi yang berusia kurang dari 3 tahun, kita harus berhati-hati dan berusaha mengisi “Amygdala” bayi dengan pengalaman ingatan yang positif, dengan nilai-nilai hidup yang mulia, seperti bertanggung jawab, penguasaan diri , tidak egois, dapat dipercaya, dapat diandalkan,  jujur, pengasih, penyayang dan lain sebagainya.  Nah, jika tugas mendidik atau membesarkan bayi diserahkan kepada orang lain yang tidak berkulitas atau tidak terdidik,  pembantu misalnya ;  maka dapat kita bayangkan produk prilaku diri macam apa yang terbentuk atau dihasilkan oleh  anak-anak kita.  Jadi, berhati-hatilah dan ingatlah akan masa depan anak-anak kita.  Jangan sampai pertumbuhannya rusak hanya karena kekurangtelitian kita dengan menyerahkan anak-anak kita untuk diasuh dan di didik  oleh orang-orang yang tidak sepatasnya atau tidak memahami tentang cara mendidik anak-anak. 



Tidak ada komentar:

Posting Komentar