Sabtu, 30 Juni 2012

PERKEMBANGAN OTAK BERFIKIR DAN EMOSI


PERKEMBANGAN  OTAK BERFIKIR DAN EMOSI
SEBUAH DIALOGIS
MENGGALI DAN MELENJITKAN  POTENSI DIRI
Bengkulu  :  Juni 2012.
Inspirator  :  Nazamuddin (Anggota Senior Satya Buana)


Untuk memahami dengan baik penguasaan kekuatan “Emosi atas Nalar”  (otak yang berfikir),  dan mengapa perasaan dan nalar selalu siap bertarung untuk merebut pengaruh terhadap diri seseorang, sebaiknya kita memahami bagaimana otak manusia yang terdiri dari sel-sel saraf dan cairan dalam otak itu berkembang.  Otak berkembang dari bawah ke atas, dengan pusat-pusat yang lebih tinggi berkembang sebagai penghubung dengan bagian-bagian yang lebih rendah.  Bagian yang paling primitif adalah “batang otak” yang mengelilingi ujung atas tulang belakang. 

Akar otak ini, mengatur fungsi-fungsi dasar kehidupan seperti bernafas dan fungsi metabolisme organ-organ tubuh, termasuk juga mengedalikan reaksi dan gerakan dengan pola yang sama.  Batang otak ini telah diatur atau diriset untuk menjaga agar tubuh berfungsi sebagaimana mustinya dengan cara yang tidak membahayakan keberlangsungan hidup.  Dari batang otak ini juga terbentuk pusat emosi  (Amygdala) dan juga berkembangnya otak untuk berfikir (Neokorteks), berupa tonjolan besar jaringan berkerut dan berkelok-kelok yang merupakan lapisan paling atas otak.  Inilah faktanya, bahwa otak berfikir (Nalar) tumbuh dari wilayah otak emosional mengungkapkan tentang hubungan antara pikiran dan perasaan,  dimana otak emosional seringkali menguasai otak berfikir,  sehingga kita lebih mengikuti emosi dari pada nalar.



       
Akar kehidupan emosional kita yang paling kuno adalah indra pencium, yang disebut dengan “Lobus olfaktorius”.  Dari  “olfaktorius” ini  berkembang pusat-pusat emosi primitif yang pada akhirnya berkembang dan menutupi bagian atas batang otak.  Bagian-bagian otak ini mengelilingi dan membatasi batang otak,  yang disebut dengan  “Sistem Limbik”  yang berbentuk cincin.  Sistem Limbik merupakan suatu rangkaian struktur yang terletak di “diensefalon” dan sekitarnya.  Sistem Limbik yang merupakan pusat emosi  terdiri dari “Hyppocampus, Amygdala, Stria  Terminalis, Gyrus Subkalosus, Hippothalamus bagian depan, Corpus Mamilare, Gyrus Singulata,  Sitem Retikularis, dan Forniks”. Wilayah saraf baru ini menambah perbedaharaan emosi pada otak.  Jika kita dikuasai oleh hasrat atau kemarahan, seperti misalnya sedang  jatuh cinta atau rasa ketakutan atau  rasa  kebencian, maka “Sistem Limbik” ini lah yang sedang menguasai kita.

Pada saat Sistem Limbik berkembang, sistem tersebut akan mempertajam dua alat yang berdaya besar, yaitu pembelajaran dan ingatan.  Perkembangan ini yang membuat makhluk hidup yang disebut  manusia lebih cerdas dalam menentukan pilihan untuk mempertahankan kehidupannya.  Hubungan antara “Lobus Olfaktorius” dengan “Sistem Limbik” sekarang ini befungsi membedakan bau-bauan yang ada sekarang dengan bau-bauan yang ada di masa lalu, juga membedakan yang baik dan yang buruk.  Fungsi ini dilakukan oleh “Rhinencephalon”,  yang secara harfiah berarti otak hidung, yaitu bagian “Saluran Limbik dan dasar Neokorteks”.  Dalam perkembangan selanjutnya, sejumlah lapisan sel otak baru ditambahkan ke atas  kedua  lapisan tipis “korteks”, bagian yang merencanakan, memahami apa yang ditangkap oleh indra, dan mengatur gerakan untuk membentuk “Neokorteks” yang lebih kompleks.  “Neokorteks” ini merupakan tepat berfikir, yang memuat pusat-pusat yang mengumpulkan dan memahami  hal-hal yang dicerap oleh indra dan kemudian mengolahnya.  “Neokorteks” akan menambah perasan tentang apa yang kita pikirkan  berkaitan dengan perasaan itu, dan memungkinkan kita untuk mempunyai perasan tentang ide, seni, simbol, khayalan dan sebagainya. 

 



Tambahan baru pada otak ini memungkinkan bertambahnya nuansa-nuansa pada kehidupan emosional.  Contohnya, adalah “cinta”.  “Struktur Limbik” menghasilkan perasaan nikmat dan hasrat birahi, berbagai emosional yang mendorong “nafsu seksual”.  Tetapi  penambahan “Neokorteks” dan sambungannya ke “Sistem Limbik” memungkinkan  adanya ikatan ibu-anak yang merupakan dasar unit keluarga, sehingga memungkinkan terjadinya perkembangan manusia.  Spesies yang tidak mempunyai “Neokorteks”, misalnya golongan reptil,  tidak mempunyai rasa kasih sayang seperti itu ;  bila anaknya menetas, bayi-bayi reptil itu harus bersembunyi agar tidak dimakan oleh induknya sendiri.  Pada manusia, ikatan yang besifat melindungi antara orang tua dan anaknya memungkinkan berlangsungnya sebagian besar proses pedewasaan sepanjang masa kanak-kanak, masa selama otak  terus berkembang.  Semakin banyak jumlah sambungan “neokorteks”, semakin besar rentang respons-respons yang  mungkin  dihasilkan dan semakin kreatif.

Akan tetapi, pusat-pusat yang lebih kuat ini tidak mengatur semua kehidupan emosional, karena dalam keadaan emosional penting dan darurat pusat-pusat tersebut dapat dikatakan diatur murni oleh “sistem limbik”,  maka otak emosional memainkan  peranan penting dalam struktur per-saraf-an.  Sewaktu akar asal otak baru itu tumbuh,  wilayah-wilayah emosi itu terjalin melalui miliaran jaringan penghubung  ke setiap bagian “neokorteks”.  Hal ini mengakibatkan pusat-pusat emosi memiliki kekuatan luar biasa untuk mempengaruhi berfungsinya bagian lain otak,  termasuk pusat-pusat berfikir “neokortek”.




Dibagian otak yang manakah nafsu manusia dihasilkan ?  Jawabannya adalah di “Amygdala”.  Amygdala merupakan kelompok struktur yang saling terkoneksi  berbentuk buah badam yang bertumpu pada batang otak, dekat “alas cincin limbik”.  “Amygdala” terdiri dari dua,  masing-masing di setiap sisi otak, dan disisi kepala.  “Hippocampus”  dan “Amygdala” merupakan dua bagian penting otak-hidung primitif yang dalam perkembangannya memunculkan “korteks dan neokorteks”.  “Amygdala” adalah spesialis masalah-masalah emosional.  Apabila  “Amygdala” dipisahkan dari bagian-bagian otak lainnya, hasilnya adalah ketidakmampuan  yang amat mencolok dalam menangkap makna emosional terhadap suatu peristiwa ;  keadaan ini kadang-kadang disebut dengan “Kebutaan Efektif”.

Dari gambar di atas   dapat dijelaskan bahwa,  “Sinaps” merupakan tempat isyarat-isyarat  yang disebarkan dari “akson dan kolateralnya”,  dari satu “neuron ke akson neuron lain, sel otot, dan kelenjar”.  Pada transmisi sebuah isyarat, “impuls listrik” yang mencapai “membran prasinaps”  harus melapaskan suatu “transduser kimia”,  “neurotrasmiter ke dalam celah sinaps”.  “Transduser” yang dilepaskan oleh “vesikel” akan berdifusi ke membaran “pascasinaps” dan mulai membuat isyarat listrik baru.  Beberapa transmiter misalnya “asetilkolin, glutamnat, norepinefrin,  dopomin” dan sebagainya.

Berikut akan dijelaskan bahwa,  “Hippothalamus” adalah merupakan pusat yang memerintahkan semua proses vegetatif dan sebagian besar “endoktrin” dalam tubuh, dan merupakan organ penggabungan terpenting dalam kendali “Homeostasis Lingkungan Internal”.  Untuk pengaturan suhu tubuh, “Hippothalamus” dilengkapi dengan “termo reseptotor” yang mengatur keseimbangan hormon, dengan reseptor yang mencatat umpan balik kadar hormon dalam darah.  Gambar berikut dapat di lihat “Sistem Limbik dan Hippothalamus”  dalam otak .

  Yang terutama berperan pada pengaturan tingkah laku secara keseluruhan adalah sistem jalur “Monoaminergik”, yaitu “Neuron Noradrenalin, Dopaminergik, dan Serotonergik”, yang berjalan dari batang otak ke hampir seluruh bagian otak.  Pada percobaan       “Otostimulasi”, terutama daerah “Adrenegric”, menyebabkan penguatan positif (menimbulkan perhatian dan penghargaan),  sedangkan “Neuron Serotoninergik” merupakan bagian sistem  “yang tidak berkepentingan”.  Sistem “Monoaminonergik” juga titik kunci pada obat “psikofarmaka”.

“Korteks Nonspesifik atau Asosiasi” terdiri dari  1).  Bagian Prefrontal, 2).  Bagian Limbik dari Otak frontal”, dan 3).   Daerah Temporal, Pariental dan Oksipital.  Ini bertanggung jawab atas fungsi integrasi tertentu dari “Cortex Cerberi”.  Area 3 bertanggung jawab atas aktivitas sensoris yang lebih tinggi,  sedangkan fungsi area 2 adalah untuk mempengaruhi “subordinasi” tingkah laku bawaan sejak lahir untuk kendali yang diperoleh  (bagi pelaksanaan dan rencana) dan untuk mendamaikan motivasi internal dan eksternal satu dengan yang lain.  

“Lesi atau lecet” di “korteks frontalis” dapat mengakibatkan ketekunan atau melakukan aktivitas yang berlebihan,  penurunan jangkauan perhatian,   perubahan perkiraan waktu, kelesuan, terlalu peka terhadap rangsangan, keadaan gembira berlebihan dan lain sebagainya.

 Seorang ahli saraf di Center for Neural Science di New York University,  Joseph LeDoux adalah orang pertama yang menemukan peran kunci “Amygdala dalam Otak Emosional”,  bersama kelompok ilmuwan saraf lainnya memanfaatkan metode dan teknologi inovatif yang dapat memberikan tingkat ketepatan yang belum pernah dicapai sebelumnya untuk memetakan otak yang sedang aktif bekerja, yang mampu mengungkapkan misteri-misteri pikiran yang  tak mampu  ditembus oleh generasi-generasi ilmuwan sebelumnya.  Mereka menjelaskan bagaimana “Amygdala“ mampu mengambil alih kendali terhadap hal-hal yang kita kerjakan, bahkan sewaktu “otak untuk berfikir (neokorteks)” masih menyusun keputusan yang akan diambil. 



Apabila seseorang yang “Amygdala”-nya dibuang untuk mengendalikan penyakit “Epilepsi” menjadi tidak berminat sama sekali kepada sesama manusia.  Ia akan menarik diri dari hubungan antar manusia.  Sekalipun ia mampu mengikuti pembicaraan, ia tidak lagi mengenali sahabat-sahabatnya, atau bahkan ibunya  sendiri,  dan tetap tak bergeming meskipun menghadapi kecemasan, mereka akan tidak akan peduli.  Kelihatannya tanpa “Amygdala”, seseorang telah kehilangan semua pemahaman  tentang perasaan dan setiap kemampuan untuk merasakan perasaan.  “Amygdala” berfungsi sebagai gudang ingatan emosional dan pemahaman akan makna emosional itu sediri.  Tanpa “Amygdala”, maka kehidupan seseorang menjadi tidak bermakna atau tidak merasakan sama sekali makna hidup, persis seperti hewan.  Selain pusat perasaan, “Amygdala” juga merupakan tempat semua nafsu dibangkitkan.  Pada sebuah percobaan, binatang-binatang yang telah dibuang atau dipotong  “Amygdala”-nya maka tidak mempunyai rasa takut atau marah.  Artinya, manusiapun yang telah dibuang “Amygdala”-nya,  maka mereka  akan kehilangan dorongan untuk bersaing atau bekerja sama, dan tidak lagi mempunyai kepekaan tentang kedudukan mereka dalam jenjang sosial dalam kehidupannya.  Intinya, emosi mereka telah lenyap.

Air  mata dan tanda kesedihan dirangsang oleh “Amygdala” dan struktur di dekatnya yaitu “Gyrus Singulata”.  Seorang bayi merasa di gendong, dimengerti, dibelai, atau dihibur akan merangsang  wilayah-wilayah bagian otak yang ini dan kemudian menghentikan isak tangis. 

Kemudian marilah kita memahami bagaimana “Amygdala” bekerja dan menguasai kehidupan mental seseorang pada momen-momen penuh nafsu dan tidak rasional. Umpamanya ketika seseorang mengalami kekecewaan karena tidak dipenuhi keinginannya atau ketika dorongan perasaannya berhasil  mengalahkan logikanya.  Proses ini terjadi  ketika sinyal datang dari indra-indra, hal ini memungkinkan “Amygdala” untuk menarik setiap pengalaman masa lalu yang dapat mengisyaratkan tanda-tanda terjadinya kesulitan.  Ini membuat “Amygdala” menempati pos strategis dalam kehidupan mental,  semacam penjaga psikhologis,  menantang setiap situasi dan setiap persepsi dengan satu per-nyataan di dalam otak, yang paling primitif :  “Apakah ini sesuatu yang aku benci ?  Yang menyakitkan ? atau   Yang Menakutkan ?”  Dan, jika momen yang dihadapi entah bagaimana memberi jawaban “Ya”, maka “Amygdala” segera bereaksi, mirip kabel pemicu, dengan memberi pesan darurat secara telegrafis ke seluruh bagian otak.

Apabila, “Amygdala” memberi isyarat tanda bahaya misalnya rasa takut, organ tersebut akan mengirim pesan-pesan mendesak ke setiap bagian organ yang penting ;  kemudian organ tersebut akan merangsang diproduksinya hormon kewaspadaan dalam tubuh untuk melawan  atau mengelak atau menghindar alias melarikan diri, memobilisasi pusat-pusat gerak, dan mengaktifkan sistem pembuluh darah dan jantung, otot, serta lambung.  Sirkuit-sirkuit lain “Amygdala” memberi isyarat dikeluarkannya sejumlah hormon “Norepinefrin” untuk mempertinggi reaktivitas wilayah-wilayah otak penting yang terkait,  termasuk  wilayah-wilayah yang membuat indra lebih waspada.  

Pada intinya, hal ini membuat otak siap siaga.  Tambahan sinyal dari “Amygdala” memerintahkan batang otak untuk menampilkan eksperesi wajah ketakutan atau wajah beringasan yang membuat kaku gerakan otot-otot yang  tidak terkait, lalu mempercepat detak jantung dan meningkatkan tekanan darah, serta memperlambat gerakan pernafasan.  Yang lainnya memusatkan perhatian ke arah sumber rasa takut itu dan mempersiapkan otot-otot untuk bereaksi sebagai mana layaknya.  Secara serentak, sistem ingatan korteks dilacak  untuk mendapatkan berkas pengalaman di masa lampau yang cocok dengan keadaan darurat yang sedang dihadapi, sambil menyingkirkan jalur-jalur pemikiran lain yang tidak rilevan.

Jadi, jalurnya adalah pertama-tama sinyal visual dikirim dari rentina mata ke “Thalamus”  yang bertugas menterjemah sinyal yang datang kedalam bahasa saraf otak.  Sebagian besar pesan tersebut dikirim ke “cortex visual” yang akan menganalisis dan menentukan makna dan respons yang cocok.  Apabila respons itu bersifat “Emosional”,  suatu sinyal dikirim ke “Amygdala”  untuk mengaktifkan pusat emosi,   tetapi sebagian kecil sinyal dikirim juga langsung menunuju “Amygdala” yang berasal dari “Thalamus” dengan transmisi yang lebih cepat,  sehingga memungkinkan adanya respons yang lebih cepat (meskipun terkadang kurang akurat).  Jadi, “Amygdala” dapat memicu suatu respons emosional sebelum pusat-pusat korteks yang berfikir memahami betul apa yang sedang terjadi.

Sistem “saraf otonom atau vegetatif” terutama berfungsi untuk melayani pengaturan fungsi organ dalam, mengadaptasi organ-organ itu pada kebutuhan suatu saat dan oleh karena itu mengatur lingkungan  dalam tubuh.  Aktivitas seperti itu sebagian besar tidak berada di bawah pengendalian sadar.  Sistem  Saraf Otonom (tidak sadar) dan sitem Saraf Somatis (sadar)” pada sitem saraf pusat terjalin hubungan yang sangat erat.

 








3 komentar: